Tepo Seliro, Gandhi, dan Asia Afrika

Tepo Seliro, Gandhi, dan Asia Afrika

Isu kekerasan dan konflik menjadi tema sentral dalam pembahasan Konferensi Asia Afrika ke-60 yang digelar dari pertemuan ke pertemuan. Pada sesi Youth Asian African di tanggal 20-21 April di Bandung sedikitnya 150 pemuda/i dari delegasi berbagai negara membicarakan soal konflik dan kekerasan yang terjadi di negaranya. “Tepo Seliro”– perpaduan antara toleransi dan tenggang rasa yang konon bagian dari kearifan lokal nenek moyang dijadikan tema dalam forum muda kemarin. Semua yang terlibat di forum itu tengah merayakan bebas berekspresi dan keterbukaan. Semua boleh bicara soal konflik dan perdamaian. Hingga kita kembali pada ingatan yang dipenuhsesaki catatan panjang konflik dan perang di seantero negeri Asia Afrika. Membaca jejak Asia dan Afrika seperti membuka kisah lama. Mengingatkan luka lama yang mencekam. Kita seperti diseret kembali pada beberapa kasus panjang genoside di Darfur, Kongo, Lybia, Rwanda, Myanmar, Thailand bahkan Indonesia. Untuk menyebut salah satu di tahun 1994 peperangan di Rwanda antara etnis Hutu dan Tutsi di Kigali, Afrika yang sedikitnya menewaskan 800.000 penduduk Rwanda.Dalam catatan PBB, genosida ini menjadi kejahatan kemanusiaan paling besar sepanjang abad-20 setelah Holocaust yang terjadi di Jerman. Konflik internal yang awalnya merupakan fanatisme antarsuku berubah menjadi pembantaian manusia. Akibatnya eskalasi politik dan keamanan di kawasan juga meningkat. Bahkan menjadi concern dunia internasional, menyusul diadilinya para penjahat kemanusiaan di Rwanda di Pengadilan Kriminal Internasional. Kasus di Rwanda juga menjadi perdebatan panjang akan isu mutual-genocide dalam komunitas internasional. Konflik Rwanda sekaligus memberi pelajaran bagi komunitas internasional untuk mengutamakan sendi-sendi kemanusiaan dan mewaspadai mutual genocide dalam era modern. Di Indonesia, ketidakadilan dan kekerasan lembaga negara berlangsung setiap hari mulai dari pasar tradisional sampai ke ruang sidang. Dan kapitalisme membuat kita saling berkompetisi untuk menimbun kekayaan dan melupakan orang lain. Pada momen ini setidaknya kita dihadapkan pada kebutuhan untuk memahami kembali keyakinan universal Gandhi, bahwa “kita semua adalah anak-anak Tuhan”. Kita butuh untuk bertanya kepada siapa negara Indonesia kini diabdikan? Untuk siapa para polisi dan tentara mengarahkan senjatanya ke arah warga sipil? Untuk apa sidang-sidang dengan para ahli hukum berbaju panjang digelar? Kita butuh untuk terus melakukan perlawanan rakyat seperti gerakan koin untuk Prita, dukungan sandal jepit untuk AAL, save KPK, hingga aksi solidaritas ibu-ibu Rembang. Lalu saya curiga, benarkahperhelatan Asia Afrika yang menelan biaya besar itu dapat menjadi ruang yang kondusif dalam menekan konflik dan kekerasan di wilayah antarnegara kawasan Asia Afrika? Jika benar KAA adalah deretan forum bukan omong kosong, haruslah mapping dari sederet panjang kasus kekerasan dan konflik dapat direkomendasikan sebagai bahan pertimbangan resolusi konflik di negaranya. Biarti dak menguap begitu saja. Bukan sekadar foto-foto selfie dengan backgound gedung Asia Afrika. Bukan itu. Ada yang terlewat dalam perbincangan antardelegasi forum muda kemarin. Bahwa kekerasan hanya bisa dilawan oleh sikap tidak untuk kekerasan. Jawaban dari violence adalah sikap non-violence. Dari sini saya teringat Gandhi dengan ajaran bramkharcaya, satyagraha, swadeshi, dan ahimsa-nya. Sebuah ajaran perdamaian dan penolakan kesewenangan dengan gerakan tanpa kekerasan. Maka, ajaran Gandhi masih relevan diadaptasi negara-negara kawasan Asia-Afrika, terutama di Indonesia. Bagaimana gerakan dan sikap kritis masyarakat sipilnya dalam membangun kemandirian dan ekonomi kerakyatan. Bagaimana pentingnya menelusuri strategi kampanye politik anti kekerasan. Gandhi menutup usia di tahun 1948 dengan cara ditembak mati oleh seorang fundamentaslis Hindu yang kecewa dengan sikap Gandhi yang lebih memihak pada kaum Muslim India. Apa yang terjadi setelahnya? Gandhi dan keluarganya memaafkan si pembunuh. Pada usia ke-78 tahun Gandhi menutup usia without wealth, without proverty, and without official tittle or office. Tapi hingga hari ini, ajaran dan warisannya mengenai non-violence masih menarik untuk dibangkitkan dari kuburnya. Sebab hingga hari ini kita terus saja menyaksikan perang di layar televis kita. Apa yang tersisa? Puing-puing bangunan yang diruntuhkan, perempuan menjadi janda, anak kehilangan bapa ibunya. Segala hanya duka. Betapa pun bangganya sebuah bangsa memenangkan peperangan, betapa pun heroiknya perang hingga melahirkan pahlawan-pahlawan, tetap saja menyisakan kehancuran. Tak ada perang yang paling masyhur dalam sejarah tanpa makan korban. Hal ini senada dengan ucapan Franklin “there never was a good war,or a bad peace”. Dari sinilah kemudian ajaran Gandhi perlu dihidupkan kembali. Utopis bagi mereka yang hanya percaya bahwa perang harus dibalas oleh perang. Konflik dijawab dengan konflik. Tapi Ghandi mengajarkan hal berbeda. Ia menunjukan pada kita bagaimana upayanya dalam membebaskan masyarakat India dari kemiskinna struktural dan penindasan dengan membakar lembar catatan sipil di muka umum. Membuang setelan Eropa lalu menggantinya dengan baju tradisional India. Hingga perlawanan simbolik dengan berjalan sejauh 240 mil ke arah pantai untuk menambang garam. Aksinya ini diikuti oleh masyarakat India dengan jumlah ribuan sampai menutupi pesisir pantai. Apa yang hendak di lawan Gandhi dengan menambang garam? Yang ia lawan adalah monopoli pemerintah atas produksi dan penjualan garam. Gandhi berkata “Garam ini berasal dari laut India, biarkan setiap orang India mengambil apa yang menjadi haknya”. Gandhi juga menyerukan agar setiap orang yang lahir dari bumi India baik itu Hindu, Muslim, Sikh, Yahudi, Kristen atau Persian untuk bersatu dan melawan ketidakadilan yang mereka terima. Kisah menarik lainnya ketika ia berhadapan dengan kekerasan-kekuasaan, Gandhi tidak melawan secara fisik. Dipilihnya sikap pasif sebagai penyangkalan terhadap kekuasaan. Penganiayaan dan kurungan badan ia terima, namun bukan karena takut, melainkan sebagai pembuktian bahwa kekerasan yang dilakukan lembaga negara tak lebih dari kekejaman negara, bukan keadilan. “You have to make injustice visible,” kata Gandhi. Kembali pada Forum Muda Perdamaian Asia Afrika, besar harapan saya forum tersebut bukan sekadar ajang narsis dan romantisme. Lebih dari itu. KAA menjadi ruang kondusif untuk melakukan kampanye perdamaian seperti rekonsiliasi, mediasi, aksi tanpa kekerasan, serta komitmen bersama untuk mendirikan zona perdamaian internasional. Di forum itu, saya, si bocah ingusan, dengan wajah masyarakat dunia ketiga terus bertanya: adakah keberanian dari gerakan kolektif kita untuk mengampanyekan non-violence ala Gandhi sebagai rekomendasi utama dalam gelaran Asia Afrika kita? (*) *) Pegiat Forum Muda ASEAN—dosen politik Universitas Muhammadiyah Cirebon. Menyukai puisi dan kopi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: