Unsur Niat dalam Hukum

Unsur Niat dalam Hukum

TIDAK  semua aturan pidana di berbagai daerah memasukkan unsur niat di dalam kitab undang-undangnya. Suku-suku Jermanik (Germanic) terdahulu adalah contohnya. Mereka mengenakan kewajiban pergantian atas sebuah tindakan yang mencederai, tanpa peduli terhadap niat. (Baca: Paul H Robinson, Mens Rea, University of Pennsylvania Law School) Dalam tata hukum Jermanik –seandainya seorang terbeset golok temannya yang menebang pohon– maka yang menebang pohon itu dihukum sama dengan hukuman apabila ia sengaja melakukan pembacokan. Kepala suku yang menentukan hukuman atas itu. Kemudian muncul peradaban baru, peradaban yang mengenal suatu sistem gugatan. Persidangan semakin terbuka dan segala macam penjuru diberi kebebasan menyoroti, tentunya selama diatur di dalam undang-undang. Pada saat itulah, di samping penggugat dan tergugat, hakim ditemani pula oleh jaksa serta pengacara atau bahkan saksi ahli dan juri. Dalam tahap ini, fungsi menjatuhkan hukuman menjadi ketat, dan niat (intention) mulai dijadikan rujukan yang teramat penting. Niat adalah sesuatu hal yang sudah ditaruh di dalam hati sebelum suatu perbuatan terjadi. Singkatnya begitu. Oleh karenanya niat di dalam hukum, lambat laun, menjadi begitu penting sebagai pertimbangan yang menentukan suatu perbuatan itu jahat (actus reus) atau tidak. CONTOH KEBERKAITAN NIAT DENGAN HUKUMAN Jika kita ingat, ada suatu jargon menyebutkan bilamana “yang merugikan belum tentu jahat, tetapi yang jahat sudah pasti merugikan”. Kesemuanya, bergantung pada alasan (reasoning) Contohnya, seorang yang membela diri dari begal kemudian bertarung hingga mengakibatkan begal itu mati. Tindakan membunuh tersebut tentu merugikan. Tetapi tindakan itu dilakukan tidak dengan niat jahat (mens rea) untuk membunuh, melainkan dengan keinginan mempertahankan hartanya (hifdzu mal). Perbuatan tersebut, dalam istilah pidana, dikenal dengan pembelaan darurat (noodwer) yang tercantum pada Pasal 49 (1) KUHP. Sesuai peniliaian hati nurani kita, tentu merampas nyawa orang adalah perbuatan keji. Akan tetapi, manakala perbuatan itu dilakukan dengan dasar membela diri dari kejahatan, maka hal itu tidaklah dapat dinilai salah. Tidak etis juga apabila pemidanaan lalu menjadi solusi akhir pengendara yang tidak tahu menahu itu. Sudah hartanya hendak hilang, nyawanya terancam, membela diri pun disalahkan. Niat dalam perspektif kontemporer kemudian perlu dibuktikan dengan cermat. Dalam perkara-perkara di atas, kita mulai memahami jika niat menjalar jauh menyentuh tahap keadilan. Keadilan itu bermuara pada simpul perihal, tidak sepantasnya menghukum kepada orang yang dia sendiri tidak memahami. Atau, tidak sepatutnya menjatuhi hukum kepada orang yang tidak memiliki niat sama sekali melakukan kejahatan. NIAT DAN KORUPSI Unsur niat juga mulai merasuk ke dalam ranah kasus extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Salah satu daripadanya adalah korupsi. Kita tentu sepakat bahwa korupsi merusak mental bangsa. Korupsi menghabisi hidup orang banyak dengan memakmurkan diri secara pribadi. Korupsi pun, telah menyengsarakan negara dalam kerubungan kemiskinan yang parah. Seperti sebuah ungkapan klasik Louisa Valenzuela “kita hidup tidak bisa lepas dari politik,” Ya, lanjutnya, “berak pun politik”. Tentulah, korupsi sebagai stigma juga tidak luput dari intrik dan rencana manipulasi politik. Begitu menyeramkannya predikat koruptor. Maka tidak urung para politikus mencoba menghancurkan lawan politiknya dengan memberikan tuduhan tersebut. Dalam korupsi, unsur yang harus dipenuhi adalah adanya kerugian. Kerugian tersebut harus juga dipenuhi berbarengan dengan niat memperkaya, baik diri maupun orang lain. Dan niat memperkaya itu pun harus melihat unsur yang didasari kesengajaan. Singkatnya, kerugian koruptif harus terstruktur dan direncanakan untuk lalu diadakan dengan sengaja memang untuk kejahatan. Berlanjut, andaikata ada sebuah tindakan di luar hukum dengan niat baik dan demi kemaslahatan umum, hal itu tidaklah dapat disebut korupsi. Hukum memberikan istilah khusus yang disebut dengan diskresi. Tidak bisa hanya karena sebuah kelalaian administrasi, niat baik (berdasar diskresi) kemudian dilencengkan menjadi pidana. Inilah yang keliru dan tak jarang dijadikan sarana politik ‘pembusukan’ dengan modus ‘melakukan korupsi’. Mempermasalahkan yang tidak patut. PENUTUP Menyeruaknya konsep mempertautkan niat dengan tindakan mulai banyak dibicarakan akhir-akhir dewasa ini. Bukan hanya karena penting, tetapi juga karena menjamurnya upaya kriminalisasi. Artinya, dengan begitu, niat telah mengubah paradigma hukum yang begitu kaku dan tekstual menjadi hukum yang ditegakkan berdasarkan pula kontekstual. Pergeseran berkaitan dengan dilibatkannya niat ini, dapat dijadikan indikasi bahwa positivisme hukum telah usang dan muncullah paradigma baru bernama progresifitas hukum. (*) *) Penulis adalah Peniliti di Satjipto Rahardjo Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: