Mendadak Urban: Kota Makin Padat

Mendadak Urban: Kota Makin Padat

TRADISI mudik dan balik Lebaran telah berakhir seminggu yang lalu. Kenangan tentang kampung halaman kembali menyeruak pada diri para perantau yang mengadu nasib ke kota-kota besar. Tetapi lebih dari itu, “kesuksesan” para perantau cukup menyilaukan mata kerabat di desa untuk mencoba peruntungan di kota-kota besar misal di Kota Jakarta dan sekitarnya. Hal inilah yang menjadi pangkal masalah yang hampir setiap tahun di berbagai kota besar: “urbanisasi dadakan”. Banyak alasan yang menjadi dasar bagi mereka untuk pindah menjadi penghuni kota besar. Tapi yang paling utama karena wilayah perdesaan sudah tidak lagi mampu menopang kehidupan mereka. Kehidupan perdesaan yang disandarkan pada sektor ekonomi tradisional seperti pertanian, perkebunan atau perikanan mungkin sudah tidak menjanjikan di mata mereka. Selain itu, bukan menjadi rahasia umum bahwa ketimpangan pembangunan berakibat pada pemusatan kesejahteraan di beberapa wilayah saja, sehingga mau tidak mau merekalah yang harus menjemput sendiri “kesejahteraan” itu. Ribuan orang berpindah tempat, meninggalkan wilayah perdesaan yang semakin miskin dan tertinggal. Namun di sisi lain membuat kota besar semakin over capacity. Padahal, layaknya sebuah rumah, kota pun memiliki keterbatasan daya tampung. Dan apabila dipaksakan, sungguh bukan merupakan hal yang baik bagi kehidupan perkotaan saat ini dan yang akan datang. Sebagai contoh, para ahli tata kota Belanda, Batavia (saat ini Jakarta) didesain hanya untuk dihuni 800.000 jiwa saja. Tetapi sejak dekade 1970-an, Jakarta sudah dihuni lebih dari 4.000.000 jiwa. Dan pada dekade 2000-an, penduduk Jakarta sudah berada di angka 9.500.000 jiwa, yang akan bertambah 100.000 jiwa tiap tahunnya. Angka tersebut belum termasuk para pemudik yang pulang-pergi ke Jakarta untuk bekerja. Melihat kenyataan itu, sanggupkah kota-kota besar Indonesia menghadapi gempuran urbanisasi tersebut? Apa yang sekiranya harus diperbaiki? BEBAN PERKOTAAN Tidak ada seorang pun yang berhak melarang individu untuk berpindah tempat dan memperbaiki kehidupannya di tempat yang baru. Dan apabila menilik jauh ke belakang, fenomena urbanisasi berumur jauh lebih tua dibandingkan kehidupan manusia modern. Yaitu sejak era pra-aksara. Di mana manusia bergerak berpindah mencari tempat menetap sementara yang aman dari gangguan cuaca dan musuh (Santoso, 2006). Tetapi, berjalan selama ratusan bahkan ribuan tahun, urbanisasi ini membawa ongkos yang tidak sedikit bagi pertumbuhan kota. Bencana alam dan sosial yang datang bertubi-tubi, muncul dan meningkatnya kriminalitas, kerusuhan, kemacetan, gelandangan, kemiskinan serta kesengsaraan (Budihardjo, 2014), menjadi impresi awal apabila terbayang sebuah tempat yang bernama “kota”, apalagi “kota besar”. Ditambah lagi dengan fakta bahwa orang yang berpindah dari desa ke kota tidak memiliki skill, baik hard skill maupun soft skill yang mumpuni. Dalam penelitian yang dilakukan Emanuela Grapello dan kawan-kawan (2011), terdapat kesenjangan yang menyebabkan munculnya pengangguran khususnya di kalangan orang muda, antara lain mencakup kemampuan bahasa Inggris, kepemimpinan, solusi masalah, kreativitas, penghitungan yang tepat, dan technical skill lainnya (Kompas, 25/06/2015). Ketika seorang individu tidak mendapat pengetahuan yang cukup tentang kehidupan perkotaan yang mungkin sangat berbeda dengan kehidupan di alam perdesaan, hal yang paling mungkin ia lakukan adalah beradaptasi sebisanya dengan kehidupan yang baru, menggunakan cara hidup desa di kota. Akibatnya, mereka yang menjadi kaum urban baru tidak bisa terserap dalam sektor ekonomi perkotaan yang cenderung formal, yang menuntut penguasaan skill lebih tinggi. Karenanya, mereka yang sudah memendam asa untuk meraih kesuksesan di kota besar, hanya bisa menjadi penonton kemewahan dan kegemerlapan yang sulit mereka capai. PEMBANGUNAN YANG TIMPANG Lebih dari itu semua, masalah pembangunan yang terlalu sentralistik di beberapa wilayah atau kota saja, menjadi masalah utama yang belum terselesaikan. Pola pembangunan nasional yang tak merakyat, tidak merata, dan tidak berpihak pada masyarat tercetus akibat kebijakan yang kurang peka terhadap kondisi masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, kecenderungan mengidap sindrom centremania di kalangan para pembuat dan pelaksana kebijakan menjadikan segala macam fungsi kota diemban salah satu wilayah tanpa terkecuali (Budihardjo, 2014). Seperti kota Jakarta, yang memiliki fungsi pusat pemerintahan, pusat ekonomi bahkan pusat hiburan sekaligus. Padahal, di era demokrasi saat ini, desentralisasi menjadi salah satu kunci terpenting dalam mewujudkan reformasi yang sebenar-benarnya. Desentralisasi juga menjadi cara terbaik untuk memecah keterpusatan pembangunan yang selama dua orde terakhir menjadi ciri khas. Dengan pembagian kekuasaan politik dan kewenangan administrasi yang lebih luas dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah, kecenderungan pembangunan yang dikendalikan dan direncanakan sepenuhnya oleh pusat bisa dicegah. Dengan kata lain, pemerintah daerah bisa dengan leluasa mengembangkan potensi dalam membangun wilayahnya. Lalu, apa yang pertama-tama harus dibenahi? Yang paling penting adalah menjamin komitmen dari pembuat dan pelaksana kebijakan di tingkat pusat dan daerah. Karena tanpa adanya komitmen yang kuat, sindrom centremania akan terus bercokol dalam perencanaan daerah. Koordinasi dan kolaborasi yang tepat antara seluruh aktor pembangunan kota pun dibutuhkan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan kota menjadi lebih demokratis dan akuntabel, sehingga desentralisasi menjadi lebih mudah dijalankan. Selain itu, harus ada “lompatan kualitatif”, dengan melakukan perubahan mendasar dalam kebijakan pembangunan perkotaan di Indonesia (Santoso, 2006). Pembangunan dan pengembangan kota-kota menengah yang terintegrasi dengan kota besar harus menjadi prioritas utama, dengan melakukan hal-hal seperti penyediaan lahan perumahan dan permukiman baru, pembangunan sektor ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta pengembangan infrastruktur pelengkap di daerah. Dengan diwujudkannya hal-hal tersebut, kota-kota besar yang obesitas dapat berangsur-angsur mengurangi bebannya. Telah menjadi insting utama manusia untuk mendapatkan yang terbaik dalam kehidupannya. Tetapi harus disadari, ada konsekuensi yang mesti ditanggung: hidup di dunia yang saling sikut dan jegal untuk mencapai tujuan. Karenanya, sudah sepantasnyalah kita menjalani kehidupan di atas landasan saling peduli dan berbagi. Meski terdengar utopis, hal tersebut yang membentuk keberadaban kita sebagai manusia. Lebih jauh lagi, menciptakan peradaban (civilization) yang benar-benar beradab, bernama kota. (*) *) Penulis adalah mahasiswa S-1 Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada; Warga Kota Cirebon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: