R(H)umor Provinsi Pasundan

R(H)umor Provinsi Pasundan

Oleh: Supali Kasim* RUMOR tentang penggantian nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan terus menggelinding sejak enam tahun lalu. Mula-mula terdengar sayup, lama-lama santer di telinga. Deklarasi Provinsi Pasundan dilakukan di Wisma Karya, Subang, pada 29 Oktober 2009 lalu. Beberapa diskusi pemantapan dilakukan para penggagasnya, termasuk di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung tanggal 8 Maret 2013. Setelah itu, menemui beberapa pejabat publik, di antaranya DPRD Jabar dan juga Menteri PAN RB Yuddy Chrisnandi, pada 4 Agustus 2015 lalu. Rumor itu akhirnya tentu bukan lagi sekadar rumor. Sesuatu yang sangat serius mulai menggelinding. Apalagi latar belakang para penggagasnya sangat mumpuni: beberapa profesor, sekian doktor, budayawan fundamental, seniman terkenal, bahkan ada pula barisan perguruan silat. Wah, ini benar-benar serius. Siapa sangka pula jika rumor serius itu tiba-tiba menjadi humor serius. Dalam diskusi terbatas “Provinsi Pasundan dalam Perspektif Budaya” oleh para seniman, budayawan, dan pemuda di wilayah kultural Cirebon, Rabu (19/8), sesuatu yang serius itu menjadi cair dan penuh humor. Ada ingatan terhadap pendapat Arwah Setiawan (alm), Ketua Lembaga Humor Indonesia, bahwa humor itu di atas serius. Mungkin Arwah Setiawan benar. Ada ingatan saya terhadap si Kabayan, Lamsijan, atau juga Abu Nawas dan Nasrudin, yang menemukan solusi kehidupan dengan cara-cara humor yang cerdas. Bukan bahasa yang verbal. Demikianlah, jika para sufi pun sangat lekat dengan kehidupan humornya. Selaku salah satu pemapar dalam diskusi tersebut, sebenarnya ini serius, saya mengutip pendapat Asep Saeful Muhtadi, Juru Bicara Tim Pengkaji Perubahan Nama Provinsi Jawa Barat, bahwa nama Provinsi Pasundan bukan harga mati. Jika ada yang lebih cocok dan relevan untuk mencerminkan jati diri Sunda itu. Begitu pendapat tersebut. Rekan saya, filolog Raffan S Hasyim atau Opan, menyodorkan nama yakni Provinsi Caruban. Bagi saya, Opan telah mencapai humor yang sesungguhnya. Mungkinkah ini gaya humor Kabayan, atau lebih tepatnya Lamsijan. Benar, Caruban sangatlah tepat. Artinya campuran, yang menggambarkan betapa di Jawa Barat terdiri dari beberapa entitas budaya, terutama tiga entitas besar, Sunda, Cirebon, dan Melayu Betawi. Di balik itu --yang ini jangan diberitahukan kepada Asep Saeful Muhtadi—bahwa Caruban juga merupakan etimologi dari Cirebon. Jika akhirnya disetujui menjadi Provinsi Caruban, humor Opan sudah sekelas Abu Nawas ataupun Nasrudin. Ini juga, mungkin, menjadi humor pahit. Jika ditelisik argumentasi filosofis, historis, geografis, bahkan psikologis, yang menjadi dasar pendeklarasikan Provinsi Pasundan, secara sepintas mengandung humor juga. Argumentasi itu di antaranya bahwa nama Jawa Barat, menurut mereka, adalah ciptaan penjajah Belanda tahun 1925 yang tidak senafas dengan nama entitas dan kebudayaannya. Alternatif utama menjadi Provinsi Pasundan merupakan representasi Tatar Sunda, yang sejak tahun 1825 sudah diakui Belanda. Logika ini menyeret pada humor lagi. Lebih tepatnya, “Ohhhh, Belanda juga toh yang mengakuinya.” Wah, tentu saja ini pasti humor tingkat rendah. Argumentasi yang paling muncul di facebook menyatakan, bahwa Jawa Barat itu sejatinya sudah tidak tepat lagi. Ketika Banten menjadi provinsi, maka nama Jawa Barat sudah tidak relevan lagi. Bukankah provinsi paling barat di Pulau Jawa adalah Banten, bukan Jawa Barat? Benar juga pendapat itu, dan benar pula yang terjadi di belahan pulau yang lain. Lho, bukankah di pulau Sumatera, yang paling utara adalah Provinsi Nanggroe Atjeh Darussalam, dan bukan Sumatera Utara? Akan tetapi hingga kini belum terdengar keluhan tokoh-tokoh di Sumatera Utara yang merasa gerah menyandang nama Sumatera Utara. Demikian pula tokoh-tokoh di Provinsi Sumatera Selatan yang enjoy aja, meskipun secara geografis justru di pulau Sumatera yang paling selatan adalah Provinsi Lampung. Bahkan baru-baru ini, diulangi lagi: baru-baru ini, ada provinsi baru bernama Kalimantan Utara. Padahal, justru di pulau Kalimantan tersebut yang paling utara adalah Malaysia dan Brunei Darussalam. Adakah orang-orang di Sumut, Sumsel, dan Kaltara tidak memiliki humor lagi, ataukah taraf humor mereka sudah sangat tinggi? Humor lain yang mengiringi argumentasi penggantian nama provinsi, diungkapkan Dyna Ahmad, salah satu penggagas. Menurut dia, istilah di Sunda itu, kalau anak sakit-sakitan karena terlalu berat namanya. Kalau ganti nama, bisa sehat. Ahai, dia pasti sedang serius. Jauh dari rasa humor. Bagaimana mungkin menghumorkan hal-hal yang ada kaitannya dengan sakit. Keseriusan ini bisa ditarik dengan kesimpulan, bahwa Jawa Barat ini di mata mereka sedang mengalami sakit. Solusinya ganti nama, dan semua beres. Begitu mudah kan? Jika suatu waktu nanti provinsi dengan nama yang baru itu, kemudian sakit-sakitan lagi, maka solusi yang paling tepat adalah ganti nama lagi. Bisa juga diusulkan dalam RAPBD Provinsi supaya dianggarkan biaya pergantian nama provinsi tiap tahun. Ini untuk mengantisipasi jika provinsi itu dianggap sakit-sakitan lagi, dan nama baru harus mengganti nama lama lagi. Konteks ini menjadi serius, karena dinas-dinas provinsi harus mengeluarkan anggaran secara legal. Penggantian stempel tiap tahun, name board tiap tahun, dan lambang provinsi tiap tahun. Pasti pula didukung para pegawai provinsi, karena adanya anggaran seragam pakaian yang baru setiap tahun. Demikian pula para pengusaha stempel dan pembuat name board. Ini berkah, kata mereka. Akhirnya, antara berkah dan humor tidak dapat dipisahkan lagi. Oh, ya satu hal lagi yang mencuat adalah terkait dengan masa lalu. Banyak orang yang terkenang dengan masa kejayaan Kerajaan Sunda atau Pajajaran (abad ke-8 hingga abad ke-16). Kenangan itu kemudian menjadi fragmentasi bahwa esensi Jawa Barat adalah Kerajaan Sunda. Nama itulah yang senantiasa dianggap identitas asli orang Jawa Barat. Bukan Jawa (Barat). Nah, kalau yang ini sungguh serius. Sejarawan Universitas Pajajaran, Prof Dr A Sobana Hardjasaputra menilai fenomena ini sebagai munculnya politik identitas. Memang, ada pula lintasan-lintasan lain yang menjadi momen penting. Selain Kerajaan Sunda, sebelumnya terdapat Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 hingga abad ke-8). Bahkan menurut Naskah Wangsakerta, didahului Kerajaan Salakanagara. Jangan lupa pula, ada Kerajaan Galuh (abad ke-8 hingga abad ke-15) dan Kerajaan Sumedang Larang (1580-1620). Di masa Islam, muncul Kesultanan Cirebon (1479-1809) dan Kesultanan Banten (1552-1832). Dengan berdirinya kedua kesultanan itu, Jawa Barat menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Pada abad ke-17, sebagian wilayah Jawa Barat, khususnya daerah Priangan berada di bawah pengaruh kekuasaan Mataram (1620-1677). Jadi, sepotong momen mana yang mau diambil sebagai identitas nama provinsi baru? Ini tentu saja bukan “Mati ketawa cara Wong Cerbon”, yakni ada saran sebaiknya secara total. Maukah mengambil sepotong momen itu bernama Kerajaan Sunda, yang diidentikkan dengan nama Pasundan –tentu saja dengan identitas keagamaan yang lama-- sebelum Islam yang dikembangkan Kesultanan Cirebon, Banten, ataupun Mataram. (*)   *)Penulis adalah pemerhati budaya, salah satu pembicara dalam diskusi terbatas “Provinsi Pasundan, Perspektif Budaya”.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: