April  untuk Chairil

April  untuk Chairil

Oleh: Fathan Mubarak April kita: selamat Hari Nelayan Indonesia, selamat Hari Kesehatan Sedunia, selamat Hari Kartini, selamat Hari Bumi, selamat Hari Buku, selamat Hari Angkutan Nasional, dan bagi para penikmat sastra: selamat Hari Mengenang Penyair Chairil.   Andai saya tak hidup di Indonesia, tentu saya akan mengucapkan selamat hari yang ngaeng-ngaeng, seraya ikut merayakannya dengan cara yang super ngaeng. Di bulan pertama, saya akan mengucapkan Selamat Hari Celana Joging. Bulan berkutnya Selamat Hari Pemandu Wisata Sedunia. Bulan berikutnya lagi, Selamat Hari Pemadaman Lampu (Organisasi Internasional Perlindungan Alam [WWF] beserta segenap penduduk dunia mesti tahu: di sini, PLN bisa merayakan itu sekurang-kurangnya sehari sekali). Kemudian disusul dengan Selamat Hari Anti Diet Sedunia, Hari Bir Internasional, Hari Berbicaralah Seperti Bajak Laut, Hari Gelembung Sabun Sedunia, sampai Hari Toilet Dunia. Barangkali kita tak bisa se-guyonan itu. Kita lebih serius, lebih tegang, lebih spiritual—namun kemudian lebih tak acuh. Kita seperti dilarang membayangkan April yang meriah dan khidmat. April yang penuh refleksi, penuh inspirasi, dan April yang terus mentenagai Mei Juni, Juli, hingga April lagi. Ada banyak momen penting di bulan ini. Tapi juga ada banyak yang melewatkannya. Banyak orang, misalnya, mengidentifikasi diri sebagai yang paling peduli dan concern terhadap isu-isu lingkungan—di tengah Hari Bumi kemarin yang sepi-sunyi. Jika pun ada yang memperingatinya, itu justru dilakukan oleh segelintir mahasiswa, sementara LSM-LSM penampung dana nyaris diam seribu bahasa. Gerakan peduli lingkungan memang tak mesti ditegakkan dalam satu monumen. Bisa di mana saja, kapan saja. Toh isu bisa dibuat. Program pun bisa diada-adakan. Hanya saja, sebagaimana yang kita ketahui bersama, semuanya bergantung pada kucuran dana. Ada dana: ada, tak ada dana: ngemis sebisanya. Tanpa menegasikan pengecualian-pengecualian, bisa jadi itu berlaku juga untuk yang lain-lainnya. Lalu seorang kawan berkata: “Harus ada yang tidak bergantung pada proposal dan kucuran dana!” Karenanya, sekalipun dalam setiap pagelaran acara kami hanya mengandalkan “patungan”, termasuk bahwa kami adalah komunitas sastra, bukan komunitas yang memproklamirkan diri sebagai penjaga lingkungan garda depan, kami lesap juga pada malam peringatan Hari Bumi. Kami memperingatinya Sabtu lalu bersama teman-teman yang kerap dituduh asosial dan abai dengan segala yang terjadi di luar kamarnya (baca: seniman). Kebetulan saat itu kami kedatangan tamu seorang seniman asal Lombok yang tengah mengelilingi Nusantara dengan sepeda ontelnya. Satu misinya: mengkampanyekan save nature di setiap kota yang disinggahi. Ia memang seorang peduli lingkungan, sensi terhadap segala aktivitas yang merusak lingkungan, namun menolak bergabung dengan LSM Lingkungan manapun. Selebihnya, di sini, Hari Bumi hanya menjadi abang-abang lambe yang menghiasi halaman pelbagai media sosial. Momen-momen lainnya pun bernasib sama. Sebenarnya ada yang menarik dan mendesak di April kali ini: KAA. Konferensi yang pada awalnya diikuti 29 negara (lebih dari separuh total penduduk dunia waktu itu) untuk menyatakan diri bahwa mereka ada, bahwa mereka harus diajak bicara dalam menentukan nasib dunia, kini dihadiri seratus lebih negara yang akan meratifikasi dukungan kemerdekaan untuk Palestina. Ini menarik. Nggreget. Termasuk desakan terhadap PBB agar meresolusi zona aman di kawasan Afrika. Saya pribadi akan mendukung segala pertengkaran-pertengkaran untuk tercapainya kesepakatan itu. Tapi seorang tukang gosok batu akik seperti saya bisa apa? Itulah kenapa saat tim Harian Radar Cirebon meminta kesediaan kami untuk menjuri di acara Lomba Baca dan Musikalisasi Puisi dengan tema seputar Kartini, kami mengiyakannya. Kami senang. Paling tidak, di kota ini masih ada yang berkesadaran olah gerak refleksi-inspirasi-aksi—sebuah gerak yang mudah disepelekan oleh para tukang bakar ban dengan misi kurang lebih biar mendapat uang damai dari kanan-kiri. Dan di sana, di dalam rangkaian acara, kami merasa menjadi bagian dari geliat-geliat kecil yang menandakan bahwa kota ini masih ada. Acara berlangsung siang ini, 25 April 2015, di Gedung Graha Pena Radar Cirebon. Para peserta boleh membahasakan sendiri kecenderungan-kecenderungan esetetikanya: baca puisi dengan atau tanpa musik yang mengiringi, musikalisasi dengan atau tanpa syair yang dideklamasi. Sedikit catatan: sebab baca puisi adalah satu hal dan musikalisasi adalah hal lain, maka, kami sebagai dewan juri menerapkan parameter ganda. Aturan main ini kami buat semata-mata agar perlombaan bisa berlangsung equitable dan fair. Lainnya, di hari yang sama dengan waktu dan tempat berbeda—anggaplah ini sebagai undangan terbuka—kami, segenap penghuni Rumah Kertas, akan menggelar Malam Puisi #9 di halaman RRI. Kami akan membincang Chairil Anwar: puisi, kepenyairan, dan kontribusinya terhadap Bahasa Indonesia. Hal tersebut kami anggap penting, sebab bahasa memang sebaiknya tak seperti mobil mogok di tengah jalan dan puisi sendiri hanya menjadi yang sekadar bolak-balik  nglaksoni. Acara berlangsung sekaligus on air pada pukul 20.00-22.00 di frekuensi 93,7 FM, atau bisa download RRI PLAY di smart phone anda. Akhirnya, saya ingin mengucapkan selamat bulan April dengan semua-mua yang ada di dalamnya pada seluruh pembaca. Mari kita memperingati apa yang patut diperingati, melewatkan apa yang patut dilewatkan. Janganlah melewatkan apa yang mestinya diperingati, dan memperingati apa yang mestinya dilewatkan. Misal: membuat kejutan dengan cara bikin lembaga dan pengajuan kegiatan fiktif dalam rangka April Mop. Dan seterusnya, dan seterusnya. Dan untuk para penikmat sastra: selamat mengenang penyair Chairil. Semoga kita menjadi yang diapresiasi sekaligus bermurah hati mengapresiasi. Sampai ketemu malam nanti di halaman RRI. (*)     @FathanMu Penggosok batu akik, tinggal di Rumah Kertas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: