Janji Jokowi Buka 10 Juta Lapangan Kerja
Oleh: Okky Asokawati* SEJAK 2014, 1 Mei resmi menjadi hari libur nasional dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional (May Day). Peringatan itu tentu harus dimaknai bukan sekadar seremoni atau libur kerja. Lebih dari itu, peringatan Hari Buruh harus berimplikasi nyata bagi peningkatan kualitas hidup buruh dan kemajuan produktivitas usaha di tanah air. Persoalan perburuhan berkorelasi erat dengan sejumlah masalah ketenagakerjaan yang hingga kini masih menjadi persoalan. Misalnya persoalan penetapan upah minimum provinsi (UMP) yang kerap menjadi momok persoalan antara buruh dan perusahaan, termasuk pemerintah. Belum lagi hak-hak primer buruh yang dalam praktik di lapangan tidak sedikit masih kerap dialpakan. Relasi yang adil, setara, serta saling mendukung mestinya menjadi role model ideal antara buruh dan perusahaan. Tidak tepat bila buruh ditempatkan sebagai pihak yang tenaganya diperas tanpa memperhatikan hak-haknya. Tidak tepat juga bila perusahaan dijadikan sapi perah atas nama kesejahteraan buruh, namun di sisi lain produktivitas kerja tidak meningkat. Di pihak lain, pemerintah juga harus menempatkan diri di posisi tengah sebagai regulator demi kondusivitas iklim usaha. Bila usaha berjalan lancar, perekonomian tumbuh, aktivitas ekonomi masyarakat berjalan, dan dampak positif lain akan muncul. Hari Buruh mestinya dijadikan momentum peneguhan pelaksanaan amanat konstitusi pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dan pasal 23 ayat 1-4 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). BURUH MIGRAN YANG TERABAIKAN Buruh bukan sekadar persoalan pekerja di dalam negeri. Urusan buruh migran tak kalah pelik. Baru-baru ini kita dikejutkan dengan eksekusi mati dua buruh migran di Arab Saudi, yakni Siti Zaenab dan Karni. Saat ini sedikitnya 230 buruh migran terancam hukuman mati. Eksekusi mati dua buruh migran itu menampilkan wajah nyata pemerintahan saat ini yang gagap dalam merespons persoalan warganya, khususnya di luar negeri. Bisa dibayangkan, pemerintah dan pemangku otoritas baru mengetahui bahwa warga negaranya dieksekusi mati beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi. Apa begitu cara pemerintah melindungi warganya? Janji negara untuk hadir dalam persoalan yang menimpa warganya akhirnya terasa seperti peluru hampa saja. Padahal, konstitusi secara tegas mewajibkan negara menjaga satu nyawa warganya tanpa pandang bulu. Kehadiran negara dipertanyakan dalam eksekusi mati Siti Zaenab dan Karni. Padahal, salah satu janji Presiden Jokowi dalam Nawacita saat pilpres lalu menyatakan bahwa negara hadir dalam memberikan perlindungan terhadap warganya. Hingga enam bulan pemerintahan Jokowi, perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) masih sebatas retorik dengan cara yang masih business as usual. Betul memang ada upaya pemulangan sejumlah TKI bermasalah oleh pemerintah. Namun, apakah di situ ujung pangkal penyelesaian karut-marut persoalan TKI? Sejatinya pemerintahan Jokowi telah memiliki resep jitu dan esensial untuk meminimalkan persoalan TKI. Janji Presiden Jokowi saat Pemilu Presiden 2014 untuk membuka 10 juta lapangan pekerjaan selama lima tahun ke depan tentu merupakan langkah nyata untuk mengurangi keberangkatan TKI informal di kantong-kantong pengiriman TKI. Bagaimana kemajuan dari janji Presiden Jokowi itu? MENAGIH PETA JALAN 10 JUTA LAPANGAN KERJA Indikator untuk mengukur sukses tidaknya atau jalan tidaknya janji 10 juta lapangan kerja oleh pemerintahan Jokowi tentu mudah. Setidaknya dengan menggunakan logika matematika awam, cukup mudah menghitungnya. Jika dalam satu periode jabatan pemerintahan Jokowi (lima tahun) menjanjikan 10 juta lapangan kerja baru, berarti selama satu tahun sedikitnya terdapat 2 juta lapangan kerja baru. Dengan kata lain, selama enam bulan pemerintahan Jokowi saat ini, sudah ada 1 juta lapangan kerja baru. Apakah itu terealisasi? Semua bisa menjawabnya. Bila terealisasi dengan baik, janji membuka 10 juta lapangan kerja baru itu memiliki efek domino luar biasa yang positif. Pengiriman TKI informal tentu akan dapat ditekan, bahkan distop sebagaimana pernyataan presiden saat berpidato di acara salah satu partai politik. Tentu angka kemiskinan secara linier akan ditekan semaksimalnya. Sejalan dengan itu, parlemen berencana melakukan perubahan terhadap UU No 39 Tahun 2004 yang telah masuk daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Saat Komisi IX DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri pertengahan April lalu (13/4), saya pertanyakan langsung road map program kerja penciptaan 10 juta lapangan kerja baru. Sayang, peta jalan untuk menciptakan 10 juta lapangan kerja baru hingga saat ini belum muncul dari pemerintah. Padahal, tantangan di depan mata tengah kita hadapi secara terang dan nyata. Antara lain pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun ini yang berdampak masuknya tenaga kerja asing ke dalam negeri, daya beli masyarakat yang menurun karena efek kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), nilai tukar rupiah terhadap dolar yang belakangan anjlok, serta penerimaan pajak yang tidak sesuai target. Sejumlah persoalan itu tentu menjadi tantangan yang tidak ringan. Persoalan klasik rupanya juga menghinggapi pemerintahan Jokowi. Koordinasi antar kementerian dan lembaga masih menjadi hal yang mewah sekaligus langka. Untuk menunaikan janji Presiden Jokowi, semestinya para pembantu presiden bahu-membahu merealisasikan janji itu. Tentu persoalan tersebut tidak hanya tertumpu pada Kementerian Ketenagakerjaan. Ada kementerian lain yang bertalian. Jika janji 10 juta lapangan kerja baru tertunaikan, saya yakin bahwa persoalan ketenagakerjaan yang muncul akan mudah terurai. Kasus TKI di luar negeri tentu secara simetris dapat ditekan. Kasus yang menimpa Siti Zaenab dan Karni secara teoretis dapat diminimalkan untuk jangka panjang seiring dengan tersedianya lapangan pekerjaan di Tanah Air. Mengutip peribahasa populer, janji adalah utang, Pak Presiden. (*) *Penulis adalah Anggota Komisi IX DPR, Fraksi PPP
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: