Sastrawan Miliki Kepekaan Puitik Luar Biasa
Oleh: Garib Ganjar Santika MENARIK membaca tulisan Abdul Rozak Zaidan dalam Ihwal Sastra Ihwal Kreativitas di sebuah rubrik yang dimuat Horison. Saya lupa arsipnya entah di mana sekarang. Namun, yang lebih penting ialah inti persoalan bahwa sastrawan merupakan manusia yang dipilih, dianugerahi kemampuan kreatif oleh Sang Maha Pencipta. Menurut penulis, boleh dikatakan bahwa sastrawan dilahirkan seperti manusia pada umumnya. Namun, ia memperoleh “indra keenam” yang membuatnya dapat memasuki pikiran dan peri kehidupan manusia lain. Manusia lain itu kelak akan menjadi tokoh rekaan yang dapat dikenal luas oleh pembaca yang pada gilirannya akan menjadi mitos yang memiliki kekuatan untuk dikenang dan dijadikan contoh. Laku dan sikapnya dikenang oleh sang pembaca dan dalam batas tertentu menjadi “teman” sang pembaca. Selain itu, ia dikaruniai kepekaan untuk menangkap makna dari setiap peristiwa, tokoh, dan bumi yang dipijaknya. Kemampuan ini menjadi modal dasar baginya untuk menciptakan manusia rekaan yang mungkin dijumpainya dalam pengalaman hidup kesehariannya. Dari sisi pembaca, kemampuan berimajinasi disertai kemampuan penghayatan yang mendalam terhadap manusia dan persoalan zamannya akan mempertemukan pembaca dengan pikiran dan perasaan sang pengarang. Kedua kemampuan itu pada gilirannya akan menjadi dasar bagi ditemukannya konsep pemahaman atas karya sastra dan seni pada umumnya. Dengan begitu, berkembang pula teori untuk menyambut kreativitas sang pengarang. Berbagai wujud teori itu hakikatnya adalah kreativitas dalam bentuk lain yang dapat menjadi lebih berkembang lagi di masa depan. Kemampuan kreatif memerlukan keberanian kreatif, keberanian untuk menghadapi risiko yang timbul akibat laku kreatif yang mengungkapkan ihwal yang tidak biasa. Keberanian kreatif dibutuhkan untuk menampilkan sesuatu yang lain dari yang biasa di luar adat. Keberanian kreatif menjadi modal untuk melancarkan kritik kepada penguasa yang zalim. Ketika sebuah rezim menjadi amat kuasa, kritik yang dilancarkan sastrawan dapat saja menjadi jalan untuk masuk bui, juga pernyataan yang berlawanan dengan kebijakan politik baik dalam sastra maupun laporan investigasi jurnalistik, misalnya. Abdul Rozak Zaidan pun memberikan apresiasi pengarang Mochtar Lubis dapat disebut sebagai pengarang yang memiliki keberanian kreatif untuk bersebarangan dengan politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru sekaligus. Dia mendapat julukan wartawan jihad dan itu menjadi salah satu judul buku untuk mengenang keberaniannya. Pada masa Orde Lama Mochtar Lubis baru dapat menerbitkan novel Senja di Jakarta di Malaysia. Novel itu mengungkapkan persoalan korupsi yang dilakukan penyelenggara negara. Demikian juga pada masa Orde Baru korannya Indonesia Raya membongkar kasus korupsi di Pertamina. Kasus yang mirip dialami juga oleh WS Rendra pada masa Orde Baru berkaitan dengan pembacaan sajak dan pementasan drama yang mengeritik pemerintah. Dalam kumpulan sajaknya Potret Pembangunan dalam Puisi dan Orang-Orang Rangkasbitung mengungkapkan gagalnya pembangunan untuk menyejahterakan rakyat. Menjelang Reformasi, Wiji Thukul melakukan gerakan perlawanan melalui penciptaan dan pembacaan sajak. Sampai sekarang penyair Aku Ingin Jadi Peluru itu tidak jelas nasibnya, hilang sejak kerusuhan 21 Mei 1987. Selepas Reformasi pula Taufiq Ismail mengumpulkan sajak yang mengambil tema menyuburnya budaya korupsi di tanah air dengan judul Malu Aku Menjadi Orang Indonesia yang diakronimkan Majori. Penyair itu merasa tidak nyaman menjadi orang Indonesia karena laku korupsi yang merajalela. Kreativitas yang dimiliki manusia membawa manusia pada statusnya sebagai wakil Tuhan di dunia. Atau, dalam statusnya sebagai wakil Tuhan itu, manusia dilengkapi dengan kreativitas oleh Sang Pencipta. Sutan Takdir Alisjahbana (1983: 36-37) menegaskan adanya keistimewaan manusia dalam wujud budi yang membedakannya dari makhluk lain yang dengannya manusia memperoleh kemungkinan untuk terus-menerus menciptakan. Melalui evolusi alam, manusia mendapat budi yang memungkinkannya berkreasi. Kreativitas manusia dalam kaitannya dengan status manusia sebagai wakil Tuhan di dunia amat jelas. Kemampuan memanfaatkan “indra keenam” seperti dibuktikan sastrawan Danarto yang menciptakan “Godlob”. Pengamat sastra Jamal D Rahman dalam tulisannya mengapresiasi karya Danarto adalah sastrawan Indonesia terkemuka, yang sangat menonjol terutama dalam genre cerita pendek. A Teeuw memandang karya-karya Danarto sebagai corak pembaruan dalam khazanah sastra Indonesia modern, yang secara paradoksal berakar dalam kebudayaan tradisional. Tampil mewakili panteisme Jawa, dia telah menjadikan berbagai hal luar biasa bertemu dan segala hal yang paling ganjil jadi mungkin (Teeuw 1989: 201-203). Abdul Hadi WM berpendapat bahwa karya-karya Danarto memperlihatkan kecenderungan sufistik dan gagasan-gagasannya memiliki pertalian dengan gagasan para sufi, sebagaimana kebatinan Jawa menerima banyak pengaruh dari tasawuf (Hadi WM 1999: 22). Demikianlah cerita-cerita Danarto merefleksikan imajinasi kreatifnya yang penuh pesona, yang dengan lincah dan merdeka mengaduk-aduk cerita dan gagasan dari berbagai sumber berbeda-beda, sekaligus menfiksikan konsep-konsep metafisis yang musykil. Secara umum jelas dia menyuarakan dimensi-dimensi mistik Islam Jawa yang mengandung banyak spekulasi filosofis dan kesatuan mistis. Konsep-konsep metafisis yang biasanya diuraikan lewat narasi diskursif atau puisi, kini diturunkan ke dalam fiksi sebagai karya sastra Indonesia modern. Jamal D Rahman mengulas bagaimana titik tolak yang sangat penting bagi penghayatan kerohanian Danarto terjadi pada tahun 1964 di Jakarta (Danarto 1988). Ketika itu dia melihat seorang bayi dalam kotak kayu. Bagi orang lain, bayi tersebut sesungguhnya biasa saja seperti umumnya bayi. Tapi entah kenapa bayi itu seakan menguasai perasaan Danarto dengan luar biasa. Ia secara ajaib menggoncang jiwa dan batin Danarto hingga dia merasa lemas kehabisan tenaga. Dia terguncang hebat. Dia pandang dari dekat bayi yang tergolek tak berdaya dalam kotak kayu itu dengan rasa takjub. Bagi Danarto, sang bayi tampak memancarkan cahaya kebesaran dan keagungan. Dia terpana, hanyut, dan tenggelam dalam cahaya kebesaran dan keagungan itu. Danarto menyebutnya “bayi yang Tuhan”, yakni bayi yang mempertunjukkan padanya kebesaran dan keagungan Tuhan. Tentu ini satu bentuk pengalaman ekstatis, di mana momen kerohanian yang sangat penting dan menentukan tengah berlangsung. Pengalaman serupa terjadi lagi di tahun 1968 di Bandung, di mana dia melihat “tukang kebun yang Tuhan”, “sopir yang Tuhan”, “binatang yang Tuhan”. Akhirnya, kata Danarto, “Perasaan saya apa yang terbentang mengisi seluruh hamparan, sudut, dan pelosok, tidak lain kecuali Tuhan.” Bagi Danarto, pengalaman ekstatis itu merupakan sebuah karunia. ‘Karunia yang sesungguhnya sulit saya katakan dalam bentuk kalimat-kalimat,” katanya. Dan kelak dia menjadikan karunia tersebut sebagai wawasan estetiknya. Pengalaman itu bukan suatu kebetulan. Begitulah, kemampuan “indra keenam” merupakan sarana yang melancarkan lahirnya ide-ide kreatif, ide yang kuat mempengaruhi pikiran dan batin, ide yang kadang-kadang menyelinap dalam sanubari. Maka dari itu, tulislah, write, jangan sampai idemu mampet, dan menjadi gelisah. Setiap orang tentu memiliki “indra keenam”, asalkan saja kemampuan mendeteksi dan kepekaan lahir batin itu, yang membedakan seseorang mampu apa tidak menjadikannya karya sastra. Let try to write, cepat ambil pena dan bertekad kuat menjadi pengarang, seperti para pendahulu yang sudah mewariskan sejuta gagasan kreatif. (*)
*) Penulis adalah penggiat Komunitas Sastra Majalengka dan Bengkel Seni Terbit Majalengka
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: