Beramal Kebaikan Memanjangkan Usia

Beramal Kebaikan Memanjangkan Usia

Bagian ke : 91 MASIH dalam suasana Ramadan, penulis membuka Obrolan Pagi ini dengan sebuah riwayat yang mengisahkan perbincangan antara Rasulullah SAW dengan para sahabat dalam sebuah kesempatan. Ketika mereka sedang mengobrol, lewatlah seorang Yahudi yang menjajakan dagangannya secara berkeliling. Ketika itu Rasulullah menyatakan, bahwa si Yahudi dua hari lagi akan meninggal dunia. Mendengar “ramalan” itu para sahabat sedikit terperanjat dan saling memandang wajah satu sama lain. Dari wajah para sahabat tergurat berbagai pikiran, ada yang percaya dan tidak percaya. Yang tidak percaya karena melihat kondisi fisik si Yahudi yang segar bugar. Yang percaya -tentu- selama ini Rasulullah tidak pernah berbohong, termasuk dalam menyatakan suatu hal yang akan terjadi kemudian. Akhirnya pertemuan tadi bubar dan para sahabat menunggu apa yang akan terjadi besok lusa. Hari H yang disebutkan Rasullulah pun tiba. Kembali mereka berkumpul di tempat yang sama dan menunggu apa benar akan terjadi sesuatu ataupun suatu berita duka. Di luar dugaan, si pedagang keliling kembali berjalan melewati mereka, namun masih dengan kondisi badan segar bugar. Sontak semua memandang wajah Rasullulah. Yang dipandangi dengan sigap memerintahkan untuk memanggil si Yahudi berhenti. Kemudian oleh Rasullulah diperiksalah pikulan yang jadi alat si Yahudi tadi untuk berdagang. Dan di antara sela-sela serat kayu pikulannya, terdapatlah seekor lipan atau –sejenis- kalajengking yang terkenal mempunyai sengat racun yang mematikan. Oleh Rasulullah si Yahudi ditanya, ”Apakah engkau mengetahui bahwa pada pikulanmu terdapat binatang berbisa yang sewaktu-waktu bisa menyengatmu sehingga engkau akan ajal? Dijawabnya, ”Tidak”. Kemudian Rasulullah melanjutkan, ”Kalau begitu amalan apa yang engkau lakukan yang sekiranya membuat engkau selamat dari maut? Dijawabnya, ”Aku menyisihkan sebagian keuntungan dari rezeki yang ku dapat setiap harinya untuk orang yang tidak lebih beruntung dari padaku.” Semoga semua pembaca rubrik ini paham, apa benang merah yang dapat dipetik dari dialog tadi. Namun –tentu- penulis akan terlebih dahulu untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikiran penulis, untuk “memancing” pikiran pembaca tentunya. Ada tiga hal. Yang pertama, bahwa benarlah adanya bahwa masalah ajal hanyalah rahasia Allah SWT semata, tidak ada yang dapat memastikan jadwalnya. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah tentu hanya sebatas memperkirakan. Kalau kemudian meleset tentu tidak jadi persoalan, namanya juga perkiraan atau ramalan. Kalau benar tentu karena Allah demikian pula kalau meleset, yah seseorang yang diramal tadi memang belum waktunya menemui ajal. Sekaligus ini membuktikan bahwa Rasullulah betul-betul utusan Allah, yang semua pengetahuannya adalah karena mendapat petunjuk dan izin dari Allah. Kedua, sedekah “dapat” memanjangkan usia seseorang. Penulis sengaja menulis kata dapat di antara tanda kutip. Mengapa? Karena teori tadi tidaklah mutlak. Sekalipun seseorang dikenal sebagai seseorang yang dermawan, namun jika pemilik kehidupan menghendaki si dermawan wafat, maka wafatlah. Habis perkara. Demikian juga jika ada orang yang terkenal kikir, atau bahkan super kikir, belum tentu juga akan pendek usianya. Ketiga, si Yahudi tadi mendapat anugerah dari Allah berupa nikmat dipanjangkan usianya beberapa saat. Dan ini berlaku untuk semua umat manusia, tanpa memandang agama apa yang dianutnya. Dalam terminologi Agama Islam, bulan Ramadan adalah bulan di mana semua amalan kebaikan dilipatgandakan ganjarannya oleh Allah SWT. Namun sejatinya, bukanlah berarti di luar Ramadan kita berhenti berbuat baik. Malah akan terasa aneh jika seseorang yang sebelum Ramadan dikenal sebagai figur yang kikir dan judes, kemudian memasuki bulan Ramadan ia berubah menjadi dermawan plus lemah lembut. Kemudian keluar dari Ramadan kembali ia menjadi seseorang yang pelit dan bengis. Artinya, adalah suatu hal yang wajar jika kita memerlukan momen untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif. Dalam arti menunggu saat yang tepat dan bagus untuk melakukan suatu kebaikan. Misalnya, ada pelajar yang baru saja naik kelas namun dengan susah payah alias nilai pas-pasan. Kemudian ia berikrar bahwa tahun depan ia akan lebih rajin belajar agar nilainya baik dan ia dapat naik kelas dengan gemilang. Nah, ini berarti si pelajar tadi menunggu momentum yang pas untuk memulai start melakukan perbaikan diri. Masih bagus jika anak tadi mau menyadari kesalahannya di masa lalu. Yang banyak terjadi adalah seseorang yang kerap melakukan kesalahan, namun ia tidak menyadarinya. Karena tidak menyadari akhirnya ia tidak berusaha melakukan apa-apa untuk berbenah, dan otomatis tidak ada momentum apa-apa yang ditunggunya. Kembali kita ke kisah si Yahudi tadi dan kita lihat dalam aspek yang lebih luas di negara kita. Seyogyanya kita melihat betapa kita harus banyak berbagi dengan orang lain. Yang kita lihat sekarang ini adalah –pada umumnya- semua berebut uutuk mempernyaman diri sendiri, tanpa mau peduli orang lain. Kalau bisa semua kedudukan, rezeki, kesempatan untuk maju dan seterusnya dan seterusnya, dikuasai oleh diri sendiri. Orang lain disuruh minggir. Anda tentunya pernah melihat dua orang pemain catur, bukan? Namun tahukah Anda bahwa di balik kedua pemain catur tadi ternyata ada puluhan orang yang terlibat? Sebut saja mulai dari pelatih teknis, pelatih fisik, ahli gizi, dokter, puluhan pemain catur sebagai mitra tanding dan masih banyak lagi lainnya. Jika untuk menghasilkan seorang pemain catur yang hebat saja diperlukan saling kerjasama yang begitu solid, maka bagaimana mungkin kita akan mempunyai negeri yang hebat jika anak bangsa di dalamnya hanya memikirkan dirinya sendiri? Ma’af yah..he he.. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: