Kuasa Hukum Minta Terdakwa Bebas
Sidang Kasus Penghancur Gedung DKC CIREBON – Sidang lanjutan kasus penghancuran gedung Dewan Kesenian Cirebon (DKC) kembali digelar di Pengadilan Negeri Kota Cirebon, Rabu (6/5). Agenda sidang terkait pembelaan kuasa hukum terdakwa Jujun dan Sugianto atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Kuasa hukum Ermanto SH membacakan sidang pembelaan di hadapan majelis hakim yang dipimpin Mahri Hendra SH MH didampingi M Martin Helmy SH MH dan Rozi Y Roland SH MH serta panitera Kuswandi. Dalam pembelaannya, kuasa hukum meminta terdakwa dibebaskan. Alasannya, terdakwa tidak terbukti dengan tuntutan JPU yang mengenakan pasal 170 ayat 1 KUHP. Di mana unsurnya terdakwa terang-terangan melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang (gedung DKC). Menurut Ermanto, dua terdakwa tidak berniat melakukan perusakan gedung DKC secara bersama-sama. Karena Sugianto hanya pekerja yang dibayar Jujun. Sehingga pasal yang dikenakan salah dakwaan. Mestinya yang dikenakan pasal 406 ayat 1 KUHP tentang perusakan. “Kemudian Jujun dan Sugianto hanya dikenakan dakwaan primer tanpa subsider. Artinya jika dakwaan tidak terbukti harusnya dibebaskan,” kata Ermanto kepada Radar, usi persidangan. Anggota DKC Ken Nagasi menilai, pembelaan kuasa hukum yang meminta terdakwa dibebaskan sangatlah tidak tepat. “Orang bisa mengukur, untuk bisa merobohkan gedung permanen hanya dalam waktu dua hari mustahil bisa dilakukan hanya seorang pelaku, kecuali menggunakan alat berat,” kata redaktur ekskutif salah satu media nasional di Jakarta ini. Terlebih saat bersamaan, terdakwa mengambil barang-barang DKC yang jumlahnya tidak sedikit tanpa sepengetahuan pemilik. Sehingga tuntutan jaksa terkait dakwaan yang hanya satu pasal, sudah dinilai tidak wajar. Karena terkait asas keadilan, mestinya tuntutan berlapis. “Saya kira hakim akan menjatuhkan hukuman maksimal kepada para pelaku penghancuran gedung milik negara yang dipimpin seniman (Alwy, red) yang mendapat penghargaan gubernur, karena dedikasinya di bidang kebudayaan Jawa Barat. Penghargaan merupakan pengakuan pemerintah, sehingga layak menjadi pertimbangan hakim,” tukasnya. Ken mengingatkan, era teknologi canggih memungkinkan fakta dan detail persidangan mudah diakses masyarakat luas melalui dunia maya. Fakta yang dipelintir di persidangan pun akan tampak transparan. “Karena itu, meski persidangan digelar di daerah, semua pihak harus berhati-hati dan bersungguh-sungguh,” tandasnya. (hsn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: