Mental Muslimat NU

Mental Muslimat NU

Oleh : Dr Latifah MA* TULISAN ini saya buat untuk seluruh perempuan di Indonesia, khususnya Cirebon dan lebih khususnya Muslimat Nahdlatul Ulama (NU). Jikalau seorang anak diberikan tanya tentang “siapa yang bersama denganmu ketika ayah pergi?...”, maka mereka akan menjawab “..ibuuuu”. Begitu pun dengan pertanyaan sederhana seperti “siapa yang mencuci dan membuatkan kalian masakan?”, dijawab juga “..ibuuuu”. Itulah ibu, dengan stigma rendah dan lemahnya, tetapi ternyata memiliki peran yang teramat besar dalam keluarga. Bagi sebagian orang, hal di atas tadi, adalah indikasi bahwa ibu itu di rumah dan ayah itu urusan pekerjaan lapangan. Oleh karenanya, semua yang berbau menantang–seperti politik dan urusan organisasi–adalah milik ayah yang menjadi ‘haram’ bagi kaum ibu. Ibu cukup memasang popok anak, memasak dan mengemong ketika si buah hati menangis. Di samping didiskreditkan hanya pada urusan rumah, kaum ibu pun dipinggirkan dan dianggap sebelah mata, bisa pula dikatakan dijegal. Kaum ibu, berdasarkan alasan yang logis tadi, dinilai tidak akan sanggup mengurusi pekerjaan yang menguras pikiran. Dan atau, kaum ibu pastilah kalah bila nanti harus menjadi pemimpin bagi laki-laki yang notabene lebihlah kuat darinya. Konon katanya; itulah takdir, dan barangsiapa melawannya, berarti melawan Allah. Asumsi tersebut berlangsung cukup lama. Saking lamanya, tidak jarang asumsi tanpa klarifikasi itu mulai dianggap sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Kaum ibu pun, utamanya di kalangan Muslimat NU, tidak sedikit yang mengamini. Rasa taqlid itu mereka pondasikan dengan rujukan aneka macam dalil yang membuatnya melakukan hal itu secara sukarela. Namun, pertanyaanya, apakah memang benar begitu? TIGA TIPE PEREMPUAN Sepanjang perjalanan hidup saya sebagai ibu, yang tentunya juga sebagai peremupan, persepsi yang sudah dijelaskan tadi tidaklah relevan dengan kenyataan. Saya ambil contoh sahabat saya, Masriyah Amva. Nyai Masriyah, begitu saya memanggilnya, adalah perempuan kuat nan tegar. Dia memimpin pondok dengan santri ribuan, aktif berorganisasi dan menjadi tulang punggung keluarga. Semuanya dia lakukan dengan terampil dan menawan. Bahkan, saya bisa menilai bahwa, yang dilakukannya itu lebih baik daripada kaum bapak. Meskipun dia adalah perempuan. Pekerjaan saya sebagai seorang akademisi membuat saya tidak puas apabila menyimpulkan hanya pada hasil pengamatan. Saya lalu pergi ke gramedia dan membeli salah satu buku yang dicetak ulang Megawati Institute, judul buku tersebut adalah”Sarinah’ karya Ir Soekarno, Presiden pertama Indonesia. Dalam buku itu, saya temukan beberapa fakta mencengangkan. Salah satunya adalah periode menarik perubahan siklus yang dimulai dari periode patriarki, matriarki sampai ke patriarki kembali. Patriarki adalah posisi di mana laki-laki yang memimpin dan perempuan di rumah. Sedangkan matriarki sebaliknya. Yang dalam keadaan terakhir, di tulisan Soekarno, posisi itu melebur kepada hal saling melengkapi. Meskipun tidak persis sama, saya coba gambarkan tiga tipe perempuan di mata Soekarno. Tiga tipe itu terdiri dari perempuan tradisionalis, perempuan kapitalis dan perempuan progresif. Perempuan tradisionalis adalah perempuan yang, karena atau tanpa doktrin dan dogma, memilih hidup tinggal mengurusi rumah saja. Dapur, kasur dan njemur atau urusan masak-masak, seksualitas dan mencuci an sinch. Berlainan dengan itu, perempuan kapitalis adalah perempuan yang menganggap dirinya ciptaan yang sempurna. Yang dengan anggapan itu, dia merasa harus dilayani dengan mencerminkan suami sebagaimana mesin ATM. Dia belanja, ke salon, arisan atau hal apa pun yang hanya berpikir tentang kesenangannya. Laki-laki diperalat hanya sebatas untuk mengeruk uang. Yang terakhir, atau yang terbaik bagi Soekarno, adalah perempuan progresif. Perempuan progresif, dinilai oleh sang proklamator kita, yakni perempuan yang “...susah dan senang, derita dan bahagia, suka dan duka selalu berada di samping saya dan berjuang bersama dengan saya !!”. Itulah perempuan progresif yang diposisikan setara, karena hakikatnya manusia itu saling lengkap melengkapi. PENUTUP Bersamaan dengan masih hangatnya nuansa muktamar, maka saya mengaitkan sedikit tentang bagaimana NU menghargai perempuan. Sebagai sebuah organisasi yang besar, Nahdlatul Ulama (NU) telah menempatkan hal yang baik bagi perempuan. Tepat pada 9 Maret 1946/26 Robiul akhir 1365 H, NU membentuk kumpulan khusus yang menampung kecerdikan dan peran penting perempuan dengan nama Muslimat NU (sekarang). Hasilnya, dengan keterbukaan itu, NU membuktikan dengan mengirimkan Khofifah Indar Parawansa sebagai pemimpin dalam bidang Menteri Pemberdayaan Perempuan dan kini Menteri Sosial. Adapula dalam bidang keagamaan adalah sang dai kondang Mamah Dedeh, yang mampu menceramahi ibu-ibu dan juga bapak-bapak. Akhirul kalam, anggapan bahwa perempuan makhluk lemah perlu kita singkirkan jauh-jauh. Kontra opini yang disajikan dalam tulisan ini telah cukup meruntuhkan argumentasi yang sudah usang dan kaku itu. Dan para perempuan Muslimat NU, haruslah pula memiliki keteguhan, kelincahan dan kecerdasan bak wanita progresif yang dimaksudkan oleh Soekarno. Janganlah berkecil hati, karena senyatanya; bagaimana seorang perempuan itu tegantung daripada mentalnya. Wallahu a’lam bishawab (*) *) Penulis adalah Dosen IAIN Syeikh Nurjati dan Ketua Muslimat PCNU Kota Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: