Ku Tunggu Kau di Batavia
Oleh: Yusuf E Purnomo Batavia, September, 1930 PAGI masih diselimuti kabut bekas jejak peri-peri malam. Bunga-bunga taman yang mekar membuat suasana lebih berwarna, sesekali angin berhembus menggoyangkan tangkai-tangkai kembang, embun pun jatuh ke hamparan rerumputan, menerbangkan beberapa kumbang. Kaki ku menjejak Batavia yang mulai bersolek, orang-orang berjas menenteng tas untuk berangkat kerja, perempuan-perempuan khas noni-noni Belanda yang berambut pirang dan berkulit seputih susu tampak duduk di taman-taman kota. Beberapa lelaki kaya duduk membaca koran Syarikat Rakyat sementara seorang jongos menyemir sepatu mereka dengan imbalan beberapa receh gulden. Toko-toko yang berjejer sepanjang jalan mulai buka dan melayani satu dua pembeli, seirama dengan jalanan yang mulai ramai oleh mobil-mobil buatan Jerman dan delman yang melintas. Aku menatap langit, seperti baru beberapa menit lalu aku masih menangisi duka dan perih yang melindap di dalam dada; terusir dari kampung halaman sendiri. Percakapanku dengan encik Leban masih terngiang di telinga. “Pergilah, aku dengar para tetua adat sedang berkumpul di rumah kepala kampung. ” Ucap encik Leban. “Aku benar-benar tidak pernah berzina dengan Norma, encik.” Ucapku sambil berderai air mata. Encik Leban mengangguk. “Aku percaya, lelaki sebaik dirimu tidak akan berbuat nista seperti yang mereka tuduhkan. Semua ini bermula sebab hubunganmu dengan si bunga kampung putri tunggal tuan Malik yang tidak direstui. Semua orang kampung telah terbakar fitnah. Mereka tidak bisa mendengarkan penjelasanmu, pergilah,” ucap encik Leban sambil menggenggamkan sekantong uang gulden ke tanganku. “Aku harus pergi kemana, encik? Tak ada sanak saudara yang aku punya di Batavia.” “Pergilah ke rumah sahabatku, namanya engku Salim, dia bekerja di koran Syarikat Rakyat, biar nanti alamatnya dituliskan anakku.” Setelah berucap demikian encik Leban memanggil Sania anaknya untuk menuliskan alamat rumah engku Salim. “Bagaimana nasib hati Maryam, encik?” “Ia sangat terpukul mendengar kabar ini, encik belum bertemu dengannya. Biarlah nanti encik kabari kalau situasi sudah tenang.” Aku memejamkan mata, bayang-bayang Maryam masih membayang. Wajahnya yang laksana pualam, senyumannya yang malu-malu ketika pertama kali bertemu sepulang dari ngaji di tawalib, tutur katanya yang puitis bak sajak pujangga masyhur, budi dan pekertinya yang luhur membuatku semakin berat meninggalkannya. Aku tak sempat mengucapkan perpisahan kepadanya, situasinya tak memungkinkanku untuk bertemu karena dini hari aku diantar encik dan suaminya ke Padang mengendarai delman. Aku bertemu dengan engku Salim seperti petunjuk encik Leban. Engku Salim bekerja di koran Syarikat Rakyat, beruntung benar aku bisa bertemu dengannya, cita-citaku sejak masih di tawalib untuk menjadi seorang pengarang dongeng dan hikyat segera akan menjadi kenyataan. Aku mencoba memperlihatkan tulisanku kepada engku Salim, barangkali ada yang berminat ia muat. Namun aku belum untung, engku memberi nasehat agar aku terus belajar menulis lagi agar tulisanku semakin baik dan koran mau menerbitkan. Kalau tulisanku telah baik, tentu engku Salim pertimbangkan untuk dimuat. Aku semakin semangat mendengar ucapan engku, harapanku semakin kuat untuk menjadi penulis masyhur. Aku tinggal bersama engku, isteri dan dua orang anaknya, satu masih bayi dan yang sulung sekolah di sekolahan milik Belanda. Ada sebuah kamar yang tidak ditempati, di kamar itu aku tinggal seorang diri sambil menulis dongeng dan hikayat yang kebanyakan berasal dari kisah yang aku alami. Menulis adalah satu-satunya cara menumpahkan segala perasaan dalam hati ini secara bebas, tidak ada yang melarang dan menentang. Aku berharap semoga tulisan-tulisan ini dibaca juga orang-orang di kampungku, biar mereka sadar dan paham bahwa aku berada di pihak yang benar. Semua yang mereka tuduhkan adalah fitnah keji yang tak manusiawi. Mereka harus tidak lagi menuhankan tetua adat, karena tetua adat hanyalah manusia biasa yang tentunya tak pernah lepas dari khilaf dan dosa. “Ceritanya seperti benar-benar nyata, ini baru bagus. Biar besok aku bawa ke kantor.” Ucap engku Salim setelah kuperlihatkan gubahan ceritaku entah yang keberapa kalinya. “Benar engku?” Engku Salim mengangguk. BEBERAPA hari ini aku diberi tugas engku untuk mengurus ikan-ikan mas di belakang rumah. Ada dua kolam seukuran 7 x 5 meter yang setiap pagi dan sore ikan-ikannya harus dikasih makan. Beruntung benar engku Salim rupanya, berbekal keahliannya menulis ia jadi bekerja di Batavia, punya istri yang rupawan dan anak yang berbakti, iapun memiliki rumah yang bagus dan kelayakan hidup. Aku juga ingin meniru hidupnya, bekerja keras dan sukses di perantauan. Engku Salim tidak mau kembali ke kampung, bukan karena malu terhadap kampung yang menjadi tanah lahirnya itu, tetapi ia ingin sukses lebih dari orang-orang di kampungnya yang terlalu kolot dalam berpikir. Orang-orang tua di kampungnya seperti tuhan, ucapannya adalah sabda yang pantang untuk diingkari. Siapa yang berani mengingkari haruslah siap dikucilkan oleh seluruh warga kampung, begitulah picik dan sempitnya cara berpikir mereka yang terlalu takluk dengan tetua kampung. Saat masih memberi makan ikan-ikan di kolam, anaknya engku Salim berlari menghampiri. Di genggamannya sebuah koran, hatiku tergetar menduga yang macam-macam. “Uda Habibi, coba lihat apa yang aku bawa ini?” Tanyanya, nafasnya tak karuan. “Koran.” Jawabku enteng. “Coba lihat di halaman cerita, tulisan uda dimuat koran.” Ucapnya berbinar-binar. Aku buru-buru membuka halaman cerita, tulisanku benar-benar dimuat. Aku kegirangan berucap syukur kepada Allah. Sepeninggal anak engku barusan aku duduk sambil membaca koran yang memuat ceritaku. Meskipun itu cerita adalah gubahan tanganku sendiri, penasaran rasanya untuk membacanya berkali-kali. Aku membaca judul cerita itu; Oejian bagi pecinta sedjati, gubahan Habibi. Kalimat per kalimat aku baca dengan teliti, seperti baru membaca yang pertama kali. Kesannya berbeda membaca tulisan dari mesin tik dengan membaca tulisan di koran, meski tulisannya sama tak ada perubahan sedikitpun. Selepas tulisanku yang dimuat koran itu, engku Salim mengasih kabar bahwa pihak koran memintaku membuat kelanjutan cerita itu. Katanya akan dibuat cerita berseri yang terbit sepekan sekali. Aku seperti tak percaya mendengarnya, apalagi ketika engku Salim memberiku honor tulisan yang sangat banyak dan tak pernah terpikirkan dalam benakku. Kala itu penulis benar-benar dihargai, jantung sebuah koran adalah terletak pada gubahan dan tulisan-tulisan penulis. Sebab itulah penulis dibayar mahal, dan cukuplah untuk hidup layak. AKU menjalani kehidupan sebagai penulis, buku dongengku diterbitkan dalam bentuk buku dan terpajang di toko buku besar bernama Kentjana. Pundi-pundi uangku semakin banyak seiring cetakan ulang buku dongengku. Stok penerbitan telah habis dan ini telah cetak ulang yang kelima, aku sangat bersyukur kepada Allah. Allah adalah maha kuasa, sangatlah muda baginya merubah nasib seorang manusia. Aku yang semula yatim piatu tak berayah ibu, terusir dari kampung halaman sendiri oleh fitnah keji, Allah telah rubah nasibku. Kini aku telah hidup mandiri, membeli rumah yang bagus ditempati seorang diri, tak lupa motor yang meskipun tak mewah mampu kubeli untuk membantuku bertolak ke kawan relasi. Mungkin cerita, dongeng dan hikyat yang aku tulis telah sampai ke kampung halaman. Bukti sahihnya adalah surat dari encik Laban yang mengabarkan betapa gembiranya ia membaca tulisanku. Ia juga mengabarkan keadaan di kampung, katanya orang-orang banyak membincangkan diriku. Bukan perihal tindakan nistaku tetapi tulisan-tulisanku yang banyak merubah pikiran mereka. Namaku harum semerbak di kampung bak bunga melati, masyhur sebagai penulis dongeng dan hikayat yang hebat. Ceritaku mampu membuat pembaca menangis berkali-kali oleh jalinan ceritanya yang melankolis lagi bertuah. Encik Leban tak lupa mengabarkan berita tentang Maryam yang masih tulus menjaga hatinya hanya untukku, katanya encik, jiwa dan raga Maryam telah aku miliki dan tak seorangpun bisa memilikinya lagi. Aku terharu membaca surat itu. Tiga hari setelah surat dari encik Laban, datang surat Maryam untuk diriku; Untuk; Habibi, kekasihku di Batavia. Assalamu’alaikum. Aku kaget ada dongengmu di koran Syarikat Rakyat. Antara tak percaya dan bergetar ingin segera membacanya. Aku telah membaca cerita itu, cerita yang menyadarkan aku bahwa orang-orang di kampung telah salah menilaimu. Aku memuji tulisan dan bahasamu yang tak hanya baik namun juga indah dan menggugah. Kekasihku, maafkan ketidakberdayaanku. Aku tidak sekuat dirimu untuk pergi dari kampung ini menjadi orang yang terusir. Aku hanya bisa berdoa semoga jalan cinta kita yang tulus dan tak pernah tercoreng oleh nafsu ini dimudahkan. Ku harap engkau memakluminya. Yakinlah tidak ada yang berubah tentang hatiku, perasaanku dan cintaku kepadamu. Semuanya seperti semula, bahkan semakin bertambah besar. Habibi, lelaki yang kuharapkan menjadi imamku. Hatiku tulus mencintaimu, jiwaku suci memilih dan menerima perasaanmu. Jangalah kau risau tentang hal itu. Tetapi apalah daya, kini engkau telah menjadi orang masyhur di Batavia. Tentu banyak gadis lebih cantik dan menarik dibandingku diriku, kalau memang ujian cinta ini telah membuatmu berubah pikiran, aku berharap engkau mau mengheningkan pikir dan menjernihkan hatimu. Engkau akan sulit menemui perempuan sepertiku yang tulus dan suci mencintaimu. Aku mencintaimu seutuhnya tanpa paksaan dari siapapun, kecuali Allah yang menggerakkan hati. Habibi, kekasihku. Selesaikanlah urusanmu disana, jemputlah aku untuk menjadi istrimu. Aku selalu berdo’a yang terbaik untukmu. Jaga hatiku dimanapun engaku berada, karena akupun selalu menjaga hatimu bersamaku. Semoga kita senantiasa dirahmati Allah. Wassalam. Dari Maryam, perempuanmu di Padang. Hatiku tergetar membaca surat yang dikirim Maryam, seolah-olah ia benar berhadapan denganku. Hari itu juga aku berkirim surat ke Padang melalui pos. Aku telah kenal penjaga pos yang berjanji akan mengirim surat itu segera mungkin ke dermaga untuk dibawa ke Padang. Untuk Maryam di Padang. Assalamu’alaikum. Puji syukur kepada Allah yang menaikkan derajat orang yang semula direndahkan. Aku telah membaca suratmu dengan hati berbunga. Encik Leban sedikit banyak memberi kabar tentang dirimu, semuanya aku rangkum dalam hati. Rinduku begitu besar kepadamu, bersama angin bukit Maninjau dan riak telaga biasa kita bertemu saat mengambil air jika senja hari. Terimakasih engkau mau mengirim surat kepadaku, kusangka engkau telah ikut syak terhadapku seperti orang-orang kampung. Terimakasih selanjutnya karena engkau masih menjaga hatiku bersama hatimu, karena akupun menjaga hatimu dimanapun aku berada. Cintaku tulus hanya untukmu saja, janji di tepi telaga itu tak mungkin aku lupakan, juga azimat selendang yang engkau berikan masih tersimpan rapi dalam petiku. Allah rupanya telah membuka kunci hatiku untuk menerima hatimu. Kamu adalah perempuan pertama yang menggetarkan hatiku, getaran yang tulus dan suci karena setiap hari dibasuh dengan doa dan dzikir. Maryam, aku tidak bisa kembali ke kampung. Biarlah kampung hanya menjadi masa lalu yang tak harus diingat, karena disana aku pernah merasakan perih yang tak sanggup dirasakan oleh manusia. Duka pengusiran yang tak sanggup kuingat. Aku tidak mau mengingat keperihan itu yang membuatku terluka. Tapi jangan syak dahulu, hatiku tak pernah berubah sedikitpun. Tetap seperti semula yang mencintaimu dengan tulus dan suci. Maryam, permataku. Kalau engkau berkenan, datanglah ke Batavia, kita sempurnakan kisah cinta kita disini. Aku akan menunggumu di dermaga dengan asisten pribadiku dan engku Salim. Aku akan melayanimu bak seorang putri. Jangan lupa minta izin tetua adat dan orang tuamu, tuan Malik. Datanglah dengan membawa saudara yang akan menjadi walimu. Restu mereka menjadi kebahagian keluarga kita kelak. Tak ada gunanya pernikahan kita tanpa restu mereka, karena mereka adalah orang tuamu dan akan menjadi orang tuaku juga. Sementara aku ini yang tak punya ayah ibu, cukuplah seorang diri saja menikahimu secara agama. Bersama surat ini aku kirimkan ongkos kepergianmu dan beberapa orang ke Batavia. Wassalam Aku yang menunggumu di Batavia dengan segenap cinta, Habibi. Batavia, Juni 1933. SEMINGGU kemarin aku mendapat kabar dari Padang bahwa hari ini Maryam dan uda Ali akan datang ke Batavia. Aku menghubungi engku Salim untuk penyambutan dan pelaksanan pernikahan. Engku punya kenalan yang biasa menyewakan tempat pesta, ia telah memesan untuk acarakau selama tiga hari. Hari ini aku berkunjung ke kantor penerbit untuk menemui tuan Abdul yang pagi tadi kontek dan minta ia bertemu. Rupanya ia ingin aku lekas membuat cerita baru lagi, karena banyak penggemar telah menanti buku cerita terbaru dariku. “Tapi pekan ini saya akan menikah, tuan. Mungkin pekan depan,” ucapku. “Oh, gadis mana yang beruntung memikat hati pujangga ini?” Tanyanya. “Maryam, gadis Padang tuan.” “Rupanya sang permata yang begitu menginspirasi.” Ucapnya sambil tertawa tergelak. Malam harinya tenda-tenda telah terpasang di rumah, kursi pelaminan pun siap. Beberapa undangan telah disebar melalui koran Syarikat Rakyat. Bakal menjadi pesta pernikahan yang hebat tentunya. Aku duduk termenung di beranda rumah mengawasi beberapa pekerja yang tengah memasang kelengkapan pesta pernikahan. Seorang perempuan mengantarkan baju pengantin khas Padang. Hatiku menjerit, bersyukur. Sungguh Allah maha kuasa membalikkan semuanya, setelah melewati jalan cinta yang begitu terjal dan menjadi orang yang terusir, esok lusa adalah hari penyatuan cinta. “Habibi, bahagia benar engkau. Esok cinta kalian akan bersatu dan tidak akan ada yang bisa memisahkan kalian kecuali takdir Allah.” Ucapan engku Salim saat di kantor terngiang. Aku mengulum senyum sumringah. HARI INI rumahku sangat meriah. Semua orang bersuka cita menyambut kedatangan Maryam dan uda Ali dari Padang. Musik telah mengalun, kursi pelaminan dan tenda-tenda telah dihias. Aku tengah duduk di kamar, lengkap dengan jas warna hitam dan peci khas yang dikenakan mempelai lelaki. Aku tengah mematut diri di depan cermin ketika engku Salim datang seorang diri. “Ayo Habibi, jangan sampai telat ke dermaga.” Ucapnya. Aku terburu-buru keluar kamar dan menuju mobil yang telah terparkir dengan seorang sopir pribadi. Belum benar beranjak keluar dari teras rumah, tuan Abdul datang tergesa-gesa, raut mukanya pucat seperti orang membawa kabar duka. “Ada apa tuan?” Tanyaku. “Ada kabar kapal Der Rotterdam dari Padang tenggelam di laut jawa.” Ucapnya. “Jangan bergurau tuan, Maryam dan uda Ali naik kapal itu perjalanan mau ke Batavia untuk melangsungkan pernikahan denganku.” ucapku sambil menggeleng-geleng ingkar. “Kau sudah baca koran pagi ini?” Tanya tuan Abdul. Aku dan engku Salim menggeleng, hari ini kami memang cuti untuk persiapan pernikahan. Tuan Abdul menyerahkan koran kepadaku. Aku dan engku Salim buru-buru membaca koran Syarikat. Sebuah judul menjadi headline koran terpampang di sampul depan; Kapal Der Rotterdam tenggelam, semua penumpang tewas. Membaca berita itu semesta seperti runtuh, air mataku meleleh tak mampu kutahan. Jiwaku terguncang, aku hampir ambruk kalau saja engku Salim dan tuan Abdul tak memapah tubuhku. “Kita ke dermaga,” ucapku lemah. “Mereka tidak akan datang,” ucap engku Salim. “Kita tetap ke dermaga, aku yakin Maryam tidak mungkin setega itu meninggalkan aku sendirian.” Ucapku bergetar. Tuan Abdul berisyarat kepada engku Salim untuk menyudahi perselisihan ini. Kami bertiga naik mobil dengan seorang sopir. Mobil langsung melaju menuju dermaga. Sepanjang perjalanan aku hanya diam, baju pengantin masih kukenakan lengkap. Engku Salim menyetel radio mencari berita. Terdengar suara penyiar mengabarkan kapal Der Rotterrdam yang tenggelam, salah satu reporter sedang tewicara dengan penyiar. “Apakah semua penumpang tewas?” Tanya penyiar. “Kami ingin meralat berita sebelumnya, ada seorang warga pesisir yang menemukan seorang tergeletak di pinggir pantai. Kondisinya sangat lemah, saat ini sedang akan dibawa ke rumah sakit dermaga.” “Tambahi volumenya, engku.” Ucapku kepada engku Salim. “Bagaimana ciri-ciri penumpang yang selamat itu?” Tanya sang penyiar. “Mengenakan baju serba putih seperti seorang pengantin dengan selendang dan kerudung. Perempuan itu tengah menggenggam tasbih berwarna hijau.” “Itu Maryam engku. Itu Maryam tuan. Ia masih hidup, oh pemata hatiku ia masih hidup. Tasbih itu pemberianku.” Ucapku berbinar. Engku Salim dan tuan Abdul hanya mengangguk sambil tersenyum kepadaku. “Dari mulut perempuan itu terdengar rintihan Allah dan Habibi berkali-kali.” Mendengar berita itu aku menengadahkan tangan mengucap syukur kepada Allah. “Kita ke rumah sakit,” ucapku. Mobil kami sampai rumah sakit dermaga, aku tegesa-gesa menuju ruangan rawat untuk menanyakan seorang bernama Maryam. Perawat membawaku ke sebuah kamar, subhanallah, aku melihat Maryam tengah terbaring lengkap dengan baju pengantin. Di lengannya terpasang infus, meski ia masih belum sadar wajahnya yang bak pualam semakin cantik. Engku Salim dan tuan Abdul berdiri di belakangku mereka memelukku dan bersyukur kepada Allah. “Habibi,” terdengar lirih rintihan Maryam. Aku mendekat. “Maryam, aku disini.” Ucapku pelan. Maryam menoleh, ia tersenyum. “Abang aku malu di lihat lelaki,” ucapnya lantas berpaling. Pipinya merona merah. Aku bersisyarat kepada engku Salim dan tuan Abdul untuk keluar. Sebelum keluar aku berbisik kepada Maryam. “Sebentar lagi engkau tidak boleh malu kepadaku.” Maryam mengangguk samar. Kempek, 15 April 2015 *Penulis tinggal Pesantren Kempek, Palimanan, Kabupaten Cirebon
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: