Suparmin Bukanlah Superman

Suparmin Bukanlah Superman

Cerprn oleh: Vivi Zulfiah  “HEI…hei…hei kawan ayo tetaplah semangat, sebentar lagi kita akan sampai!” kata Suparmin seraya melambai-lambaikan tangannya. Ia adalah sang pemimpin rombongan 21 kelompok kuliah pengabdian di masyarakat. Takdir menggariskan kelompok 21 untuk diterjunkan di lokasi pegunungan, lokasi yang sepi dan sunyi jauh dari hiruk pikuk dan keramaian kota. Di sini jarang terdengar raungan kendaraan yang membuat genderang telinga ini hampir pecah. Sesekali terdengar suara kendaraan roda dua, terkadang kendaraan roda empat. Itu hanyalah orang-orang yang hendak bertamasya ke tempat ini. Nafas ke-12 anggota kelompok 21 terengah-engah setelah mereka mendaki bukit yang tinggi itu. Entah berapa ketinggiannya, yang pasti kemiringannya hampir sembilan puluh derajat. Tubuh mereka nampaknya semakin lemah tak berdaya. Pakaian yang nempel pada tubuh mereka basah kuyup semuanya bermandikan keringat. “cuah….asin.” Kata Syukron yang keringatnya sedikit tertelan.” “Kawan Lihatlah! kita sudah sampai di atas bukit dan di sana ada beberapa rumah. Di rumah yang bercat hijau itulah rumah yang akan kita jadikan posko,” seru Suparmin dengan suara lantang. “Aduuh capek sekali aku nggak sanggup kalau begini terus …..! kata Vina anggota yang terkenal sangat cengeng. “Ketua mengapa kita nggak minta pindah lokasi saja pada pihak kampus? Ini sangat berbahaya!” kata Aya seraya matanya melihat ke jurang. “Daerah apa ini, nggak ada angkutan umum, kita harus jalan kaki, kanan kiri jurang kehidupan, jalannya curam membahayakan,” sahut Titiek. “Kaki ku bisa bengkak-bengkak jika setiap hari aku harus naik turun bukit!” ucap Mice si gadis lincah. Anak buahnya mulai berkicau, memperkarakan lokasi kuliah pengabdian masyarakat. Suparmin yang sedang berdiri di bawah pohon rindang menimpalinya dengan sabar. “Kawan mengapa kita harus mengeluhkan keadaan kita? Semestinya kita bersyukur ditempatkan di tempat yang seperti ini, udaranya sejuk, bersih tanpa polusi. Lihatlah lukisan alam yang indah itu, ia akan selalu menjadi teman kita dan ia akan selalu ada di hadapan kita selama kita di sini, keren kan?”  ujar Suparmin. “Tapi ini cukup membahayakan!” jawab Vina. “Vin insya Allah asalkan kita hati-hati dan selalu berdoa pasti akan selamat. Insya Allah tingkat keselamatan di pegunungan lebih tinggi dibandingkan di jalan raya. Lihatlah di sekeliling kita, nikmat-Nya yang manakah yang akan kita dustakan? Alam yang ada di hadapan kita, jalanan yang kita lalui naik-naik berkelok-kelok pula itu sebenarnya Allah menyuruh kita untuk membaca (Meng-iqro-i) alam ini. Alam mengajarkan kepada kita bahwa hidup ini tak selamanya datar, ada kalanya naik ada kalanya turun itulah seni dalam hidup,” kata Suparmin. Sementara Vina hanyut dalam cerita Suparmin. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda membenarkan pernyataan Suparmin. “Kawan kita terima saja dengan ikhlas, janganlah kita terus berkeluh-kesah. Dengan berkeluh kesah itu, pertanda akan ketidakmampuan kita. Saran saya, jalani kuliah pengabdian ini dengan baik. Ketua kita bukanlah Superman yang ada dalam cerita yang menguasai kekuatan jauh di atas manusia biasa dan menggunakan kekuatannya untuk menolong orang lain. Menyelesaikan segala masalah dengan setuntas-tuntasnya. Ketua kita manusia biasa, jadi tolong bersikap dewasalah!”  kata Masyhud sang wakil ketua yang terkenal tegas. “Mari kita mulai susun program-program terbaik kita sebagai wujud dari pengabdian kita pada masyarakat, dan mari kita sama-sama merealisasikannya dengan penuh tanggung jawab. Kita tingkatkan ghiroh, tingkatkan kinerja demi suksesnya program ini. Janganlah kita bermanja-manja di sini, tidak kah kita ingat para pahlawan kita dahulu mereka berperang tanpa mengenal medan. Apakah medan itu berbahaya ataukah tidak itu tak menjadi masalah bagi mereka, bahkan mereka lebih menyukai medan-medan yang sulit dilalui oleh manusia. Medan yang seperti inilah yang para pahlawan lalui hutan rimba, pegunungan, bebukitan tanpa mengenal lelah demi tegaknya sang saka merah putih. Nah sekarang para mahasiswa hendaknya mencontoh para pahlawan, mari kita isi kuliah pengabdian di masyarakat ini dengan tangguh!” kata Suparmin dengan semangat berapi-api. “Setuju….setuju” kata Meci si gadis lincah. Kini semangat dan ghiroh para anggota kembali berkobar, anggota 21 mulai bertebaran menuju tempat tugas masing-masing. Dua orang berjaga di posko. Dia adalah Titiek dan Tia. Tiba-tiba ada dua orang tak dikenal menuju posko 21. Ujian yang menimpa kelompok ini tak kunjung usai setelah Suparmin sang pemimpin  tengah berhasil membangkitkan semangat dan ghiroh mereka ternyata masih ada lagi suatu masalah yang harus diselesaikan. Pagi itu ketika para anggota bertebaran ke tempat tugas masing-masing dan di posko hanya ada dua orang yang berjaga Tia dan Titiek, mereka dikejutkan oleh kedatangan dua orang tak dikenal. Menurut pengakuannya, mereka adalah pemilik rumah ini. Mereka pun langsung menghubungi Suparmin. “Maaf Dik kenalkan nama Bapak ‘Sanusi’? Ini isteri Bapak, Bapak dan isteri Bapak baru pulang dari Riau. Bapak sudah mendengar perihal rumah Bapak yang dijadikan untuk aktivitas Adik-adik semua, namun Bapak minta tolong perkenankan Bapak dan Isteri Bapak tinggal di sini barang satu minggu,” kata Pak Sanusi. “Aduh Pak inikan rumah Bapak jadi Bapak berhak untuk tinggal di sini.” kata Suparmin. Dadanya kini mulai sesak oleh masalah-masalah yang menimpa kelompok itu. Akhirnya Pak Sanusi beserta isterinya beristirahat di kamar. Ujian apa lagi yang akan menimpa kelompok ini? Itulah yang ada di benak Suparmin saat ini. Di saat program-program sedang berjalan dengan mulus, kini diterpa lagi ujian yang lain. “Ah mungkin ujian ini akan mengangkat derajat kelompok 21,” pikirnya. Seluruh anggota kini tahu bahwa ada dua orang asing berada di posko 21, namun dengan seksama Suparmin menjelaskannya. Sebahagian menerima dengan lapang, sebahagian menolak untuk tetap berada di posko ini. Perdebatan yang terjadi di posko itu menyebabkan pemilik rumah itu terbangun. Sang Ibu pemilik rumah itu menatap tajam, namun ia diam tak bicara. Tiba-tiba dia ikut dalam perkumpulan rapat kelompok. Tia mencoba menyapanya, namun ia tetap diam seribu bahasa. Tatapannya berubah jadi kosong. Sepertinya ia sedang menatap jauh ke depan mungkin menatap hari esok, esok, esok dan seterusnya. Anggota kelompok 21 iba melihat perlakuan Bu Siti yang kata tetangga ia depresi berat lantaran tidak terpilih menjadi pejabat pemerintahan tingkat desa. Perdebatan belum usai. “Suparmin pokoknya kita harus pindah dari sini titik,” kata Vina. Ia berfikir bahwa dengan adanya mahasiswa di rumah ini akan mengganggu ketenangan jiwa sang pemilik rumah. “Kita akan pindah kemana lagi kawan? Rumah di daerah ini tak ada yang kosong kecuali di sini, lagian pemilik rumah ini mengizinkan kita untuk tetap tinggal di sini!” kata Suparmin. “Tapi kita nggak nyaman Min!” jawab Syukron. Kepala Suparmin makin ruwet bagaikan benang kusut. Anggotanya susah diatur, banyak yang tak patuh akan perintah-perintahnya, padahal dengan segenap jiwa raganya ia berusaha menjadi seorang pemimpin yang bijak. Namun keadaannya makin ruwet terlalu banyak perbedaan antara ketua dan anggotanya, akhirnya Suparmin menghilang berhari-hari ia tak nampak batang hidungnya di posko. “Semestinya seorang pemimpin tak boleh meninggalkan anggotanya seperti ini, sungguh tidak bijak!” kata Syukron. “Sudah ku bilang Suparmin bukanlah Superman yang punya kekuatan lebih untuk menyelesaikan segala macam persoalan. Dia hanya manusia biasa seperti kita. Seharusnya kita introspeksi diri, tidak banyak mengeluh, kerja, kerja, kerja demi suksesnya program kuliah pengabdian ini. Jangan menganggap ketua kita adalah Superhero yang mempunyai kekuatan lebih dari kita. Dia butuh bantuan kita, ia berharap akan kekompakan kita. Mari kita bantu ketua dalam menjalankan program ini!” kata Masyhud dengan lantang. “Setuju…setuju…” kata Tiwi, Laily dan Mice. (*)   *) Cerpenis adalah Mahasiswi STAI Bunga Bangsa Cirebon Jurusan PAI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: