Tolikara dan Perspektif Keberagaman Baru

Tolikara dan Perspektif Keberagaman Baru

Giorgio Agamben, filsuf Italia, dalam sebuah wawancara pernah berujar bahwa, “pikiran adalah sebuah keberanian untuk berputus asa.” Pada sesi yang lain, di media online Newstatesman, Zizek mengonfirmasikan lebih lanjut ungkapan itu dengan istilah; keberanian sejati adalah mengakui bahwa cahaya di ujung terowongan kemungkinan besar lampu dari kereta lain yang mendekati kita dari arah yang berlawanan. Ungkapkan di atas menjelaskan kepada kita bahwasanya pikiran memiliki hasil alamiah, yakni kebuntuan. Tidak ada istilah ‘menjadi alternatif’ dalam suatu gagasan. Yang ada ialah kemungkinan akan hadir suatu pikiran lain yang menabrak, menambah ataupun bahkan mengikis pikiran sebelumnya. Jika kita biasa melakukan suatu penelitian yang melandaskan pada bentuk studi kasus, (mungkin) kita tidak akan merasa keheranan. Dalam studi kasus, ada satu tipe studi yang kita kenal dengan eksplanatoris. Yaitu studi penelitian yang tujuannya adalah untuk menguji suatu teori atau hipotesis dalam rangka memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesis hasil penelitian yang sudah ada. Dan pikiran, masuk menjadi salah satu kajian studi eksploratoris. Meskipun begitu, orang Indonesia kebanyakan tidak menyadari hal ini. Mereka terlalu taklid, sehingga pengembangan yang belum final itu diamini tanpa koreksi. Oleh karenanya, kita, bangsa Indonesia, teramat mudah menyalahkan dan berperang satu dengan lainnya dengan me-minus-kan argumentatif. Contohnya adalah bagaimana kita merespons kasus yang terjadi di Tolikara, Papua, Idul Fitri kemarin. APA LANDASAN KITA? Hati nurani, merujuk pada K. Bertens, memiliki dua hal yang dikenal dengan retrospektif dan prospektif. Retrospektif menuntun tindakan kita dengan dasar perbuatan di masa lampau. Sedangkan prospektif artinya hati nurani kita menggerakan tindakan dengan melihat keadaan di masa depan. Singkatnya, jika dalam prospektif ada kengganan untuk “lebih baik jangan”, maka, dalam retsospektif ada penegasan “tidak boleh diulang”. Sudah bukan rahasia lagi jika media adalah pemantik paling ditanggapi dalam hal penyebaran isu. Termasuk juga ketika isu mengenai Tolikara pertama kali muncul. Ada kesatuan persepsi awal yang diterima tanpa klarifikasi, yaitu “PEMBAKARAN MASJID”. Dengan standar psikoanalisis, metonomi, pembakaran itu kemudian diikuti isu sebab. Ada yang mengatakan kebencian agama, ada yang menilai arogansi satu kaum, bahkan pula muncul speaker disalahkan. Tetapi bukan itu (kecacatan media) inti yang hendak kita bahas. Kita akan menakar lebih jauh menyoal mengapa—kekerasan atas nama agama—hal itu tetap terjadi di tengah lingkungan Indonesia yang semakin global? Di tengah wacana toleransi yang sudah tersebar luas? Berikut adalah berbagai alasan yang seharunya hal itu tidak pernah terjadi, sehingga ketika itu masih terjadi, menjadi tabu. Pertama, anak-anak kita, secara hati nurani retrospektif, diajarkan untuk melihat bahwa kebencian di masa lalu hanya akan menghasilkan ‘menang jadi abu kalah jadi arang’, keterpercumaan. Yang dengan begitu, secara hati nurani prospektif, kita tidak boleh menghina, mencibir atau bahkan menanamkan dendam yang akibatnya nanti kebencian, sehingga hasilnya keterpercumaan. Selain alasan pertama, kedua, negara pun sudah membangun dirinya dengan dasar Pancasila yang mengakui agama. Harapannya tentu, toleransi adalah pondasinya. Ketuhanan, kemanusiaan dan kesetaraan politik dirumuskan untuk mewujudkan itu. Nyatanya, berkaca pada Tolikara, hal itu tidak pernah cukup, karena lagi dan lagi terjadi kericuhan menyangkut agama. Sebab, pada dasarnya, hati nurani adalah kehendak pribadi yang justeru di Indonesia malah dijadikan dasar bagaimana sepatutnya negara bersikap. MEMISAHKAN AGAMA DAN NEGARA Ide ini memang bukanlah suatu hal yang baru. Ide ini pernah berulang kali disampikan dengan aneka macam keperluan. Seperti misalnya, keperluan mengurai konflik keberagaman. Ide ini adalah menjauhkan konstitusi dari kepercayaan teologi warga negara. Agar agama, yang isinya warga negara, tidak lagi dimanjakan. Sehingga arogan dan seolah melupakan tanggung jawab warga negara. Pemisahan ini pun perlu dilakukan untuk menghindari kesuperioritasan satu agama. Di mana dalam pemisahan ini, keinginan untuk menjadikan aspirasi agama mayoritas sebagai hukum, dilarang. Begitupun rengekan minortias tidak perlu dibesarkan dengan ‘basa-basi toleransi’. Negara, mengutamakan cita-cita damai tanpa mencampuradukan mencari persamaan visi agama. Tetapi negara fokus memajukan etika dan moral pada lanadasan yang disepakati bersama, yakni Pancasila. Dengan pikiran seperti itulah penegakan hukum akan murni tanpa tebang pilih dan ketakutan. Negara akan mampu menghukum sikap sekelompok orang sebagai warga negara. Bukan penghakiman kepercayaan dengan SKB Tiga Menteri. Negara pun tidak perlu mengatur speaker, gong atau bahkan acara penyepian. Karena itu dikembalikan pada kesadaran bersama keberagaman. Yang diatur adalah, ketidakbolehan seorang atau sekelompok warga main hakim sendiri, sehingga mengakibatkan kerugian kepada warga lainnya. PENUTUP Dalil-dalil pikiran hendaknya dilawan dengan pikiran pula, bukan dengan justifikasi. Apa yang tersebut di atas, adalah pikiran yang merombak ulang pikiran sebelumnya. Yang, menurut Agamben, harus siap pula mengalami keterputusasaan karena akan datang yang baru. Pikiran yang ditawarkan tadi, memisahkan negara dan agama, seringnya disebut sekuler–tetapi yang lebih penting lagi mendorong orang-orang mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme–dengan menjauhi takhayul serta sikap primitif. Catatannya, istilah sekuler adalah istilah singgah sampai pada muncul istilah baru yang lebih tepat. (*) *) Penulis adalah asisten peneiliti di SRI Institute.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: