Spirit Sosial-Spiritual Nisfu Syaban
SETIAP tahunnya, kita akan bertemu dengan bulan Syaban. Syaban merupakan bulan urutan ke-8 yang diapit oleh bulan Rajab dan Ramadan. Nama Syaban sendiri berasal dari bahasa Arab; tasya’aba yang berarti berpencar. Konon, dahulu kala masyarakat Arab biasa pergi keluar dan memencar, untuk mencari air sebab panas yang terik. Arti lain yang serupa, Syaban juga berasal dari kata sya’aba yang berarti merekah atau muncul dari kedalaman. Nabi Saw menyebut Syaban sebagai bulannya, bulannya Nabi Saw. Bulan yang diistimewakan Allah karena pada bulan ini Nabi Saw meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah ritual dan ibadah sosialnya baik kepada sesama dan Allah Swt. Nabi Saw meningkatkan ibadah salat, zakat, puasa, sedekah dan lainnya pada bulan ini. Tak ada kata lain kecuali kita pun bisa meneladaninya untuk bisa meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah Allah Swt. Kalau saja kita mau merenung, pada bulan ini kita sedang dibimbing Allah Swt untuk bisa membangun spirit sosial kepada sesama yang membutuhkan sebagai bukti penghambaan kita kepada Allah Swt. Syaban menyimpan hikmah sosial dan spiritual yang dalam. Syaban Istimewa “Bulan Rajab itu adalah bulan Allah, bulan Syaban adalah bulanku dan bulan Ramadan adalah bulannya umatku.” Begitulah bunyi salah satu sabda Nabi Saw tentang keistimewaan bulan Syaban. Tak tanggung, bulan Syaban itu bulannya Nabi Saw. Beliau sendiri yang menegaskan betapa Syaban begitu menyimpan keistimewaan. Ali bin Thalib juga menceritakan, “Susungguhnya Rasulullah Saw keluar pada malam ini (malam nisfu Syaban) ke Baqi’ (kuburan dekat masjid Nabawi) dan aku mendapatkan beliau dalam keadaan meminta ampun bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan dan para syuhada.” Dengan begitu, nifsu Syaban menjadi momen diampuninya dosa-dosa. Kita bisa memanfaatkannya untuk menginsyafi segala kesalahan dan beristgfar. Pun ketika Rasulullah ditanya oleh Usamah bin Zaid mengapa beliau banyak berpuasa di bulan Syaban, Rasul menjawab, “Karena bulan itu banyak dilalaikan manusia, padahal pada bulan tersebut akan diangkat amalan-amalan seorang hamba kepada Allah. Dan aku ingin amalanku diangkat dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i). Puasa menjadi perlambang agar kita bisa menahan diri untuk tidak berbuat keburukan dan kezaliman. Diriwayatkan dari Anas ra, berkata, “Adalah orang-orang muslim apabila masuk bulan Syaban, mereka membuka mushaf-mushaf AlQuran dan membacanya, mengeluarkan zakat dari harta mereka untuk memberi kekuatan kepada orang-orang yang lemah dan orang-orang miskin untuk melakukan puasa Ramadhan.” Ini juga menjadi spirit bahwa Syaban menjadi bulan untuk menyemai kebersamaan dan sikap saling peduli kepada sesama. Spirit Sosial-Spiritual Maksud dari nisfu Syaban sendiri adalah pertengahan bulan Syaban, hari ke-15 dari bulan Syaban. Imam Nawawi menyatakan, pada hari nisfu Syaban tahun kedua Hijriyah yang lalu, telah berlaku pertukaran kiblat untuk umat Islam untuk pertama kalinya yaitu dari Masjid Al-Aqsa ke kakbah di Masjidilharam. Kalau coba kita renungkan nisfu Syaban memberikan makna kita untuk meningkatkan spirit sosial dan spiritual kita kepada sesama dan Allah Swt. Ibadah ritual seperti shalat, zakat, puasa, sedekah dan lainnya menjadi berlipat-ganda jika kita semakin rajin menunaikannya. Ibadah ritual itu sendiri memang harus berfungsi ganda. Shalat, puasa, zakat, dll-nya yang ditunaikan harus bisa mendorong kita untuk peduli dan bijak kepada sesama. Ketentuan itu dipertegas oleh Al-Ghazali, ia mengatakan, “Al-Naf al-Muta’addi a’zham al-Naf al-Qashir”, ibadah yang memberi manfaat yang menyebar lebih agung daripada ibadah yang membawa manfaat kepada diri sendiri. Nabi Muhammad Saw., pernah bersabda, “Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut?.” Para sahabat menjawab, “Ia adalah orang yang tidak lagi punya kekayaan.” “Oh bukan!”, kata Nabi Saw. Nabi Saw melanjutkan, “Ia adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa daftar pahala shalat, puasa dan zakat. Dalam waktu yang sama ia juga membawa daftar kezhaliman. Ia mengecam si A, menuduh si B, memakan harta si C, menumpahkan darah si D dan memukul si E. Kepada mereka yang dizalimi ia harus membayar dengan kebaikannya sampai habis. Manakala ia belum bisa melunasinya, maka dosa mereka yang dizhalimi ditimpakan kepadanya. Sesudah itu ia dilemparkan ke dalam api neraka.” Ibadah individual yang tak berbanding lurus dengan kualitas sosial, tidaklah benar. Padahal ibadah individual sendiri mempunyai efek ganda, yang bisa mendorong dan membangkitkan pelakunya untuk peduli dan bertanggung jawab pada kehidupan sosial. Saat kita rajin salat, puasa, zakat dan haji, tetapi di saat yang sama kita melakukan kezaliman, diskriminasi dan kejahatan sosial, ibadah individual kita berjalan sia-sia, sebagaimana tergambar jelas dalam hadits Nabi Saw di atas. Akhirnya, apa yang kita harapkan di dunia ini? Keberlimpahan harta, tingginya jabatan, atau apa? Bagi saya kita harus berharap untuk meraih keberkahan hidup. Kehidupan yang berkah, semakin hari semakin tumbuh kebaikan demi kebaikan yang baru. Tidak ada pencapaian yang paling tinggi kecuali keberadaan kita dapat menunai manfaat bagi sesama. Tangga demi tangga yang dijejaki dengan kebaikan, insya Allah akan membawa kita ke depan singgasana Allah. Sudah seharusnya momen nisfu Syaban ini bisa menuntun kita ke arah sana. Semoga. Wallahua’lam bis-Shawab. *) Khadim al-Ma’had Pesantren Raudlatut Tholibin Babakan, Ciwaringin, Pengurus Daarul Qur’an Cirebon
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: