Tonggeret

Tonggeret

Oleh: A. Haris Maulana Kriiiiiiiik....! Kriiiiiiiik.....! Kriiiiiik......! Kriiiiiik.....! Bunyi suara itu terdengar sangat panjang. Mungkin bagi sebagian orang, bunyi itu terasa membuat bising gendang telinga. Maklum suaranya keras dan berkepanjangan. Namun bagiku, bunyi itu terasa menyejukkan, sesejuk pagi hari di pedesaan, dan membuatku terkenang pada masa lalu. Kehidupan di desa, tempat lahirku dulu. Sinar mentari menyembul di balik awan. Cahaya memantul di permukaan beberapa kolam ikan. Menyeruak masuk melalui jendela kelas. Menerangi tempat kami bertugas selama empat hari. Hari ini, hari pertama aku mengawas ujian nasional tingkat SMK. Kebetulan aku bersama lima rekanku ditugaskan mengawas di daerah pelosok. Bagiku, mengawas di daerah pelosok memiliki kenangan tersendiri apalagi jika sudah mendengar bunyi tonggeret yang saling bendendang dibalik pepohonan. “Suara apa itu, Pak?” tanya seorang guru pengawas, salah satu rekanku. “Tonggeret atau uir-uir.” “Bising banget.” Di dalam ruang ujian, tak ada seorang siswa pun yang merasa terganggu. Mereka telah terbiasa dengan suara tersebut. Masing-masing larut dalam soal ujian yang di hadapinya. Kriiiiiiik....! Kriiiiiiik....! Kriiiiik....! Bunyi itu mengingatkanku kembali pada tanah kelahiran. Di mana kedamaian begitu terasa. Jauh dari hiruk-pikuk kepenatan memperturutkan nafsu yang tak kunjung henti. Kesejukan pun mengaliri setiap hirupan nafas, membuat seluruh rongga tubuh segar. Benar-benar menyehatkan. Sungai yang melintasi desaku, memiliki air jernih. Menajamkan pandangan hingga ke dasarnya. Batu-batu padas terhampar di sepanjangnya. Liukan air mengalir di badan padas. Dijadikan tempat mencuci bagi para ibu dan gadis remaja. Ya, hampir setiap pagi ibu, aku dan teman-temanku pergi ke sungai itu. Ibu  tentunya hendak mencuci dan aku dan teman-teman tak ada lagi yang bisa dilakukan oleh anak seusiaku pada waktu usia lima tahun selain mandi dan bermain air. Menaiki batu padas yang agak tinggi, kemudian melompat. Byuurrr..! Tubuh kami melesat ke dalam sungai. Kesejukan air sungai yang mengalir menjalar di setiap bagian tubuh kami. Menjernihkan pikiran dan membeningkan hati. Beberapa anak di antara kami saling melempari air, membuat ibu-ibu kesal karena wajahnya terpercik air yang salah sasaran. “Imaaam, hentikan....!” teriak ibu padaku. Dengan membawa ceting bambu atau tombo plastik, tangan-tangan kecil kami menyasari balik batuan padas. Tak lama kemudian. Hufp! Tombo diangkat! Beberapa udang yang terjaring tombo, berloncatan di dalam tombo tersebut. Dengan wajah gembira, udang-udang itu kami kumpulkan. Tidak berapa lama, di pinggiran sungai itu kami membuat perapian kecil. Udang yang kami peroleh langsung kami bakar dan diberi sedikit kecap! Rasanya luar biasa nikmat! Alangkah menyenangkan! Tak jarang rutinitas kami menangkap udang di pagi hari, deru sungai yang mengalir, bunyi bara api yang membakar daun bambu, serta bunyi dedaunan yang menari diterpa alunan angin yang berhembus, diiringi pula oleh bunyi hewan kecil bernama tonggeret. Kriiiiiik....! Kriiiiik.....! Kriiiiiik....! Alunan panjang bunyi tonggeret itu memberi makna mereka sedang bergembira. Seperti gembiranya kami dalam menjalani kehidupan di desa dengan berbagai lika-likunya. Ketika kelas lima SD, kami pernah meneliti binatang ini. Banyak di antara kami berpendapat bunyi tonggeret berasal dari mulutnya. Seperti kami berbicara, berteriak, dan menyanyi. Tapi setelah kami perhatikan ternyata pendapat tersebut meleset. Bunyi tonggeret itu ternyata berasal dari gesekan sayap-sayapnya. Itu menandakan ketika berbunyi sesungguhnya tonggeret itu sedang menari! Menikmati kebesaran nikmat Ilahi yang tercurah. “Krrriiiik....krrriiiiik....krrriiiik....!” Bau tanah basah masih terasa ketika tonggeret menari. Suaranya nyaring dan monoton, seolah merangsang dedaunan membuka stomata untuk bernafas. Tonggeret biasa keluar pada waktu hendak kawin. Mereka menari menyambut musim penghujan. Setelah kawin, mereka akan bertelur dan mati. Dalam pelajaran biologi yang kudapat, diketahui masa dewasa tonggeret begitu singkat. Hanya beberapa minggu. Justru mereka hidup lama hingga bertahun-tahun ketika mereka masih berupa larva yang hidup di dalam tanah. Beberapa tahun berlalu. Ketika aku duduk di bangku SMA. Pembangunan di desaku terlihat gencar dilakukan. Beberapa pabrik berdiri. Lahan yang tidak produktif disulap menjadi pabrik-pabrik yang menyerap banyak tenaga pekerja. Hampir mayoritas pemuda di desaku saat itu bekerja di pabrik-pabrik itu. Tak ada lagi istilah menganggur. Begitu pun denganku, aku sering berandai-andai dapat bekerja di salah satu pabrik itu, bukan sebagai pekerja tapi sebagai salah satu manajernya. Selain itu, di bagian timur desaku, beberapa petani dan pemilik kebun rupanya telah bersepakat untuk menjual lahannya kepada developer. Alasannya sederhana, saat ini tak ada lagi orang yang mau menggarap sawah dan kebun. Daripada menggarap sawah dan kebun, dengan penghasilan kecil dan tidak menentu, lebih baik bekerja di pabrik, hasilnya gaji sedikit di atas UMR rata-rata dan rutin dibayar setiap awal bulan. Tak lama setelah itu, satu per satu pepohonan rindang harus tumbang, habitat tonggeret makin sempit. Sementara puluhan rumah berdiri. Warga baru dari kota terus berdatangan mengisi rumah mungil yang tertata seperti rangkaian baterai. Hiruk pikuk manusia memenuhi bagian timur desaku. Krrriiiiiik....! Krrriiiiik...! Krrriiiiiiik....! Tonggeret mulai lelah menari. Bersaing dengan bunyi knalpot yang meraung-raung disepanjang jalan desa. Mengeluarkan karbon monoksida, seolah berusaha mengusir tonggeret untuk menyingkir. Belum lagi, asap yang keluar dari cerobong pabrik mencemari udara menambah derita makhluk kecil ini. Ketika aku memasuki semester terakhir di sebuah universitas, beberapa tahun setelah kutinggalkan, perkembangan perekonomian masyarakat di desaku meningkat pesat. Beberapa kawanku yang telah bekerja sejak keluar SMP di pabrik, telah memiliki rumah yang megah. Begitu pun dengan yang lainnya. Aku terkejut menyaksikan kemajuan perekonomian masyarakat desaku. Hanya saja, ada yang berbeda dari wajah masyarakat desaku, mereka tak lagi memperhatikan alam yang ada di sekitarnya. Di satu sisi, kami bersyukur atas peningkatan taraf hidup masyarakat yang tumbuh pesat. Di sisi lain, di lubuk hati kami menyesal karena telah kehilangan alam kami yang rindang, teduh, dan mendamaikan. Sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan kami kini telah beralih fungsi menjadi tempat pembuangan limbah. Airnya cokelat terkadang berubah menjadi hitam pekat dan berbau. Tak jarang sampah berserakan terlihat menyembul di permukaan. Menyangkut di batuan padas. Tak ada lagi udang, tak ada lagi ikan, dan tak ada lagi tonggeret menari. Beberapa waktu lalu, aku mendengar kabar terbaru dari desa, air sungai meluap menjadi bah menghantam desaku. Rumah di sekitar sungai roboh. Hampir sebagian besar rumah di desaku terendam air. Beberapa korban jiwa terseret arus ditemukan puluhan kilometer, menyisakan duka mendalam. Teeeet....teeeet....teeeet......! Bel berbunyi menyingkirkan kenangan masa lalu, tanda waktu ujian telah habis. Para siswa pergi meninggalkan ruang, sedangkan aku sibuk membereskan lembar jawaban ujian. Di luar ruang, tonggeret masih terus menari di dahan-dahan pohon. Krrriiik....! Krrriiiik....! Krrriiiik...! (*)   Cirebon, April 2015   *) A Haris Maulana, pengajar di SMP Muhammadiyah Lemahabang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: