Mencermati Dana Aspirasi DPR

Mencermati Dana Aspirasi DPR

BEBERAPA waktu lalu Badan Anggaran DPR RI meminta dana aspirasi sebesar Rp20 miliar per anggota untuk menjalankan berbagai proyek pembangunan di daerah pemilihan atau dapil masing-masing anggota DPR. Jika dikalikan 560 anggota DPR RI yang ada saat ini, maka dana aspirasi mencapai Rp11,2 triliun yang tentu akan diambil dari APBN. Upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan dana aspirasi bukanlah hal baru. Ini sudah dilakukan sejak lama. Namun, upaya-upaya itu kandas karena mendapatkan banyak pertentangan dari berbagai polemik yang terjadi. Kali ini, upaya tersebut lebih sistematis. Jalan masuknya lebih legitimate melalui perundangan. Keberhasilan ini merupakan tindak lanjut dari berhasilnya anggota dewan yang lalu memasukkan ayat dalam UU terkait hak DPR untuk mendapatkan dana terkait aspirasi masyarakat. Sayangnya, diskursus ini masih juga tak matang. Senyatanya sampai kini, konsep dana aspirasi belum jelas. Dari konstruksi berpikir pun dapat menimbulkan banyak kekacauan. Misalnya, dari soal perencanaan pembangunan kita. Konsep pembangunan kita dirancang dari proses bawah sampai tingkat atas. Desain anggaran mengikuti desain yang sudah dibuat berdasarkan dari bawah yang diusulkan dalam musrenbang, Oleh karenanya, dikhawatirkan, dana aspirasi akan merusak sistem pengelolaan anggaran. Itu dikarenakan, bila DPR mendapatkan dana ini, ada kerancuan dalam penempatan sistem pengelolaan anggarannya serta pertanggungjawabannya. Bukannya seluruh aspirasi daerah di sisi lain dapat diwujudkan melalui musrenbang? Jika sistem tersebut dapat berjalan dengan baik, DPR logisnya tidak perlu mengajukan dana aspirasi? Kemudian, tampaknya posisi DPR dalam kerjanya juga akan rancu. Bukankah DPR adalah lembaga pengawasan? Maka, dengan konsep dana aspirasi, kerja DPR juga merambah eksekutif. Kemudian, sekiranya dana aspirasi ini dijalankan, tampaknya harus melalui persetujuan rakyat di daerah pemilihan (dapil). Adalah logis ketika konstituen mempertanyakan komitmen yang dipilihnya terhadap masalah di dapil. Memang, manfaat dana aspirasi itu ada misalnya: dana pembangunan daerah kadang ditanggung dalam APBD, sedangkan uangnya belum sampai untuk menyelamatkan rakyat. Contoh, jembatan gantung putus. Biasanya rakyat kan meminta kepala daerah atau mempertanyakan anggota dewan yang berasal dari sana. Namun demikian, dana tersebut jangan sampai bersentuhan langsung dengan anggota dewan. Tetapi, tampaknya, dana aspirasi sebagai tindakan yang mengomunikasikan aspirasi yang bersifat memaksa. Ide dan sikap DPR yang menginginkan dana aspirasi adalah wujud overleaving lembaga. Oleh karenanya, keinginan dewan wajar dipertanyakan. Dana aspirasi anggota DPR merupakan upaya pengalihan sumber daya riil yang dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi sistematis dan terstruktur yang secara paksa diakui kebenarannya pada rakyat. Lebih dari itu kita melihat banyak upaya pengalihan sumber daya yang dilakukan dalam bentuk lain dan terselubung untuk kepentingan kelompok yang bisa memperbesar perilaku penyelewengan uang negara. Tetapi, sebaliknya, tampaknya dewan tetap tak beringsut dari upaya ini. Mereka tetap bersikukuh bahwa: dana aspirasi dimaksudkan sebagai pelengkap dari dana alokasi khusus (DAK). Karena, selama ini DAK hanya bersumber dari pemerintah yang penerapannya sering kali tidak tepat sasaran. Dengan ketetapan baru ini akan melengkapi DAK karena selama ini hanya bersumber di pemerintahan saja. Oleh karenanya mereka berpendapat ini mestinya disambut positif. DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF Dana aspirasi memiliki dampak positif dan negatif. Positifnya, dana aspirasi memfokuskan pembangunan daerah pemilihan (dapil) masing-masing anggota dewan. Alat Menepati Janji. Negatifnya, dana aspirasi menjadi ajang dewan untuk menepati janji-janji kampanyenya sehingga bisa dipelintir untuk ‘mencengkeram’ kekuasaan di dapilnya. Kesan ini seolah-olah membuat anggota dewan baik dan atau tak perlu diganti karena bisa merealisasikan janji-janjinya. Dan, ini pula yang tidak diinginkan orang yang berkompetisi di luar parlemen karena ada ‘pertandingan’ yang tidak seimbang/tidak sehat. Mereka pun tetap beranggapan bahwa: dana aspirasi ini pun dapat terdistribusikan dengan baik, sebab pengawasan terhadap dana tersebut akan melibatkan seluruh aparat hukum dan yang melaksanakan adalah pemerintah. Di sisi lain, dana aspirasi juga menjadi ancaman bagi para cukong. Dana aspirasi dapat memutus usaha para cokung memenangkan proyek. Dan, dana aspirasi ini merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) No 17/2014 Pasal 80 Huruf J. Di sana dinyatakan kewenangan dewan mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Bahkan hal ini dapat diperluas cakupan pengguna­annya. Misalnya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bisa menggunakan dana tersebut dengan mengajukan programnya kepada anggota dewan yang satu dapil. Kalau DPD mau menggunakan dana ini juga, mereka bisa ajukan ke DPR yang se-dapil. Nah, di situ akan ada kerja sama untuk melakukan pembangunan daerah. Wal akhir, terlepas dari niatan mereka (yang beranggapan positif) dan atau prasangka public (negative) di atas, sebagai rakyat biasa, penulis hanya bisa berucap! ‘Entah, ada apa dengan negeri ini’? Kok kerja dan kinerja para pejabatnya (bilkhusus eksekutif dan legislatifnya) itu masih saja berkutat pada hal-hal yang berhubungan dengan dirinya. Orientasi dan ambisinya hanya terfokus untuk membesarkan dan mengabdi kepada konstituen (baca partai) melebihi komitmen untuk membangun bangsa dan negaranya? Terlebih disaat Negara-bangsa ini sedang butuh-butuhnya melaksanakan pembangunan dan mengentaskan aneka jenis kemiskinan yang sudah teramat kronis. Wallohu a’lam (*) *Penulis adalah alumnus FISIP UI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: