Perempuan Itu Mulia, Tidak Murahan

Perempuan Itu Mulia, Tidak Murahan

“Saya akan mengajar anak-anak saya, baik laki-laki maupun perempuan untuk saling memandang sebagai makhluk yang sama. Saya akan memberikan pendidikan yang sama kepada mereka, tentu saja menurut bakatnya masing-masing. Lagi pula, saya bermaksud akan menghapuskan batas yang menggelikan antara laki-laki dan perempuan yang dibuat orang sedemikian cermatnya.” (Kutipan surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900) Muslimah itu bernama RA Kartini, tumbuh dan berkembang menjadi perempuan muslimah pada galibnya. Hanya saja, ada yang berbeda dari sepajak terjang pemikiran dan perjuangannya, terutama dalam pemenuhan hak-hak secara seimbang kepada para perempuan. Kartini, ialah perempuan muslim pemberani yang terus bekomitmen untuk mendobrak segala kultur patriarki dan diskriminasi yang sejak lama dilakukan masyarakat kepada para perempuan. Saya kira, apa yang menjadi pemikiran dan perjuangan Kartini dalam menjunjung tinggi hak-hak perempuan harus terus disemai dan diteladani. Kita perlu dan membutuhkan Kartini-Kartini yang kontekstual dengan zaman dewasa ini. Perempuan yang karakteristik pemikiran dan perjuangannya senafas dengan Kartini. Perempuan, siapa pun, di mana pun, dan apa pun status sosialnya. Melalui momen Hari Kartini, saya ingin merefleksikan kembali relevansi pemikiran dan perjuangan Kartini untuk konteks zaman dewasa ini. Sekaligus akan menanggapi tulisan Dudi Farid Wazdi dalam harian Radar Cirebon edisi (20/04) dengan tema “Menghindar Jadi Perempuan Murahan.” FIKIH UNTUK PEDILA Kita mesti belajar dari formula fikih sosial al-Maghfurlah Dr KH MA Sahal Mahfudh (Mbah Sahal), untuk tetap bisa mendudukkan perempuan yang dilacurkan (pedila) secara seimbang. Fikih sosial yang digagas Mbah Sahal ini sejalan dengan rumusan hasil halaqah Nahdlatul Ulama (NU), Rabitah Ma’ahid Indonesia (RMI), dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang memiliki sekurangnya lima ciri pokok. Pertama, interpretasi teks-teks fikih secara kontekstual; Kedua, perubahan pola bermazab secara tekstual (mazhab qauli) ke mazhab metodologis (mazhab manhaji); Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’); Keempat, fikih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara; Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial. Konsistensi Mbah Sahal akan paradigma fikih sosial begitu nyata. Misalnya ketika membedah kontroversi lokalisasi prostitusi para pedila (perempuan yang dilacurkan). Dalam bukunya (Nuansa Fiqh Sosial), Mbah Sahal berpendapat bahwa pilihan terhadap kebijakan lokalisasi prostitusi merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip memilih perbuatan yang dampak buruknya lebih ringan. Dengan demikian, tinjauan fikih sosial membenarkan tindakan lokalisasi terhadap perempuan pekerja seks komersial. Pendapat ini bagi sebagian pihak mungkin terasa mengagetkan, sehingga akan dituduh sebagai sebuah dukungan akan maraknya perzinahan. Tetapi bagi yang terbiasa mengaji usul fikih di pesantren, sesungguhnya pendapat itu didasarkan pada kaidah idza ta’aradha mafsadatani ru’ya a’zhamuhuma dhararan bi irtikabi akhaffihima; apabila bertemu dua keburukan, maka pertimbangkan mana yang paling besar dampak keburukannya, lalu pilihlah yang dampak keburukannya lebih kecil. Upaya ini bermakna bahwa prostitusi merupakan persoalan sosial yang kompleks, yang tak bisa diselesaikan hanya dengan cap halal-haram. Saya memaknainya sebagai solusi gradual untuk menuntaskan persoalan prostitusi. Dengan kata lain, sepakat bahwa prostitusi dilarang agama, tetapi kemudian kita mesti peduli bahwa mereka, para pedila, itu juga manusia yang punya hati nurani untuk bisa berupaya hidup normal sebagaimana umumnya. Butuh waktu yang panjang untuk memulihkannya, pemulihan dari sisi psikologis, sosial, ekonomi, dan lain-lain. SALING MEMULIAKAN Islam tidak pernah membeda-bedakan makhluk ciptaan-Nya; perempuan maupun laki-laki. Karena keduanya, Allah ciptakan dari ‘bahan/jenis’ yang sama dalam bentuk yang paling baik penciptaaanya. Allah juga menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan dan laki-laki untuk terus berkreativitas dan belajar dalam rangka memakmurkan kehidupan di muka bumi. Berkenaan dengan tulisan Dudi Farid Wazdi, jujur saya tidak sepakat ketika predikat ‘perempuan murahan’ ditujukan kepada al-Marhumah saudari Deudeuh atau para pedila lainnya. Pernah tidak kita berpikir ulang, pekerjaan yang selama ini mereka lakoni sebagai pedila adalah bukan atas kemauan dirinya? Tegakah menjustifikasi para pedila dengan predikat ‘perempuan murahan’, sementara pemerintah dan kita semua sebagai saudaranya tak sedikit pun peduli terhadap kenyataan hidup yang dialaminya? Tulisan ini memang terlalu singkat, tetapi paling tidak, saya ingin menyampaikan beberapa hal; Pertama, kita butuh bangunan fikih yang memuliakan para perempuan, terutama para pedila. Dan kita, harus memuliakan dan membantu para pedila dari jeratan lingkaran setan yang sulit terputus. Mereka butuh uluran tangan, bukan pukulan. Mereka harus dirangkul, bukan dengan dipukul. Menyumpah serapah, mengejek, dan mengucilkan mereka (para pedila) sama saja kita sedang menghina ciptaan Allah. Kedua, kita butuh para laki-laki yang punya perspektif keseimbangan dan kesalingan. Harus sadar bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama saling membutuhkan, selain punya kelebihan, masing-masing di antara kita punya kekurangan. Menjadi laki-laki yang tidak egois dan mau menang sendiri. Menghindari laki-laki yang sombong hanya karena jenis kelaminnya laki-laki. Perempuan memang wajib menutup auratnya, tetapi Islam tidak pernah secara rinci menyebutkan batasan-batasannya secara detail. Demikian, para mufasir banyak berbeda pendapat soal aurat dan jilbab. Hal ini cukup beralasan, karena sosio-kultur masyarakat masing-masing negara atau daerah berbeda-beda. Yang menjadi pokok persoalan adalah pikiran. Perempuan mau menutup aurat atau tidak, kalau pikiran laki-lakinya (mohon maaf) ‘ngeres’, tentu sama saja. Yang selalu salah (dan disalahkan) perempuan, tidak untuk laki-laki. Predikat salehah pun selalu ditekan hanya kepada perempuan, padahal laki-laki juga harus saleh. Lebih daripada itu, keyakinan dan kemantapan seseorang soal agama adalah hidayah. Tugas kita sebagai manusia hanyalah berdakwah, itu pun tidak dengan memaksa dan menyumpah serapah. Kita juga harus bisa melepaskan belenggu ‘kambing hitam’; mengambing-hitamkan Barat, Zionis, dan lain sejenisnya. Padahal jika kita mau jujur, umat Muslim di negeri ini masih banyak kelemahan. Fokus kita ke dalam, tidak melulu keluar. Walhasil, kita harus bersama-sama membangun bangsa Indonesia dan agama Islam di atas fondasi yang kokoh. Fondasi yang membentuk kerangka keseimbangan dan kesalingan. Jika cara pandang dan sikap kita seimbang, saya yakin urung ada istilah perempuan murahan. Karena ibu kandung kita perempuan, mana ada ibu kandung yang murahan? Kutipan pandangan progresif Kartini di atas begitu merepresentasikan harapan dan dakwah saya dan kita semua untuk terus mendaulatkan hak-hak perempuan. Selamat hari Kartini! Wallahua’lam bis-Shawab. (*) *) Ketua LP3M STID Al-Biruni, Khadim al-Ma’had Pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan, Ciwaringin, Penulis buku-buku Muslimah Penebit Quanta, Elex Media Komputindo, Kompas-Gramedia, Jakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: