TKI Cirebon-Majalengka Waswas
Divonis Mati sejak 2011, Menunggu Pengampunan dari Salah Satu Anak Korban CIREBON - Eksekusi mati di Arab Saudi atas dua orang tenaga kerja Indonesia (TKW) Siti Zaenab asal Madura, Jawa Timur, dan Karni asal Brebes, Jawa Tengah, diharapkan tidak terjadi pada TKI asal Kabupaten Majalengka Tuti Tursilawati dan Ato Suprapto asal Kabupaten Cirebon. Nasib Tuti Tursilawati yang asli Blok Manis RT 01 RW 01 Desa Cikeusik, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, itu bakal ditentukan bulan Mei 2015 oleh mahkamah pengadilan di Arab Saudi. Ini setelah pengacara KBRI di Arab Saudi berhasil mengusulkan sidang banding di mahkamah pengadilan di negara tersebut. Tuti divonis hukuman mati oleh pengadilan di Arab Saudi setelah didakwa membunuh orang tua majikannya di Kota Taif, Arab Saudi. Padahal tindakan itu dilakukan atas dasar membela diri, karena Tuti sering mendapatkan pelecehan. Tuti adalah satu dari empat TKI yang terancam hukuman mati dan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Bahkan, orang tua Tuti sempat dua kali menjenguk di penjara di kota Taif, bersama keluarga dari tiga orang TKW lainnya yang terancam mati, termasuk TJI Siti Zaenab dan Karni. Iti Sarniti, ibunda Tuti tampak panik dan waswas menanti putusan tersebut. Apalagi dalam beberapa hari terakhir, muncul kabar bahwa dua orang TKI sudah dieksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi tanpa pemberitahuan ke keluarga maupun pemerintah Indonesia. Iti beberapa kali menghubungi pihak KBRI di Arab Saudi untuk mengetahui perkembangan kasus yang menimpa anaknya. Beruntung dalam kontak terakhir melalui telepon yang dilakukan Kamis sore (16/4), Iti berhasil berkomunikasi dengan Tuti. Dia pun mendapatkan kabar jika Tuti dalam keadaan baik. “Kemarin saya menelepon, alhamdulillah Tuti masih baik-baik saja. Awalnya saya sempat panik, karena mendengar kabar bahwa Siti Zaenab dan Karni sudah dieksekusi. Beberapa kali saya coba kontak KBRI di sana, akhirnya bisa disambungkan langsung ngobrol dengan Tuti melalui telepon,” kata Iti saat dijumpai Radar, kemarin (17/4). Ada satu hal lagi yang belum membuat Iti tenang. Saat ditelepon, Tuti mengaku keputusannya mendapatkan pengampunan atau tidak bakal ditentukan di sidang banding berikutnya yang digelar awal Mei mendatang. “Mudah-mudahan keputusannya bisa meringankan dan mengampuni Tuti,” harapnya. Menurutnya, Kemenlu sebelumnya berhasil melobi pemerintah Arab Saudi untuk melakukan banding. Persidangan banding pertama sudah dilakukan di awal April ini dengan menggelar kembali perkara persidangan atas kasus tuduhan pembunuhan yang dilakukan Tuti. Sedangkan keputusannya bakal dilakukan di agenda persidangan berikutnya. Dia menjelaskan, sebelum ada upaya banding, pengadilan di Arab Saudi sebetulnya telah memberikan celah bagi Tuti untuk lepas dari jeratan hukuman mati. Dengan syarat mendapat pengampunan dari ahli waris korban. Dari empat orang anak ahli waris korban, tiga di antaranya sudah menyatakan pengampunan. Tinggal satu lagi anak korban yang belum berhasil ditemui, yakni Munif yang merupakan orang berpangkat dan berprofesi sebagai perwira pengawal kerajaan Arab Saudi. Sehingga KBRI belum punya kesempatan untuk menemuinya. Vonis ancaman hukuman mati tersebut dijatuhkan oleh pengadilan Kota Taif pada tahun 2011 lalu atas peristiwa tuduhan pembunuhan yang dilakukan oleh Tuti kepada orang tua majikannya pada 2010. Tindakan itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan dan membela diri karena sering mendapat pelecehan. Cerita sedih ini juga dialami Ato Suprapto, TKI asal Desa Marikangen, Blok Kajen, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon. Ato merupakan salah satu TKI yang tersandung hukum di Arab Saudi karena terjerat kasus pembunuhan antar sesama TKI pada tahun 2011. Setelah adanya eksekusi atas 2 TKI yang baru dilaksanakan, keluarga pun waswas. Kemarin, Ato sempat berbicara melalui sambungan telepon selular dengan keluarganya di Cirebon. Proses komunikasi itu terjadi ketika wartawan sedang berada di rumah Ato untuk mewawancarai pihak keluarga. Dari sambungan telepon, Ato mengungkapkan kasus yang menjerat dirinya. Dia menegaskan tak melakukan pembunuhan secara berencana. Saat itu, tahun 2011, dia dan tiga orang TKI lain terlibat keributan di sebuah tempat penampungan TKI. Karena kondisi saat itu memanas, salah satu di antaranya tewas. “Tidak jelas permasalahannya. Cuma ribut di penampungan di Jeddah. Akibatnya satu orang meninggal dunia, dua orang lain yang terlibat yakni Siti Komariah asal Jatibarang, Indramayu, dan Agus warga Sukabumi. Sedangkan yang meninggal dunia atas nama Fatimah. Namun wargannya saya tidak tahu,“ kata Ato melalui telepon. Karena kejadian itu, Ato dan dua rekannya divonis hukuman mati oleh pengadilan. Namun ketiganya mengajukan banding dan dikabulkan. Namun hakim yang mengadili Ato dan kedua rekannya digantikan, sehingga perkara tersebut akan ditinjau kembali. “Waktu itu saya sudah divonis hukuman mati, tapi saya gak terima dan mengajukan banding. Banding diterima, dan masih menunggu proses lainnya,“ katanya. Dari sambungan telepon seluler, Ato mewakili rekan-rekannya menyampaikan permohonan bantuan kepada Pemerintah Indonesia melalui Presiden Jokowi untuk memulangkannya bersama dua TKI lain. Menurutnya, tuduhan jaksa tidak sesuai dengan fakta, karena tidak ada unsur pembunuhan berencana. Kemudian tidak ditemukan adanya senjata tajam yang digunakan untuk membunuh. Dia mengaku, dalam proses banding tidak ada lagi bantuan pengacara dari Komjen RI. “Saya mohon pada Presiden Indonesia Bapak Joko Widodo tolong bantu kami di sini dengan semaksimal mungkin. Tolong Pak. Sekarang pengacara itu udah gak ada. Untuk pengaara kami itu udah gak. Kami gak pake pengacara karena pemerintahan udah gak mau ngasi duit. Itu setahu kami. Jadi tolong Pak Jokowi, tolong bantu kami semaksimal mungkin,” kata dia. Kakak Ato, Ena, mengaku shock dan panik atas informasi vonis hukuman mati yang menimpa sang adik. Dia mengaku baru mengetahui kabar tersebut saat didatangi wartawan. “Awalnya Ato tidak bilang. Dia bilangnya masih proses hukum, dan tidak bilang vonis hukuman mati. Dia hanya bilang semua masih proses. Baru sekarang ini dia bilang sudah vonis hukuman mati. Tapi orangnya gak mau bikin kepikiran keluarganya,” kata Ena kepada wartawan. (azs/arn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: