Bukan Fatwa, Hanya Masukan Ulama

Bukan Fatwa, Hanya Masukan Ulama

JAKARTA- Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin ikut mengomentari gonjang-ganjing fatwa haram Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, meski terkesan hati-hati. Menurut dia, yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang BPJS Kesehatan itu hasil dari ijtimak ulama. Menurut Lukman, MUI memiliki forum resmi ketika akan menetapkan sebuah fatwa. Forum resmi itu digelar dengan mekanisme tertentu dan ada persidangannya. “Sedangkan yang BPJS Kesehatan itu adalah proses ijtimak ulama,” katanya di Jakarta kemarin. Lukman menegaskan Kemenag tidak dalam posisi mengomentari atau menilai isi dari fatwa atau ijtimak ulama itu. Dia menuturkan posisi atau kedudukan dari hasil ijtimak para ulama itu MUI sendiri yang tahu. Lukman juga mendukung adanya pertemuan atara MUI, BPJS Kesehatan, dan Kementerian Kesehatan untuk membahas hal ini. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh menga­takan hasil fatwa dan hasil ijtimak ulama itu berbeda. “Forumnya beda. Di MUI itu ada forum pengambilan fatwa dan ada forum ijtimak ula­ma,” katanya. Namun, pada akhirnya yang berkembang dalam pemberitaan saat ini adalah, hasil ijtimak ulama yang menyimpulkan BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah itu itu dicap sebagai fatwa haram. Ijtimak para ulama itu sifatnya sebagai masukan kepada peme­rintah. Para ulama tetap memiliki tanggungjawab moral untuk menyampaikan masuk­kannya kepada pemerintah. Ter­masuk terkait kebijakan penyeleng­garaan BPJS Kesehatan. Sementara itu, pihak istana berinisiatif untuk memperte­mukan MUI dengan manajemen BPJS Kesehatan dan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, hingga saat ini pemerintah belum memiliki sikap resmi, sebelum adanya pembicaraan kompre­hensif semua pihak. “Jadi, Presiden (Jokowi) sudah memerin­tahkan kedua pejabat (BPJS Kese­hatan dan Menkes) untuk berdialog dengan MUI,” ujarnya kemarin (31/7). Andi mengakui, polemik yang bergulir panas di masyarakat itu mendapat perhatian serius presiden. Karena itu sudah diinstruksikan agar pertemuan dilakukan secepatnya. Namun, dari pihak MUI belum menyanggupi karena masih berada di acara Muktamar NU dan Muhammadiyah. “MUI mintanya pekan depan, kami akan tunggu,” katanya. Setelah dialog dilakukan, presiden akan meminta Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris dan Menkes Nila F. Moeloek untuk segera melapor. Dari situ, barulah presiden akan mengevaluasi, apakah BPJS Kesehatan masih akan tetap menggunakan skema lama yang dinilai MUI tidak syariah, atau memodifikasinya agar bisa memenuhi kaidah syariah. “Presiden ingin ini cepat selesai,” ucapnya. Sementara Kepala BPJS Kantor Cabang Utama (KCU) Cirebon, Deded Chandra SE MAk mengatakan selama ini peserta BPJS Kesehatan di area kerja KCU Cirebon tidak mempersoalkan apa yang disampaikan MUI ten­tang BPJS Kesehatan. Untuk lebih mema­hami persoalan ini, Deded Chandra menyampaikan panda­ngan Prof Hasbullah Tabrany, selaku salah satu konseptor dan pemikir program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dikatakan Deded, BPJS Kesehatan berbeda dengan perusahaan asuransi. BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang menjadi bagian Pemerintah. Dengan demikian, keberadaan BPJS Kesehatan harus dipandang sebagai hubungan negara (pemerintah) dan warga negara (rakyat). Bukan hubungan orang dengan perusahaan asuransi. Adapun dalam hal negara terhadap warga negaranya, kata Deded, iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan bersifat sama seperti pajak yang berlaku wajib. Jika Iuran JKN tidak sesuai syariah, maka pajak juga tidak sesuai syariah. Begitupula dalam hal bukan hubungan orang-orang dengan perusahaan asuransi komersial (asuransi takaful pun bersifat komersial), JKN tidak memerlukan akad sama persis seperti asuransi komersial. Tetapi, ujarnya, JKN diseleng­garakan dengan prinsip dan regulasi yang telah ditetapkan. Di samping itu, lanjut Deded, iuran JKN merupakan dana amanah dan bukan uang BPJS Kesehatan yang digunakan sepenuhnya untuk kepentingan peserta JKN di seluruh Indonesia. “JKN ada­lah program negara untuk kepen­tingan Rakyat. BPJS Kesehatan bukan perusahaan asuransi,” ujar Deded Chandra. Karena itu, kata Deded mengutip pandangan Prof Hasbullah Tabrany, dalam program JKN tidak ada unsur penipuan, judi maupun riba. Sebaliknya, prinsip utama program ini adalah gotong royong. Seluruh masyarakat Indo­nesia bergotong royong mem­biayai orang sakit. Peserta disosialisasikan tentang hak, kewajiban dan prose­dur pelaya­nan, termasuk disam­paikan juga hal-hal yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan. “Semua transparan,” ujar Deded. Setiap rupiah yang dikelola, ucap pe­rempuan berkacamata itu, dila­­porkan secara terbuka diaudit dan diawasi oleh berbagi pihak yang berwenang. Mulai dari BPK, BPKP, OJK hingga KPK. Adapun tentang penetapan denda atas pe­­nundaan bayar hutang, dalam hal ini BPJS Kese­hatan me­­­mu­ngut denda sebagai ma­ni­­fes­tasi negara. Ulama semua se­­pakat, pembebanan denda da­­­lam format se­macam ini dan di­­­pu­­­ngut ne­­gara serta dila­ku­kan untuk men­didik sekaligus mem­­­be­ri kese­­jahtera­an rakyat, hukum­nya diper­bolehkan. (wan/ysf)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: