Sutiyoso Mulus Jadi Kepala BIN
JAKARTA- Langkah Jenderal Purnawirawan Sutiyoso untuk menduduki posisi Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) tinggal selangkah. Pasalnya, dalam pembahasan fit and proper test secara tertutup di Komisi I DPR kemarin (30/6), sepuluh fraksi di DPR sepakat dan bulat memberikan rekomendasi persetujuan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Ditemui usai menjalani fit and proper test, Sutiyoso berjanji akan membuat BIN lebih terbuka. Pasalnya, dia menilai pekerjaan intelejen memerlukan banyak informasi dari berbagai kalangan. \"Jadi tidak perlu melihat BIN sebagai momok yang menakutkan,\" kata Sutiyoso. Sementara terkait persoalan anggaran, Sutiyoso berencana untuk mengajukan kenaikan anggaran kepada pemerintah. Menurut perhitungannya, biaya operasional sebesar Rp2,4 triliun saat ini dinilai kurang untuk menutupi kebutuhan. \"Padahal operasi kita tidak hanya di dalam negeri,\" ungkapnya. Tak hanya itu, dia mengatakan, anggaran itu sangat kecil jika dibandingkan dengan badan intelejen di negara lain. Ketika ditanya angka idealnya, dia enggan menjawab. Menurutnya, kalkulasi terkait anggaran yang ideal harus dirumuskan dahulu dengan pihak-pihak yang berkompeten. Tapi dia memastikan, penambahan anggaran mutlak dilakukan. \"Karena BIN itu lini terdepan dalam menyelamatkan negara, jadi perlu ditopang anggaran,\" imbuhnya. Sementara terkait penguatan kondisi internal BIN, Sutiyoso belum bisa berbicara banyak. Dia beralasan, pihaknya memerlukan waktu untuk mengenal kondisi BIN lebih jauh. Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq menceritakan, Komisi I sepakat menerima nama Sutiyoso setelah melihat visi dan misi yang disampaikan. Menurutnya, apa yang direncanakan Sutiyoso selaras dengan persoalan yang dihadapi indonesia. \"Pengetahuan dan pengalamannya di bidang intelejen maupun pemerintahan juga cukup memumpuni,\" imbuhnya. Menurut Mahfudz, mulai dari persyaratan administratif, Sutiyoso sudah memenuhi persyaratan. Dikaji dari visi dan misi sebagai calon Kepala BIN, Sutiyoso dinilai pas dan siap untuk memimpin lembaga intelijen negara itu. \"Komisi I juga mempertimbangkan pengalaman Sutiyoso sebagai purnawirawan TNI, mantan gubernur, dan tokoh politik. Hal itu dilihat sebagai nilai tambah dari yang bersangkutan,\" ujarnya. Uji kelayakan dan kepatutan Sutiyoso sebagai Kepala BIN kemarin juga memunculkan kembali memori peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli. Salah satu korban Kudatuli, Hendrik Dikson Sirait sebelum fit and proper test meminta kepada Komisi I mempertanyakan perihal penculikan aparat Inteldam Jaya, sebagai imbas peristiwa Kudatuli. \"Saya sangat berharap Komisi I DPR punya niat baik dan kemauan politik untuk sungguh-sungguh menggali rekam jejak Sutiyoso, terutama dalam soal dugaan kasus penculikan dan penyiksaan yang saya alami,\" kata Hendrik. Menurut Hendrik, sejumlah alat bukti sudah disampaikan. Melalui kuasa hukum dari PBHI, dirinya sudah menemui Komisi I sebelum proses fit and proper test berlangsung. Bukti yang dia sampaikan sebuah lampiran surat bernomor B/124/VIII/1996 yang ditandatangani Komandan Detasemen Inteldam V Jaya Letkol Budi Purnama. Ketika itu, diakui oleh Budi ada perintah dari Ketua Bakortanasda Jaya yang saat itu langsung dijabat oleh Pangdam Jaya Sutiyoso terkait aksi penculikan. Berbeda dengan Hendrik, PDIP yang terkait langsung dengan peristiwa Kudatuli justru berkomitmen mengamankan Sutiyoso. Anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP Pramono Anung menyatakan, fraksinya sudah bulat untuk mendukung penuh pencalonan Sutiyoso sebagai Kepala BIN. \"Ketika Presiden sudah mengajukan nama, maka kami berkewajiban untuk mengamankan fit and proper test hari ini agar lancar,\" kata Pram. Secara aturan Undang Undang, seleksi terhadap Sutiyoso sebagai Kepala BIN tidak mengikat, karena keputusan akhir ada pada Presiden Joko Widodo. Dalam hal ini, kata Pram, DPR dalam hal ini Komisi I hanya akan memberikan pertimbangan terkait kelayakan Sutiyoso sebagai Kepala BIN. Sementara itu Kabareskrim Komjen Budi Waseso mengatakan pihaknya sampai saat ini masih menelusuri kasus yang pernah melibatkan Sutiyoso. Dia belum bisa memastikan apakah perkara itu sudah kadaluarsa atau belum. \"Saya belum dapat kepastian apakah kasus yang pernah dilaporkan itu sudah kadaluarsa atau belum,\" kata Buwas. Menurut dia jika kasus itu belum pernah dilaporkan, maka sudah bisa dipastikan kadaluarsa. Sebab kejadiannya berlangsung 1996. \"Tapi kalau itu sudah ditangani ya tidak bisa dikategorikan kadaluarsa, meskipun telah lewat 15 tahun,\" jelas mantan pejabat di Lemdik Polri itu. \"Buwas tidak menyebut siapa yang minta clearance terhadap status Sutiyoso. Yang pasti pihaknya perlu melakukan pengecekan karena kasus yang melibatkan Sutiyoso itu telah banyak diketahui masyarakat. \"Jadi sudah tugas kita untuk melakukan clearance,\" imbuhnya. (far/bay/gun)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: