Ngurusi atau Ngerusuhi NU?

Ngurusi atau Ngerusuhi NU?

Oleh: A Halim Iskandar MELIHAT situasi dan dinamika di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) saat ini, saya jadi teringat wasiat Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari ketika beliau masih menjadi rais akbar NU. Kakek Gus Dur tersebut pernah dawuh (menyampaikan pesan), ’’Siapa yang bersedia ngurus NU (mengelola NU dengan ikhlas) saya anggap santriku. Barangsiapa menjadi santriku, aku doakan khusnul khotimah.’’ Dawuh tersebut relevan direfleksikan kembali, mengingat akhir-akhir ini muncul gejala yang cukup memprihatinkan di kalangan nahdliyin, bahkan pengurus NU, yang mengarah pada keengganan ngurusi NU. Kesimpulan tersebut diambil karena secara implementatif batas ngurusi NU dan ngerusuhi NU (membuat rusuh atau kekacauan di NU) itu sangat tipis. Muncul fenomena, banyak orang yang seolah-olah aktif NU, namun tidak dilandasi semangat berbakti dan mengabdikan diri pada kepentingan agama dan bangsa. Melainkan, sekadar mendahulukan kepentingan diri sendiri dan kelompok (firqoh) masing-masing. Jadi, sejatinya kelompok itu bukan ngurusi NU, tetapi ngerusuhi NU. Secara gradual, hal tersebut menimbulkan dampak yang sangat negatif sekaligus menjadi antitesis dari progresivitas dakwah dan amaliah NU sebagai jami’yah diniyah yang mengemban misi memberdayakan umat dan menyejahterahkan rakyat. DEKADENSI Virus pragmatisme yang menjangkiti dunia ekonomi dan politik Indonesia belakangan ini, rupanya, juga berpengaruh terhadap perilaku sebagian pengurus, kader, serta aktivis NU. Mereka sudah tidak berpikir untuk menjadikan NU sebagai rumah tempat menempa dan menggembleng diri sebagai kader-kader militan yang berjihad memerangi kebodohan serta kemiskinan umat. Namun, mereka justru hanya berpikir bahwa NU adalah lembaga strategis yang bisa dimanfaatkan sebagai ’’kuda troya’’ untuk memuaskan hasrat ekonomi-politik mereka. Pragmatisme tersebut terepresentasi dalam sikap oportunistis sebagian pengurus, kader, dan aktivis NU ketika mendefinisikan NU bagi diri dan kelompoknya. Seperti pepatah klasik ’’ada semut ada gula’’, sebagian pengurus, kader, dan aktivis NU juga mengikuti prinsip dalam pepatah tersebut. Yakni, antusiasme terhadap NU akan muncul jika dapat mendatangkan keuntungan pribadi dan kelompok. Sebagai contoh, ketika ada hajatan seperti muktamar, munas, atau harlah, sekelompok pengurus/kader oportunistis yang sebelumnya tidak pernah ngurusi NU tiba-tiba muncul dan menampakkan diri terlibat dengan tujuan mengambil manfaat dari kegiatan tersebut. Namun, ketika muncul panggilan untuk mengurus dan merawat NU secara ikhlas, tanpa pamrih, banyak yang memilih mundur teratur. Gejala tersebut kian tampak belakangan ini saat event Muktamar Ke-33 NU di Jombang hendak digelar. Berbondong-bondong sekelompok pengurus, kader, dan aktivis NU yang sebelumnya jarang, bahkan tidak pernah ngurusi NU, tiba-tiba unjuk muka dan ’’sok peduli’’ terhadap NU. Bahkan, beberapa kelompok yang tidak terakomodasi dalam kepanitiaan muktamar sampai membuat manuver untuk menghambat jalannya muktamar. Semua itu berpangkal dari ambisi untuk mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok dalam setiap hajatan NU. Baik untuk menjadikan NU sebagai alat bargaining kekuasaan maupun mengambil manfaat ekonomi semata. Itulah yang didefinisikan penulis bukan ngurusi NU, tetapi ngerusuhi NU. Fenomena lain juga mewabah. Yakni, pengurus NU sudah tidak ngurusi NU, tidak lagi menjalankan tanggung jawab dan kewajiban sebagai pengurus. Hal tersebut sudah banyak terjadi di semua level kepengurusan NU, mulai tingkat ranting sampai pengurus besar (PB). Sebaliknya, tidak sedikit pengurus NU yang hanya ngerusuhi NU. Karena itu, tidak salah, dalam buku Nahdlatul Ulama; Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan (2010), terutama di sub-bab yang berjudul Nahdlatulogi ala Mbah Muchith, KH Muchith Muzadi pernah memberikan tamsil: ibarat kendaraan, NU terlalu banyak punya sopir, tetapi minim montir. Analogi tersebut ingin mengisahkan, ketika ada mobil yang mogok di tengah jalan, hal yang paling didambakan adalah kehadiran seorang montir yang mampu memperbaiki mobil tersebut maupun seseorang yang bersedia mendorong mobil itu agar bisa berjalan lagi. Namun, yang menyesakkan, pemilik mobil itu meninggalkan begitu saja orang-orang yang membantu memperbaiki mobil mogok tersebut tanpa ucapan terima kasih. Ulah sebagian ’’oknum’’ NU yang ingin mencari keuntungan pribadi/kelompok dalam NU kompatibel dengan analogi Mbah Muchith tersebut. Artinya, tantangan bagi NU sekarang tidak hanya berasal dari aspek eksternal, melainkan juga dari kalangan internal. NGURUSI NU, NGURUSI INDONESIA Tentu tidak sedikit yang bertanya, mengapa persoalan ngurusi NU dengan ikhlas dan sungguh-sungguh harus dipikirkan dengan serius? Sebab, perkara itu tidak hanya terkait dengan eksistensi NU, melainkan juga ada relevansinya dengan eksistensi Indonesia sebagai darussalam (negara kesejahteraan), bukannya darul Islam (negara Islam). Sebab, sejak sebelum republik ini diproklamasikan, NU berkomitmen terhadap keutuhan kepulauan dalam wadah NKRI melalui rekomendasi alim ulama dalam Muktamar Banjarmasin 1926. NU pula yang secara independen meyakini Pancasila sebagai asas organisasi sebelum Soeharto melakukan langkah koersif untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Selain itu, hingga kini NU masih istiqamah menjalankan perannya sebagai perisai dan benteng kedaulatan bagi republik ini dari ancaman gerakan-gerakan liberalisme Islam maupun transnasionalisme Islam yang kontradiktif dengan semangat Islam ahlussunnah wal jama’ah. Dengan kata lain, NU sudah bertransformasi menjadi salah satu pilar penting bagi keutuhan dan kedaulatan NKRI. Mengutip analogi Alexis de Tocqueville (1805–1859) sebagaimana dikutip Dawam Rahardjo (1995), kontribusi sebuah perkumpulan dan perhimpunan sukarela (voluntary association) yang terepresentasi dalam format non-governmental organization (NGO) adalah sakaguru civil society, berperan layaknya seorang ’’ibu’’ yang melahirkan negara sekaligus ’’mengasuh’’ negara. Karena merupakan bagian dari NGO dan civil society, NU harus benar-benar diurus secara serius, tidak malah dirusuhi secara serius. Berangkat dari dawuh Rais Akbar NU Mbah Hasyim, yang perlu dicatat di sini, ngurusi NU tidak terbatas pada mencatatkan nama diri dalam struktur kepengurusan NU. Ngurusi NU sudah menjadi pilihan setiap nahdliyin yang ingin menjadi santri Mbah Hasyim. Dengan demikian, ngurusi NU tidak perlu menjadi pengurus NU, tetapi cukup menjadi pelayan yang ikhlas untuk membesarkan NU, melakukan dakwah Islam ahlussunnah wal jama’ah, serta mempertahankan NKRI. Sebaliknya, dapat didefinisikan khianat ketika berstatus pengurus, tetapi justru tidak ngurusi NU, bahkan sering ngerusuhi NU dengan hanya menjadikan NU sebagai alat kekuasaan, alat pemenuhan ekonomi, serta alat kepentingan duniawi lainnya. Karena itu, Muktamar Ke-33 NU mendatang harus benar-benar dimanfaatkan untuk mendetoksifikasi anasir-anasir yang selama ini gemar merusuhi NU. Marilah kembali ngurusi NU, bukan ngerusuhi NU. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa ngurusi NU, tidak hanya menjadi ekslusivitas dan prerogasi pengurus yang namanya tercantum dalam surat keputusan dan papan struktur. Tetapi, ngurusi NU menjadi pilihan setiap nahdliyin yang menginginkan berkah menjadi santri Mbah Hasyim, bahkan ketika beliau sudah tidak bersama kita. Tentu, pilihan ngurusi NU dengan ikhlas akan menjadikan kita sebagai santri Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari yang didoakan khusnul khotimah. Amin. Demikian pula sebaliknya, bagi nahdliyin, bahkan pengurus NU sekalipun yang tidak bersedia ngurusi NU, namun justru ngerusuhi NU, mereka bukanlah santri Rais Akbar NU yang didoakan khusnul khotimah. Nauzdubillah mindzalik. (*)   *) Penulis adalah Ketua DRPD Jatim dan Ketua DPW PKB Jatim. Tulisan ini diambil dari Jawa Pos.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: