Dilema Mahalnya Menjadi Pemimpin

Dilema Mahalnya Menjadi Pemimpin

PEMILU langsung di era reformasi—sebagai respons dari pemilu tidak langsung di era Orde Baru—dan sekarang akan dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia pada bulan Desember, menyisakan persoalan yang sangat kompleks. Salah satunya adalah mahalnya ‘cost yang harus dibayar’ oleh calon pemimpin, biaya koordinasi, atribut kampanye, ‘curnis’, sampai biaya ‘mahar’ yang harus dibayarkan kepada partai pengusung. Dampak ikutan dari persoalan tersebut adalah ketidaksempatan—untuk tidak mengatakan tidak peduli—untuk memikirkan kesejahteraan rakyat, tetapi yang ada dalam benaknya bagaimana modal segera kembali dan dampak turunannya adalah sedemikian ‘mahalnya’ juga untuk menduduki jabatan kepala dinas/instansi/badan dan lainnya. Sementara pada saat yang sama banyak regulasi yang membentengi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Alih-alih bukan kesejahteraan, keselamatan dan kemajuan untuk rakyat, sebaliknya banyak pemimpin di daerah (gubernur/bupati) yang berujung dipenjara. Saat ini korupsi, kebocoran anggaran dan pelaksanaan pembangunan lebih parah dari masa Orde Baru. Jika dulu korupsi terkonsentrasi di pemerintahan pusat, kini menjadi tersebar merata di semua lapisan birokrasi, baik dalam tugasnya melaksanakan pembangunan berbasis APBN/APBD demikian juga dalam hubungannya dengan pengusaha swasta. Yang lebih miris adalah korupsi yang dilakukan oleh oknum penegak keadilan yang sejatinya bertugas memberantas korupsi seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Kriteria Pemimpin: Belajar dari Para Nabi Persoalan kepemimpinan, bukan berbicara siapa—ini tidak penting—tetapi kriteria yang harus dikedepankan, dan ini ada pada para nabi. Tetapi pada saat yang sama banyak yang mencibir, itukan nabi, padahal nabi juga manusia. Ketika disebut sebagai teladan—pada nabi Muhammad misalnya, maka logikanya teladan itu bisa untuk ditiru atau dicontoh. Prof. Adang Djumhur S., dalam sebuah kesempatan menyebut sifat-sifat Nabi Muhammad Saw yang perlu diteladani dalam konteks kepemimpinan adalah shidiq/benar (komitmen pada kebenaran, selalu berkata benar dan berjuang menegakkan kebenaran), Amanah/jujur/dapat dipercaya, (objektif, ucapan dan perbuatannya sesuai dengan bisikan hatinya, adil dan aspiratif). Tablig (komunikatif, transparan, dan demokratis, siap bermusyawarah serta bermufakat untuk kebenaran). Fathanah (cerdas, cerdik, luas wawasan, terampil dan profesional). Dalam teori manajemen modern keempat sifat ini dipandang kunci keberhasilan kepemimpinan/manajemen—Bambang Trim menambahkan satu kriteria yaitu Istiqamah/konsisten/ajeg. Direlevansikan dengan kebijakan publik, kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana disinyalir dalam QS Al-Fath: 29 adalah, pertama, keras dan tegas terhadap kekafiran (penyimpangan); (menegakkan aturan dengan tanpa pandang bulu atau tebang pilih). “lau anna Fathimata binti Muhammadin saraqat laqatha’tuha”. Kedua, kasih sayang terhadap sesama; (populis, berpihak kepada kepentingan public, selalu menjaga soliditas dan solidaritas, keragaman masyarakat memperkaya inovasi, perbedaan menjadi rahmat bukan menjadi laknat). Ketiga, selalu ruku’ dan sujud; (rajin beribadah, rendah hati, giat bekerja, tulus, dan senantiasa berbuat semata karena Allah dan umtuk kepentingan masyarakat banyak). Keempat, selalu mencari karunia dan rida Allah; (kreatif menggali potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), cerdas menangkap peluang, taat dan patuh terhadap aturan, seimbang antara do’a dan ikhtiar, serta optimis atas rahmat dan rida Allah). Kelima, bekas sujud nampak di wajahnya; (kesalehan ritualnya memberi dampak pada kesalehan sosial, integritasnya sebagai muslim tercermin pada perilaku kesehariannya, yang selalu berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat). Dari sisi praksis, pada Prophetic Leadership Achyar Zein misalnya menyebut kepemimpinan yang menonjol pada diri para nabi. Nabi Adam pemimpin yang berani mengakui kesalahan, Idris pemimpin yang jujur dan sabar, Nuh pemimpin yang menolak intervensi keluarga, Hud pemimpin yang teguh memegang prinsip, Saleh pemimpin yang memegang amanah dan nasihat. Nabi Ibrahim pemimpin yang rela berkorban, Luth pemimpin yang mengutamakan ilmu dan hikmah, Ismail pemimpin yang tepat janji, Ishak pemimpin yang mengutamakan kesalehan, Ya’kub pemimpin yang memprioritaskan regenerasi. Nabi Yusuf pemimpin yang mencanangkan ekonomi kerakyatan, Ayyub pemimpin yang konsisten memegang sumpah, Dzulkifli pemimpin yang bertanggung jawab, Syu’aib pemimpin yang mencetuskan bisnis bermoral, Musa pemimpin yang tegas. Nabi Harun pemimpin yang komunikatif, Daud pemimpin yang berhasil menyatukan kekuatan dan hukum, Sulaiman pemimpin yang selalu menjaga wibawa, Ilyas pemimpin yang selalu menjaga nama baik, Ilyasa’ pemimpin yang selektif. Nabi Yunus pemimpin yang berani menerima konsekuensi, Zakaria pemimpin rasional dan objektif, Yahya pemimpin yang mampu menahan diri, Isa pemimpin yang memiliki ketajaman intuisi dan Nabi Muhammad pemimpin yang membawa rahmat. Para nabi dan rasul tersebut tidak hanya mengajarkan nilai-nilai spritualitas dan moralitas. Tetapi juga mengajarkan umatnya, bagaimana kita menjalankan kepemimpinan dalam keseharian kita. Cost Memilih Pemimpin Diskursus tentang pola dan mekanisme pemilihan pemimpin di negeri ini tidak pernah selesai. Setelah pemilihan pemimpin dengan pola keterwakilan yang dilakukan oleh parlemen, kemudian pemilu langsung dan akhir-akhir ini ada wacana kembali lagi dilakukan oleh parlemen. Ketika pemilihan pemimpin ditetapkan secara langsung pada era otonomi daerah, ini berdampak pada persoalan biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon pemimpin. Sekarang ini terlalu mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk memilih seorang pemimpin, sebagai contoh untuk menjadi seorang kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota) di pulau Jawa atau daerah-daerah tertentu di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, menurut Muhammad Syafi’i Antonio dibutuhkan dana kampanye minimal 7-15 miliar rupiah—bahkan lebih. Ketika calon bupati/walikota meminjam dari beberapa pengusaha dan rekanan, ia akan langsung menjadi penghutang besar—gharimun kabir—yang harus dibayar selama masa pemerintahannya. Di sinilah ia akan memulai tugas utama sebagai bupati/walikota dengan program ‘balik modal’. Program ‘balik modal’ ini jelas tidak akan dapat diharapkan dari gaji struktural, karena take-home payment resmi para pejabat itu tidak lebih dari Rp15-20 juta per bulan. Mungkin jika ditambahkan dengan berbagai tunjangan resmi mencapai Rp50-100 juta. Jika Rp50 juta dikalikan 60 bulan masa jabatan maka total pendapatan resmi dan halal bupati/walikota hanya Rp3 miliar. Dari mana ia harus menutupi sisanya? Masih menurut Syafi’i Antonio, jawabannya dengan menitipkan persentase tertentu dari APBD kepada kontraktor. Setiap kontraktor yang ikut tender harus siap untuk setor 5, 10, hingga 20 prosen jika ingin memenangkan tender. Demikian juga pimpinan daerah akan mendapat tambahan income saat bendaharawan pemerintah daerah melakukan pembayaran ke kontraktor. Pimpinan Pemda juga masih akan mendapatkan tambahan income non-halal dari setiap perizinan dan konsesi penambangan dan investasi yang dilakukan di wilayahnya. Alhamdulillah, sebagian besar pemimpin daerah beragama Islam. Mereka shalat, puasa Ramadan bahkan hampir semua sudah menunaikan ibadah haji dan umrah. Kita yakin dari waktu ke waktu mereka juga membaca salawat kepada Rasulullah Saw, yang tidak kita ketahui apakah Rasulullah tersenyum atau menangis sedih. Ketika salawat dikumandangkan tetapi kesejahteraan umatnya diinjak-injak karena sebagian besar infrastruktur kesehatan, pendidikan, jalan, dan pengairan dirampas oleh yang membaca salawat kepadanya. Membangun Sistem Agak ironis, banyak pemimpin yang salih secara individual, tetapi ketika memasuki realitas sistem, ia kalah. Anehnya sistem itu justru ia yang membuatnya. Berlama-lama ia salat malam di pojok pesalatan rumahnya, tetapi ketika di kantor ia harus kalah oleh sistem. Tuhan yang ia besarkan dalam salatnya dikerdilkan oleh kekuasaan, uang dan ‘kehormatan’ semu. Dalam bahasa Emha Ainun Nadjib jutaan rakaat salat yang dilakukan tidak pernah jelas efektivitasnya untuk tanha ‘anil fahsyai wal munkar. Frekuensi peribadatan yang dilakukan tidak berbanding sejajar dengan meningkatnya kemaslahatan sosial, politik dan budaya. Harus ada kemauan dari kita semua untuk membangun sistem yang benar-benar dapat memilih pemimpin yang bertanggung jawab dunia akhirat. Pemimpin yang tidak hanya berorientasi pada kemegahan serta opportuniy untuk menambah kekayaan semata dengan cara apa pun. Pemimpin yang tidak bisa bercuti panjang untuk jalan-jalan ke luar negeri, karena banyak Puskesmas dalam keadaan memprihatinkan. Pemimpin yang tidak terlalu nikmat duduk dalam ruangan ber-AC, sementara masih banyak rakyatnya korban kekeringan. Pemimpin yang tidak rela meminta kenaikan gaji dan fasilitas, karena sebagian PNS gaji pokoknya tidak lebih besar dari anggaran telepon rumah seorang pejabat di tingkat kabupaten. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*) *)Penulis adalah dosen IAIN Cirebon DPK pada STIT al-Amin Indramayu dan Kepala SMA Islam At-Taqwa Kandanghaur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: