Pengarusutamaan Nilai Budi Pekerti dalam Pendidikan

Pengarusutamaan Nilai Budi Pekerti dalam Pendidikan

Mamang M Haerudin* BELUM lama ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Bawedan, telah meresmikan Program Penumbuhan Nilai Budi Pekerti yang kemudian secara normatif telah diatur dalam Permendikbud 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Nilai budi pekerti yang dimaksud itu sendiri sedikitnya memuat empat hal, di antaranya melestarikan lingkungan sekolah, membangun komunikasi positif antar sesama siswa, rasa kebangsaan dan cinta tanah air, serta internalisasi nilai moral dan spiritual. Keempat poin inilah yang sudah seharusnya dikedepankan, dijadikan arus utama pendidikan kita. Pada dasarnya, pendidikan merupakan upaya terencana dalam melakukan transformasi (perubahan) intelektual, emosional dan spiritual kepada peserta didik. Upaya ini harus melibatkan banyak pihak, baik orang tua, guru dan masyarakat. Sudah saatnya, kita membangun sebuah proses pendidikan yang mengedepankan proses, bukan hasil, mengedepankan nilai budi pekerti, bukan hanya sekadar nilai akademik. Sebab, pada hakikatnya semua anak itu cerdas dan terampil, orang tua, guru dan masyarakat yang seharusnya bisa memotivasi agar kecerdasan dan keterampilan mereka dapat dieksplor dengan optimal. Orang tua di rumah, guru di sekolah, dan semua pihak di lingkungan masyarakat sudah sepatutnya memahami perkembangan psiko-sosial anak-anak. Mengedepankan pola pendidikan beralandaskan kasih sayang dan perhatian. Menjauhkan pendidikan dari segala unsur ancaman dan kekerasan. Sebab, pendidikan itu murni perhatian dan kasih sayang, sehingga manakala pendidikan ternodai dengan ancaman dan kekerasan, sejatinya bukanlah pendidikan. Berikut yang juga penting dalam proses pendidikan adalah memantik dan mendeteksi kelebihan anak. Sebab realitasnya sering kali anak hanya diungkit segala kekurangannya. Upaya ini dilakukan untuk sesegera mungkin mengubur hidup-hidup segala potensi negatif anak, misalnya pesimisme, kemalasan, tidak percaya diri dan lain sebagainya. Semakin ditekan, semakin diungkit kekurangannya, anak dianggap bodoh dan nakal, kejiwaan mereka akan terganggu fisik dan psikisnya. Anak akan cenderung malas, belajar tidak bergairah, stres, dan frustrasi. Anak pun akan cenderung brutal, tak betah di rumah dan hidup bebas tak terkendali. Bagaimana pun anak adalah amanah dan titipan dari Allah yang harus dijaga. Keberadaannya dimuliakan, sebagaimana manusia pada umumnya. Anak harus dihargai dan dimengerti dengan bijak, bukan dengan sikap manja. Menghargai anak bisa dilakukan dengan mendengarkan keluh-kesahnya, memberikan perhatian penuh dan memberikan perlindungan. Anak-anak dalam masa belajar di lembaga pendidikan, pada dasarnya mereka sedang belajar menjalani kehidupan. Tanpa nilai budi pekerti anak-anak akan kehilangan teladan. Makanya, nilai budi pekerti tak akan pernah terwujud tanpa adanya keteladanan; dari orang tua, guru dan masyarakat. Setiap perilaku yang dilakukan oleh anak, tidak lain adalah cermin dari orang tua, guru dan masyarakat itu sendiri. Orang tua di rumah harus menanamkan nilai budi pekerti dengan serius sekaligus menyenangkan. Libatkan anak dalam setiap kebijakan yang akan diterapkan di rumah. Orang tua dapat bermusyawarah dengan anaknya dalam membuat aturan agar setiap anggota keluarga bisa bersikap disiplin dan bertanggung jawab. Aktivitas sedari bangun pagi harus kompak dijalankan oleh semua anggota keluarga, terutama menumbuhkan aktivitas yang dapat menumbuhkan spiritualitas, misalnya shalat fardu berjamah, berpuasa sunah Senin-Kamis, dan lain sebagainya. Sebagaimana dalam kehidupan keluarga, di sekolah juga para siswa dididik dengan nilai-nilai keteladanan dari para guru. Mengacu pada empat nilai budi pekerti Kemendikbud, melestarikan lingkungan menjadi nilai penting yang harus diterapkan dalam kehidupan di rumah, di sekolah dan lingkungan masyarakat. Tidak membuang sampah sembarangan, membudayakan hidup bersih dan rapi, bekerja bakti, membersihkan toilet dan lain sebagainya secara bersamaan antara anak dan orang tua, siswa dan guru, serta seluruh anggota masyarakat di lingkungan sekitar. Begitu pun dengan nilai membangun interaksi positif antar siswa, guru di sekolah menjadi faslitator untuk merangsang siswa agar bisa berinteraksi dengan efektif. Melalui interaksi positif, akan tumbuh sikap saling mengasihi dan menghargai. Termasuk ketika dalam kegiatan pembelajaran di kelas, para siswa akan dapat menyerap mata pelajaran, sehingga apa yang mereka dapatkan dalam pembelajaran akan berimbas positif pada perilaku mereka dalam kehidupan. Pendidikan juga harus dapat mendorong siswa tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Para siswa harus diberikan pemahaman agar mereka mencintai bangsa dan tanah airnya sendiri. Penjajahan dalam bentuk fisik seperti zaman dahulu memang sudah tidak ada, tetapi penjajahan pada zaman sekarang akan mengarah pada mental dan gaya hidup. Untuk itulah rasa kebangsaan dan cinta tanah air harus ditumbuhkan sedini mungkin. Salah satu contoh paling sederhana untuk menanamkan nilai budi pekerti ini di antaranya pihak sekolah mewajibkan semua stakeholders-nya untuk melaksanakan upacara bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Terakhir adalah internalisasi nilai moral dan spiritual, anak-anak didik dengan segala aktivitas pembelajaran yang berlandaskan moral dan spiritual. Seluruh aktivitasnya harus dipastikan memuat akhlakul karimah, keteladanan dan tauhidullah. Inti dari internalisasi di sini adalah agar anak dapat merenung mengenai nilai kehidupan dan kehadiran Allah Swt. Bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, yang abadi hanyalah akhirat. Wallahu ‘alam bis Shawab. (*) *) Khadim al-Ma’had Pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan Ciwaringin, Penulis Buku di Penerbit Quanta, Elex Media Komputindo, Kompas-Gramedia, Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: