Impor Air Jadi Bencana
Soal TNGC Jangan Bikin Bingung Masyarakat KUNINGAN – Polemik Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang berkembang belakangan ini diminta agar tidak membuat masyarakat semakin bingung. Terlebih mengarah pada pemikiran bahwa konservasi seolah sudah tidak penting lagi. Hal ini menjadi kekhawatiran para aktivis Akar (Aktivitas Anak Rimba) Kuningan. Maman Mejique selaku ketua umum Akar berharap agar masalah ini mendapat kajian yang komprehensif. Patut dipertanyakan kembali, benarkah keberadaan TNGC menjadi ancaman bagi warga Kuningan. “Saat ini seolah masyarakat dibikin semakin bingung. Konservasi seolah sudah tidak penting, dan seolah TNGC ini mengancam akan membunuh masyarakat,” kata Maman, kemarin (15/6). Justru dirinya mempertanyakan, siapa sebenarnya masyarakat yang ingin mengubah status TNGC. Kalau mau bicara kepentingan, justru orang yang menuntut udara segar dan air bersih melimpah itu lebih banyak. Pihaknya khawatir kisruh ini akibat adanya investor yang masuk dengan mengatasnamakan masyarakat. “Ya kalau mau kilas balik, ini (status TNGC, Red) kan keputusan kita meski waktu itu saya tidak masuk di dalamnya. Katanya keputusan dulu menimbulkan penyesalan sekarang. Nah kalau sekarang diputuskan kembali, jangan sampai 10 tahun kemudian timbul penyesalan lagi,” kata dia. Intinya, Maman meminta agar kajian yang dulu kurang matang, sekarang lebih dipermatang lagi. Dengan membedah permasalahan yang timbul saat ini. Jika memang hajat hidup orang banyak terganggu, itu sudah masuk bencana. “Tapi kalau sekadar mengimpor sayuran, apakah itu masuk bencana? Saya engga yakin masalahnya sebesar yang digembar-gemborkan. Maka dari itu pelajari dulu masalahnya. Inventarisir apakah penyakitnya parah. Saya analogikan, kalau ada koreng di tangan, apakah tangannya harus diamputasi?,” ucapnya. Menurut Maman, TNGC memang ada masalah, khususnya dalam hubungan dengan masyarakat. Namun masalah itu dapat diselesaikan dengan tindakan simple tanpa harus mengobrak-abrik. Sebab jika mau jujur, TNGC telah memberikan kontribusi dari sisi ekologi. Hutan jadi hijau dan ketersediaan air bersih pun meningkat. “Kami bicara seperti ini bukan keberpihakan. Keberpihakan kita itu pada kelestarian alam. Saya kira siapapun pengelolanya oke oke saja sepanjang memperjuangkan konservasi. Tapi kami tidak ingin konservasi ini malah dijadikan komoditas politik,” kata Maman. Sejarah TNGC 10 tahun lalu, menurut dia, akibat dari adanya ladang luas di pegunungan Ciremai sampai di ketinggian 2.000 dpl. Waktu itu Akar melaporkannya ke pemda. Tapi kemudian pemda langsung mengeluarkan kebijakan perubahan status TNGC. Kendati Akar mementingkan konservasi, namun rencana perubahan status TNGC waktu itu ditentang. Alasannya masyarakat dinilai belum siap terhadap konsekuensi yang akan ditanggung nanti. Sebab konsep konservasi itu bersifat baku, tapi ternyata kebijakan TNGC tetap dijalankan. “Adapun sekarang ada yang mengeluhkan tidak bisa bercocok tanam, kayu dibiarkan lapuk dibiarkan, ya memang konsep konservasi itu seperti itu. Seharusnya hal itu diketahui masyarakat sejak awal. Inilah alasan kami menentang TNGC waktu itu karena masyarakat dinilai belum siap,” tuturnya. Jika sekarang ini sudah terlanjur, Maman meminta agar semua pihak duduk bersama. Orientasinya untuk kebaikan semua, dan membuka wawasan masyarakat. Jangan sampai masyarakat berpikiran, dengan diamnya gunung itu tidak memberikan manfaat. Itulah definisi kesejahteraan yang perlu diperjelas. “Apakah dengan diamnya gunung tidak bermanfaat? Saya kira udara yang segar, air bersih yang melimpah itu memberikan kesejahteraan. Apakah mengimpor sayuran itu bencana? Saya kira yang masuk kategori bencana besar itu jika kita sudah mengimpor air,” ungkapnya. Maman tidak mau masyarakat malah menjadi anti-konservasi yang kemudian mereka menyesal setelah terjadinya bencana. Pihaknya juga tidak mau masalah TNGC ini dijadikan komoditas politik atau ditunggangi oleh kepentingan politik. Para pihak harus segera duduk bersama untuk berbagi wawasan. “Agar masyarakat tidak menjadi bingung. Masyarakat butuh informasi menyejukkan. Statemen-statemen para tokoh juga kesannya memprovokasi. Masyarakat kan tadinya adem-adem saja. Saya ngobrol dengan masyarakat Cisantana juga gak ada masalah. Meski ada yang bermasalah tapi tidak signifikan. Karena kebanyakan masyarakat di sana itu double profesi, bahkan triple,” papar Maman. Justru yang menurutnya bermasalah adalah penjualan tanah warga di Palutungan. Saat ini tanah-tanah di pinggir jalan sudah ganti kepemilikan. Pemicunya, menurut dia, berdirinya pusat rehabilitasi narkoba. Lantaran bakal ada proyek pelebaran jalan maka menaikkan harga jual tanah. “Yang tadinya hanya Rp700 ribu sampai Rp1 juta per bata, naik 5 kali lipat bahkan sampai 10 kali lipat. Ini menggiurkan masyarakat sehingga ramai-ramai menjual tanahnya. Setelah itu mereka baru sadar, tapi sudah terlambat. Nah, kasus penjualan tanah seperti itulah yang kami khawatirkan menular ke desa-desa lain,” kata dia. Menjual tanah, diakui Maman, hak setiap orang. Hanya saja masyarakat perlu diingatkan bahwa hidup ini masih panjang. Kalau tanahnya sudah dimiliki orang berduit dari luar, maka ke depan masyarakat hanya akan menjadi tamu di rumahnya sendiri. Pihaknya mengaku sudah mengingatkan rencana pembangunan rumah rehabilitasi itu. Terlebih tanpa dilengkapi amdal. Tapi ternyata tetap dijalankan. Akhirnya, hal itu jadi boomerang bagi pemda sendiri. Pada saat mereka meminta masyarakat taat regulasi, justru pemda sendiri yang melanggarnya. “Akhirnya sekarang bangunan-bangunan baru bermunculan seperti villa dan lain-lain. Bagi orang berduit, investasi di Palutungan itu jadi peluang besar, apalagi setelah bandara dan tol difungsikan. Saya hanya berpesan, hidup itu bukan untuk generasi sekarang saja tapi juga untuk generasi mendatang. SDA jangan dihabiskan sekarang tapi mari kita jaga untuk anak cucu kita,” pungkasnya. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: