Puasa, Ajang Saling Menghormati

Puasa, Ajang Saling Menghormati

Bulan Ramadan segera tiba, umat Islam akan menjalankan ibadah puasa. Beberapa pihak berpandangan agar warung atau tempat makan ditutup saja selama umat Islam menjalani ibadah puasa. Namun, keadaan ini tentu memberatkan bagi mereka yang tidak ada kewajiban menjalankan puasa. TAMPAKNYA warung atau tempat makan tidak perlu dipaksa ditutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa. Setidaknya ada beberapa hal yang harus diingat oleh kita (yang sedang menjalankan ibadah puasa), berkenaan dengan akan masuknya bulan puasa. Pertama, tidak perlu ada paksaan untuk menutup warung di bulan puasa. Bila ada yang sukarela menutup warungnya, tentu kita hormati. Tapi muslim yang baik, tidak memaksa orang lain menutup sumber mata pencahariannya demi tuntutan menghormati yang sedang puasa. Saling menghormati adalah ideal, tapi jelas tidak elok ketika yang satu memaksa kepada yang lain. Kedua, kita juga dituntut menghormati hak mereka (dalam mendapatkan makanan/minuman) yang tak wajib berpuasa karena bukan muslim. Atau menghormati hak muslim yang tidak sedang berpuasa karena keadaan musafir, sakit, perempuan haid, hamil, menyusui dan seterusnya. Keadaan ini, sejatinya juga diperkenankan syariat karena memang keadaan umat manusia itu berlaianan adanya. Kita dingatkan dengan firman-Nya, yang artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (memberi makan lebih dari seorang), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS Al Baqarah ayat 184-185). Ketiga, pemaksaan agar menutup warung makan adalah sebuah tanda bahwa ibadah puasa yang sudah biasa kita laksanakan setiap tahun ini tidak ada peningkatan atau kemajuan. Selain menandakan sebuah sikap yang tidak toleran juga bersikap kekanak-kanankan. Ia masih terjebak dengan ritual fisik belaka, yang dalam konsep Imam al Ghazali sebagai sebuah puasanya kaum awam. Keempat, golongan atau kelompok yang “doyan” memaksa agar warung ini ditutup pada umumnya adalah mereka yang sudah terbiasa tidak menghormati perbedaan. Tak segan mereka pun menggunakan kekuatan fisik (persis seperti anak kecil) yang suka “menggebuk” temannya yang tidak manut pada keinginannya. Tentu kita semua ingin meningkatkan kualitas ibadah puasa kita dengan tidak tergoda oleh isi warung makan. Oleh karenanya biarkan saja apa adanya (dalam artian tidak ada yang saling memaksa) MENINGKATKAN KUALITAS PUASA Saya ingat dengan “guyonan” almarhum Gus Dur yang mengatakan bahwa: Islam itu agama yang paling jauh dengan Tuhan-Nya. Kalau Hindu memanggil Tuhan dengan kata ‘om’, lalu Kristen dengan ‘bapa di surga’ dan seterusnya. Sementara Islam memanggilnya saja dengan pengeras suara. Tentu, maksud Gus Dur ini tidak bermaksud untuk menghina sebuah agama terlebih Islam. Tetapi ini adalah sebuah sindiran terhadap segolongan kaum muslim yang seringnya mendahulukan ritual kulit luar saja. Sementara inti dan maksud dari ajarannya terlupakan dan bahkan diabaikan. Nah, inti dari ibadah puasa sendiri adalah sebuah ritual yang musti dilakukan dengan ikhlas. Tanpa ikhlas hanyalah sebuah perilaku menahan haus dan lapar yang tanpa makna dan tak berpahala. Sehingga aneka godaan (misalnya hidangan makanan dan atau sekelompok orang yang sedang makan di warung makan) tidaklah menjadi sesuatu yang menggoda, bahkan ia adalah sebagai wahana untuk meningkatkan kualitas dan derajat puasa. Tak terbayang pula jika misalnya puasa tanpa adanya sebuah godaan. Maka puasa hanyalah sebuah ritual yang tanpa makna; tak ada nilai tinggi dan spesialnya sebuah ibadah puasa yang dalam Islam sebagai sebuah ibadah yang dikhususkan untuk persembahan kepada Tuhan semata. Lalu, selanjutnya puasa pun dimaknai sebagai sebuah usaha untuk menempa dan merasakan ketirnya pribadi-pribadi yang hidup kurang beruntung (kesusahan makan-minum) di marcapada ini. Karena itu, sudah dapat dipastikan, dengan sendirinya, jika puasa ritual yang dilaksanakan dengan benar maka pada ujugnya adalah terasahnya pribadi-pribadi yang saleh secara sosial. Sehingga melihat warung terbuka saat puasa pun tidak menjadi sebuah godaan terlebih berhasrat untuk menutupnya secara paksa. Pada akhirnya, semoga saja bulan Ramadan yang hanya tinggal menunggu waktu saja ini dapat kita laksanakan dengan baik. Sehingga dapat meningkatkan iman dan takwa kita semua. Puasa dapat menjadi ajang saling menghormati dan dapat mengantarkan pada ketenangan dan kesejahteraan lahir batin kita semua. Semoga. (*) *) Penulis adalah Penais Kemenag Kabupaten Indramayu, Majelis Pertimbangan MUI Kecamatan Widasari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: