Saatnya, Vonis Mati Buat Pembunuh Sadis

Saatnya, Vonis Mati Buat Pembunuh Sadis

Bagian ke: 93 Sekalipun menelan korban puluhan, bahkan ratusan jiwa, namun jika terdapat berita di media massa tentang korban tewas di jalan raya, itu merupakan hal yang biasa. Yang tidak biasa adalah jika diberitakan terdapat korban tewas akibat pembunuhan pada Idul Fitri. Dan itu terjadi pada Lebaran hari kedua, tepatnya pada hari Sabtu (18/7/2015) siang. Adalah Nurbaety Rofiq (NR, 44) seorang jurnalis, ditemukan tewas bersimbah darah di rumahnya di Perumahan Gaperi, Kedung Waringin, Bojong Gede, Depok. Setelah pelaku pembunuhan tertangkap, barulah terungkap sejumlah fakta bahwa motif pelaku adalah perampokan. Namun karena kepergok pemilik rumah, jadilah tuan rumah dihabisi sekalian. Sebuah alasan klasik yang sering terjadi. Fakta lainnya adalah pelaku sudah tewas sekitar dua pekan sebelum ditemukan. Hal ini berdasarkan pengakuan dari trio pelaku yang menyatakan bahwa mereka menyatroni rumah korban pada tanggal 2 Juli 2015. Antara korban dan pelaku memang tidaklah saling mengenal. Namun karena pelaku bekerja sebagai kuli bangunan di sebelah rumah korban, maka mereka tahu persis kondisi korban beserta layout rumahnya. Termasuk status korban yang hidup menyendiri. Tema Obrolan Pagi ini menyoroti tentang begitu mudahnya orang-orang “tidak berdosa” yang harus tewas karena jadi korban pembunuhan. Bahkan di rumahnya sendiri! Dalam pengakuan awalnya terungkap betapa sadisnya para pelaku menghabisi NR, mulai dari DS sang otak kriminal yang membekap serta menusuk ulu hati serta leher korban yang menyebabkan urat nadi putus, ditambah HU yang menindih dan menusuk korban sampai tujuh kali! Penulis melihat betapa kurangnya perlindungan terhadap warga dari kasus pembunuhan, lebih-lebih pembunuhan berencana. Yang penulis maksudkan dengan perlindungan di sini tidaklah harus polisi berjaga di depan pagar rumah setiap warga. Karena tentu hal itu tidak mungkin bisa dilakukan. Yang penulis inginkan (dan semoga juga jadi keinginan mayoritas masyarakat) adalah berikan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan sadis yang sampai menyebabkan korban tewas. Dalam kasus Depok, rasa-rasanya tidaklah mungkin jika seseorang yang tidak terbiasa membunuh akan dengan tega melakukan hal seperi itu. Lantas kenapa negara tidak memperlakukan hal yang sama seperti mereka memerlakukan korbannya. Tak lama setelah kasus Depok terungkap, Kapolresta Depok Kombespol Dwiyono memaparkan bahwa akibat perbuatannya, para pelaku diancam dengan pidana Pasal 365 juncto 338 KUHP dengan hukuman 15 tahun penjara! Bayangkan, sudah membunuh plus perampokan (bahkan salah satu pelaku dilaporkan akan memperkosa NR namun diurungkan karena korban bersimbah darah), sehingga nyaris saja NR mengalami tiga kemalangan sekaligus! Pertanyan kita, adalah mengapa begitu ringan hukuman bagi pelaku kejahatan sadis yang sudah jelas-jelas merugikan masyarakat. Terkesan negara “menyayangi” pelaku namun tidak pernah memikirkan betapa sakitnya korban saat meregang nyawa dan kepedihan berkepanjangan apabila korban merupakan tiang keluarga atau pencari nafkah bagi keluarga. Dalam proses penegakan hukum tindak pidana pembunuhan, ada tiga pihak penegak hukum yang terlibat, yakni kepolisian yang bertugas melakukan pemberkasan atau pembuatan berita acara penyidikan, setelah berkas beres kemudian dioperkan ke kejaksaan sebagai penuntut umum sebelum hakim yang akan menjatuhkan vonis. Nah, jika dalam tahap awal saja penyidik tidak menerapkan pasal terberat bagi pelaku, bisa dipastikan tuntutan jaksa juga akan senada. Ujung-ujungnya hakim juga akan memvonis yang senada pula. Seyogyanyalah trio pihak penegak hukum tadi punya kesamaan bahasa agar vonis mati misalnya, diberikan kalau memang semua bukti telah jelas-jelas menyatakan bahwa pelaku sudah kelewat batas dalam melakukan kejahatannya. Hari Rabu tanggal 22 Juli 2015 merupakan hari Bhakti Adhyaksa alias hari peringatan ke-55 lahirnya institusi kejaksaan di Indonesia. Presiden Jokowi yang hadir dalam peringatan itu mengingatkan agar Kejaksaan Agung terus mereformasi birokrasi di lingkungannya. Tentu tidak perlu ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan mereformasi birokrasi, tapi bagi penulis seyogyanya hal itu diterjemahkan seluas-luasnya sampai dengan memberikan tuntutan seberat-beratnya bagi pelaku pembunuhan sadis. Penulis pikir hal itu adalah sesuatu yang wajar karena kejaksaan juga merupakan agent of development bagi negeri ini. Pihak lain di luar trio penegak hukum tadi yang diharapkan dapat mendorong agar tidak mudah jatuh korban pembunuhan adalah para anggota DPR. Setiap tahun atau bahkan dalam periode masa bakti lima tahun, DPR mendapat target untuk meratifikasi Undang-undang, namun sayangnya mereka tidak pernah mempersoalkan begitu mudahnya jatuh korban karena pembunuhan. Padahal di banyak negara hal seperti ini mendapat atensi khusus oleh negara. Lihat saja di Amerika, bahkan orang yang diduga sakit jiwa sekalipun namun jika sudah menimbulkan korban jiwa secara brutal maka bisa dipastikan pelaku akan membayarnya dengan eksekusi mati dengan cara di-stroom di kursi listrik sampai disuntik racun. Jadi tidaklah perlu semua seakan “cari panggung” manakala terjadi kerusuhan berbau SARA seperti di Kabupaten Tolikara, Papua. Di mana banyak pejabat langsung tengok ke lokasi di Tolikara, kemudian memberi keterangan kepada awak media dan mendapat liputan luas. Meskipun hal itu sah-sah saja dan baik juga, namun sebenarnya ada cara yang ringan, mudah, berbiaya murah tapi hasilnya akan lebih efektif dirasakan serta pasti akan banyak melindungi masyarakat, seperti yang penulis obrolkan di atas. Hanya dengan itu masyarakat akan menganggap bahwa negara hadir untuk melindung masyarakat dari korban jiwa yang tidak perlu. Semoga suara penulis sekecil apa pun, didengar para pengurus negeri ini. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: