Pergerakan Kaum Digital Natives

Pergerakan Kaum Digital Natives

Oleh: Adif Rachmat Nugraha* SEPANJANG sejarah perjalanan bangsa Indonesia, pemuda atau kaum muda menempati posisi sentral yang kontribusinya tidak bisa dipandang sebelah mata. Berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, sampai gerakan mahasiswa yang berhasil meruntuhkan imperium Orde Baru pada tahun 1998, membuktikan bahwa pemuda bukan hanya sebagai “harapan bangsa”, tetapi ia berhasil mentransformasikan dirinya sebagai “agent of change”, yang benar-benar mewujudkan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik. Kini di tahun 2015, bagaimana peran pemuda dalam mewujudkan Indonesia yang dicita-citakan? Banyak orang –dan juga para aktivis pemuda terdahulu- yang menilai bahwa pergerakan pemuda saat ini jauh dari kata tajam, kritis dan transformatif. Kecenderungan akut pada gawai (gadget) dan teknologi dituding menjadi pemicu pemuda pasca-reformasi kehilangan kepekaannya terhadap kondisi Indonesia sesungguhnya. Mereka dianggap lebih antusias membalas cuitan dan komentar di media sosial ketimbang melakukan tindakan nyata. Ketidakpekaan itu dinilai menjadi penyebab tumpulnya pergerakan pemuda. Lalu, apakah memang benar perkembangan teknologi informasi menjadi sebab semua hal di atas? KAUM DIGITAL NATIVES DALAM BINGKAI PERGERAKAN Dalam Teori Generasi (Generation Theory), mereka yang saat ini menyandang status “pemuda” atau “kaum muda” termasuk dalam kategori Generasi Y (1981-1994) dan Generasi Z (1995-2010) (Sudradjat, 2012). Mereka berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, seperti Generasi Baby Boomers dan Generasi X, karena mereka dibesarkan dan sangat fasih dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi digital. Oleh karenanya, mereka juga dikelompokkan dalam kaum digital natives (Bayne dan Ross, dalam Armando, 2011), dimana mereka memiliki gambaran sebagai individu yang cepat, berorientasi masa depan, berorientasi aksi, dan dapat melakukan berbagai kegiatan sekaligus (multi-tasking). Di tangan kaum digital natives, suatu isu yang semula kecil dapat berubah menjadi pembicaraan masyarakat seluruh dunia hanya dalam sekali sentuhan. Mereka dapat menjadi konsumen sekaligus produsen media berkat bantuan akses internet. Di tangan mereka pula, teknologi yang semula dianggap sebagai sesuatu hal “eksklusif dan tingkat tinggi”, dapat dimanfaatkan untuk memudahkan kegiatan sehari-hari. Tetapi, memang tidak semua berdampak baik. Tidak bisa dipungkiri bahwa kaum digital natives ini dibesarkan dalam budaya teknologi informasi, dan juga televisi, yang  membentuk mereka menjadi pribadi yang individualistis dan kehilangan sentuhan sosial, atau electronic displays of insensitivity (EDI). Apabila dahulu sering terlihat para pemuda duduk bercengkrama membicarakan banyak hal, mulai yang serius sampai tidak serius, saat ini, kegiatan mereka lebih disibukkan dengan gawai yang tiada hentinya. Oleh karena itu, gawai dan teknologi informasi memang dapat menghubungkan antar manusia, tetapi sekaligus mengasingkannya dari kenyataan sosial yang sebenarnya (Nugroho, 2015). Dalam konteks pergerakan pemuda Indonesia, penyakit “EDI” ini dapat pula membawa dampak yang tidak sedap. Kaum digital natives cenderung mengonsumsi berita secara sepotong-potong, tanpa mengetahui konteks yang sesungguhnya, yang berakibat pada gagalnya menangkap isi permasalahan yang terjadi. Kaum digital natives, yang sekaligus pemuda juga cenderung gagal dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, khususnya media sosial dalam memobilisasi kekuatan untuk mencanangkan pergerakan. Selain itu, munculnya model pergerakan baru bernama digital activism, selain gerakan turun ke jalan dan berpanas-panasan, memicu terjadinya parsialisasi gerakan. Mereka yang berjuang dengan cara yang lebih konfrontatif dengan turun ke jalan, menuding mereka yang berjuang dalam medium digital sebagai aktivis yang tidak “berjiwa aktivis”, dan begitupun sebaliknya, para aktivis digital menilai bahwa turun ke jalan sudah tidak efektif dan “keren” lagi. Pemuda, sekaligus kaum digital natives yang sebenarnya berorientasi pada aksi, akhirnya justru terbelenggu oleh jerat apatisme dan parsialisasi gerakan yang menyebabkan mereka tidak leluasa melaksanakan tugasnya sebagai agen perubahan. MASA DEPAN INDONESIA Indonesia saat ini adalah Indonesia yang masih membawa banyak beban di pundaknya, baik beban politik, ekonomi, dan sosial. Presiden Joko Widodo yang sebelumnya dielu-elukan bak Barack Obama ketika pemilihan presiden Amerika Serikat di tahun 2008, akhirnya tidak bisa berbuat banyak menghadapi kompleksnya realita yang terjadi. Di fase inilah, Indonesia membutuhkan bantuan pemuda dalam menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Melihat permasalahan di atas, perlu ada redefinisi pergerakan pemuda saat ini. Perkembangan teknologi informasi harus dipandang sebagai medium yang dapat membantu mewujudkan perubahan Indonesia, bukan penghambat. Pola pikir memisahkan pergerakan konvensional dan digital juga harus segera distop, karena pada dasarnya, dua medium pergerakan ini dapat saling membantu dan memperkuat. Jangan pula kemudian muncul perasaan saling membanggakan diri dan menjelek-jelekan satu sama lain atas dasar like or dislike pribadi. Perlu diingat, pergerakan seluruh pemuda Indonesia sesungguhnya berada pada perahu yang sama, yakni semua komponen memegang dayung, yang memerlukan satu pemahaman agar perahu tersebut dapat berjalan maju dengan mulus. Dan pada akhirnya, semua kembali pada keinginan para pemuda untuk mengawali pergerakan dan perubahan. Kecerdasan gawai dan teknologi informasi harus dibarengi dengan kearifan penggunanya. Manfaat gawai lebih dari hanya sekadar berselancar internet dan menggunakan media sosial, karena dengan memanfaatkan “kecerdasannya” secara arif, pemuda bisa memulai sebuah perubahan, walaupun berskala kecil. Sebab poin penting dari sebuah gerakan bukan pada besar atau kecilnya skala, melainkan adanya kontribusi nyata dalam memecahkan berbagai masalah dan ketidakadilan yang ada di masyarakat (Sutanto, 2013). Percayalah, dimulai dari satu sentuhan kecil pemuda-digital natives yang sadar akan permasalahan bangsa dan negara, perubahan Indonesia menuju lebih baik bukanlah hal yang sulit untuk dicapai. Ayo peduli dan berkontribusi!   *) Mahasiswa S-1 Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL, UGM; Warga Kota Cirebon         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: