Tentang Sayang yang Kadang Terlupakan
Oleh: Munibah CIREBON semakin panas. Ditambah lagi musim kemarau. Tanah kering kerontang. Terbukti dari rerumputan di Bima yang mulai keemasan seperti padi. Ah, sejatinya hamparan kemuning itu bukan sri di sawah. Rerumputan yang malang. Juga di sekelilingnya abu-abu bekas pembakaran sampah sembarangan yang memilukan. Gosong melekat penuh. Tak sedap mata memandang. Biasanya siang begini, banyak muda-mudi mampir di areal Bima yang khas akan angin sepoinya. Tapi berbeda dengan siang pilu ini. Mungkin mereka sedang tidak rindu dengan angin sepoi. Tentang angin sepoi itu seperti belaian kekasih. Entah apa alasan yang pantas tapi begitulah perasaanku. Lewat desir lembutnya, aku sudah merasa Mila tengah di sampingku. Menemani sembari mengelus rambutku dengan sayang. Kalau aku mampu, aku ingin terbangkan suratku pada angin untuk Mila, dan membujuknya bersama denganku sekarang. Tapi naif. Aku tidak bisa. Whoosh… angin mendesir cukup lebat. Dedaunan runtuh. Satu dua melewati. Ada satu daun yang berani singgah di depan mataku. Ia berlabuh pada tablet yang sedang ku genggam. Aku meraihnya. Bentuk tepinya spiral bergerigi. Batang daun membentang sempurna. Juga helaian daun yang membentuk hati. Tiba-tiba sesosok gadis berdiri di depan meja makanku. Aku mendangak. Mila tersenyum manis. Ku balas dengan senyum kecut. Dia langsung duduk tanpa perlu ku suruh. “Aku ganggu kakak, ya?” Aku tidak bergeming. Sering aku begini. Merasakan kehadiran Mila di dekatku. Aku tidak menggubris pertanyaannya. Aku tidak akan menjadi seorang bodoh lagi karena terus saja memimpikan kehadirannya. “Kak, aku ganggu, ya?” Aku kembali mendangak. Ku kucek mata berkali-kali. Memastikan dia benar-benar Mila. Nah, apa ku bilang, hanya perempuan tengil, teman dekat Mila yang datang. “Apa perlu saya marahin kamu untuk tidak datang tiba-tiba dengan wajah seperti itu?” “Okey, aku minta maaf kalau kakak merasa terganggu dengan kehadiran aku di sini. Kak, apa aku pernah berbuat dosa yang tidak bisa Kakak maafkan?” “Ya, kamu selalu datang dengan wajah Mila dan itu adalah kesalahan yang susah untuk dimaafkan. Kalau kamu sudah mengerti maksudku, silakan tinggalkan saya sendiri, saya sedang muak mendengar ocehan kamu.” “aku belum paham. aku akan di sini, bersama Kakak.” Aku tidak merespons. Selanjutnya, tidak ada satu topik pun yang kami bicarakan. Dia pun tidak membuka pembicaraan. Dia membuka tas ranselnya. Mengambil buku setebal 6 inchi serta ballpoint dari kantung berbeda. Dia mulai membuka buku yang lebih kelihatan seperti diary. Di lembaran kosong, dia baru menulis. Aku meletakkan tabletku. Ku rampas buku yang tengah ditulisnya. Dia setengah teriak, tapi lekas menutup mulutnya setelah ku isyaratkan untuk diam. Dia memang penurut. Tidak akan menolak apa yang ku bilang. “Buku apa ini?” “Cuma tulisan biasa, Kak. Sudahlah, isi buku itu semuanya tidak akan menarik perhatian Kakak. Karena style kita beda, apa yang aku sukai, pasti sangat Kakak benci, begitu kan yang Kakak bilang?” Aku seperti diskak mati. Ku letakkan lagi buku menyebalkan itu. Sebenarnya aku ingin tahu banyak tentang buku yang setiap bersamaku pasti tidak ketinggalan dibawanya. “Ya, itu memang benar. Saya tidak level membaca buku beginian.” Early tersenyum. Diraihnya lagi buku yang tergeletak di depanku. Entah terbuat dari apa perempuan itu, dia tidak bosan selalu menemaniku meskipun aku sendiri bosan dengan sikap judesku. Lalu kami saling diam. Dia tidak membuka topik apapun. Mungkin dia trauma, dia sebenarnya agak cerewet, bahkan lebih cerewet dari Mila, tapi setelah ku marahi habis-habisan karena cerewetnya, setiap kali kami berduaan, dia tidak lagi banyak omong. Dia akan bicara setelah ku tanya. Kalau tidak, dia akan diam. “Kenapa kamu mau dengan orang seperti saya? Saya ini galak kaya herder.” “Herder tidak selamanya galak, Kak. Herder juga sahabat manusia. Dia akan baik kalau dengan orang baik. Buktinya Kakak baik dengan Mila.” Dia menjawab tanpa menatapku. Sekarang dia lebih terlihat cuek. Tidak berusaha membuatku memperhatikaannya. Dia tidak lagi ganjen. Atau memaksaku untuk mencintainya yang notabene adalah istriku. Bahkan meskipun begitu, dia tidak pernah memakasaku untuk menyebutnya sebagai istri. Dia tidak bersikap memilikiku. Dia penurut, sabar dan menerimaku apa adanya. Tapi satu hal yang penting. Kesalahan terbesarnya adalah karena dia mirip dengan sahabatnya, Mila. Meski pembedanya, senyumannya lebih garang daripada Mila. Dia punya wajah tirus, sementara Mila lebih berisi. Hidungnya sama mancung, tapi Mila lebih mengerucut indah. Ah, Mila memang tidak terganti, dia tetap yang paling cantik. “Aku boleh pulang duluan, Kak?” “Mau ngapain? Kamu bosan sama saya?” “Enggak, Kak. Aku nggak ngerasa begitu.” “Terus apa?” “Aku belum sempat masak air pas ke sini. Kakak perlu mandi hangat biar lebih seger.” “Alasan! Pokoknya kamu sudah ke sini, berarti harus pulang bareng saya.” Early tersenyum tapi segera disembunyikannya lewat buku yang sedang ditulisnya. Aku mengangkat tablet lebih tinggi, sejajar dengan wajahku. Ku tutup wajahnya, bersama dengan munculnya foto pernikahan kami pada wallpaper. Aku yakin tidak selamanya kemarau mencintai Bima seperti ini. *** MUSIM panas bergerak jauh lebih lincah, berlalu meninggalkan teriknya pada Bima. Di tempat yang sama, aku terduduk. Rumput yang kering disepuh hujan menjadi riap. Sekeliling Bima menjadi taman oase yang sempurna. Beberapa jalanan membuat lembah kecil yang berair membekaskan hujan semalam. Musim yang berganti, membuat payah aspal yang terkelupas. Musim yang tidak lagi menyehatkan saat sepoi angin mendera. Musim yang anyeb luput dari gersangnya kemarau. Early tidak lagi ku temukan cerianya sejak musim kemarau digantikan penghujan. Entah sudah berapa episode yang terlewat dan aku sama sekali tidak menyadari apa yang telah terjadi. Ting tong ting. Tabletku berdering kencang. Incoming call terpapar dan menyala-nyala. Aku belum berani mengangkatnya. Sebelumnya, aku benar-benar ingin berbicara dengan gadis yang ku sebut Mila ini. Tapi setelah musim berubah jadi dingin, hatiku beringsut tak mau. Aku tak acuh. Ku masukkan segera ke dalam tas. Ku singkur tas pada punggung. Suamimu datang, Early, benakku. Siapkan air hangat untukku. Pintu tidak terkunci ketika aku pulang. Suasana begitu senyap. Ku lepas sepatu dan meletakkannya di sebelah rak. Sepasang heels 7cm yang belum pernah ku lihat merebut tempat alas kakiku. Milik siapakah? Aku yakin teman Early tengah berkunjung. Atau mungkin… “Kak…” Aku baru mau memasuki ruang tamu ketika Early berdiri di ambang lobi. Dia meraih tas dan jas yang ku sampirkan di tangan kiri. Dia mencium tanganku dan segera dibimbingnya masuk menuju ruang tamu. “Ada Mila, Kak.” Pikiranku kacau ketika nama itu terucap. Aku tidak bisa berkata-kata, Early menarikku tanpa memperdulikan tanggapanku. Sampai di ruang tamu, dia melepaskan genggaman tangan kami, dia berjalan menuju kamar. Aku dipaksa berduaan bersama cinta pertama yang sebenarnya sudah mati. “Kak Surya baru pulang, yah?” Aku tersenyum. Dia menunjuk kursi di sampingku. Aku duduk, berdampingan dengannya. “Early buatin kue-kue ini, kakak udah cobain belum?” “Boleh, biar saya coba.” Aku mengambil kukis dari toples berwarna ungu perak. Kami mulai berbicara. Lama, Early tidak kunjung keluar dari kamar. Aku tidak habis pikir mempunyai istri yang rela suaminya berduaan bersama mantan pacarnya di ruang tamu sedari tadi. Apa dia tidak sama sekali memendam curiga dan cemburu? “Saya ke kamar dulu.” Ucapku, menyudahi obrolan. Aku masuk kamar dan mendapati Early tengah menutup badannya dengan selimut. Dia menarik bantal guling setelah melihat pintu ku tutup. Aku mendekatinya, dia berbalik membelakangiku. “Kamu ini bego atau tolol sih?” ucapku dengan suara garang. “Jangan keras-keras, ada Mila di luar.” Katanya dari balik bantal. “Begini sikapmu bicara dengan suamimu?” Early membuka bantal gulingnya. Ia duduk, berbalik menghadapku. Matanya sudah menanar, berbeda dari beberapa menit lalu ketika menyambut kedatanganku. “Kamu cemburu saya di sana?” Early mengangguk. Aku merengkuhnya segera. Ku elus rambutnya yang terurai hingga acak-acakan. Bodoh bodoh! Teriakku dalam hati. “Mila ingin jadi istri kedua Kakak.” Katanya sembari melepaskan pelukan. Aku baru ingin mengucapkan kata sayang ketika dia lebih dulu menyentakku dengan kabar yang tak menyenangkan. “Terus saya harus bagaimana?” Early diam. Dia menunduk lalu menutup wajah dengan tangannya. “Kamu tidak perlu repot-repot mencari kabar Mila dan membawanya ke sini untuk saya, buat apa? Kamu tidak mencintai saya?” Early masih bisu. Wajah teduhnya muram seperti jelaga. “Beberapa bulan yang lalu Kakak aktif hubungi Mila. Aku sudah baca semua obrolan kalian. Dan aku sadar posisi aku di hati kakak. Aku sudah berusaha untuk tetap tegar ketika Kakak meneriakiku seperti Mila dan Mila. Aku yakin Kakak tidak bisa mengganti Mila dengan aku. Lalu ketika kebetulan bertemu Mila di jalan, dia bilang mencari alamat rumah kita, dia mencari kakak, dan katanya, dia ingin bersama kakak lagi”. “Lalu apa reaksimu?” “Pernikahan kita di ambang kehancuran.” Paak. Aku menamparnya seketika. Dia tergugu sambil memegang pipinya. Air matanya melumer semakin deras. Aku beranjak. “Kamu tidak mencintai saya. Baiklah, saya akan keluar dan mengatakan kepada Mila…” Belum tuntas ucapanku, Early menubrukku dari belakang. Tangisnya semakin parau terdengar di telingaku. Aku baru saja mencintainya, setelah lama melupakannya. (*) *) Pada sisa-sisa gerimis sore. Cirebon, 26 Januari 2014 Penulis adalah guru Bahasa Inggris di MI Miftahul Huda Soga-Tekid
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: