Tinjauan Kritis Akta Kematian

Tinjauan Kritis Akta Kematian

INDONESIA sudah merdeka selama 70 tahun, tapi masih berstatus Negara berkembang. Padahal usia yang cukup tua kalau ditarik perbandingan kepada usia rata-rata manusia saat ini. Di usia yang tidak muda lagi seharusnya bangsa ini “tidak perlu repot” lagi dengan administrasi kependudukan jika sejak awal bangsa ini merdeka, pemimpin bangsa telah menata sedemikian mungkin administrasi warganya. Namun sampai saat ini masih ada penduduk yang memiliki identitas ganda, atau belum memiliki kartu identitas begitu juga dengan identitas tentang kematian seseorang. Pemerintahan SBY melalui Mendagri berusaha mengurai benang kusut kependudukan dengan melahirkan Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU No 23 tahun 2006). Namun dalam pelaksanaan UU No 23 Tahun 2006 masih menimbulkan banyak masalah di dalam masyarakat terutama dalam pelaksanaan pendaftaran kelahiran yang terlambat/lewat waktu (pasal 32 ayat 2 UU No 23 tahun 2006) dirasakan sangat menyusahkan bagi masyarakat karena harus melalui penetapan pengadilan. Hal itu tentu menambah biaya bagi penduduk itu sendiri dalam melaporkan peristiwa penting yang dialaminya, sehingga timbullah sengketa konstitusi di MK yang menguji UU No 23 Tahun 2006 dengan Putusan No: 18/PUU-XI/2013 tertanggal 30 April 2013. Pasca lahirnya putusan MK, pemerintah bertindak cepat merevisi beberapa hal yang telah dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 maka lahirlah UU RI No 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah dan ditambah dengan UU No 24 tahun 2013 dengan pertimbangan yaitu: a. Bahwa dalam rangka mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional, Negara Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk dan/atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan RI; b. Bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan administrasi kependudukan sejalan dengan tuntutan pelayanan administrasi kependudukan yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Setiap UU akan memerlukan peraturan pelaksana baik itu PP atau Perda karena pelaksanaan undang-undang di daerah memerlukan pengaturan secara khusus yang disesuaikan dengan keadaan daerah tersebut. Pemda Kota Cirebon telah membuat aturan pelaksana dari UU No 23 Tahun 2006 dan UU No 24 tahun 2013 dengan menerbitkan Perda Kota Cirebon No 16 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan, ditetapkan di Cirebon 17 Desember 2012 kemudian direvisi sehubungan dengan revisi UU No 23 tahun 2006 dengan menetapkan Perda Kota Cirebon No 4 tahun 2015 tentang Perubahan atas Perda No 16 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan, ditetapkan di Cirebon 3 Juni 2015. Perda Kota Cirebon No 4 tahun 2015 sedikit banyaknya telah mengubah tata cara pelaksanaan administrasi kependudukan di antaranya bagi masyarakat yang terlambat mengurus akta kelahirannya lebih dari satu tahun tidak memerlukan penetapan dari pengadilan lagi. Akan tetapi penulis melihat ada satu hal lagi yang urgen karena sampai saat ini masih ada masyarakat yang datang ke Pengadilan Negeri Cirebon untuk mengajukan permohonan penetapan atas kematian anggota keluarganya yang terlambat dilaporkan. Putusan No 18/PUU-XI/2013 tertanggal 30 April 2013 lahir karena adanya permohonan uji materil oleh Mutholib warga RT/RW 005/008, Desa Sawunggaling, Kecamatan Wonokromo Surabaya, yang merupakan tukang parkir yang merasa kesusahan dari segi waktu dan materi untuk mengurus akta kelahiran anaknya yang terlambat atau lebih dari satu tahun, di mana Mutholib harus meminta surat pengantar kepada RT/RW, kemudian ke kelurahan, ke kantor pos besar, ke bank, dan membawa 2 (dua) orang saksi adalah bentuk birokrasi yang berlapis dan berbelit-belit. Hal ini tidak sejalan dengan kebijaksanaan nasional untuk melakukan reformasi birokrasi dan pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945, sebagaimana konsideran UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sebagaimana dalil Mutholib dalam permohonannya, telah menimbulkan kesulitan hambatan, keruwetan, beban biaya dan tambahan beban bagi Pengadilan Negeri dan telah membuat kesibukan tersendiri bagi Mendagri, sehingga dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terus menerus membuat Surat Edaran, dispensasi dan penangguhan pelaksanaan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang ini. Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang ini telah melakukan pelanggaran hak yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa jaminan hak anak untuk memperoleh status kewarganegaraan telah dibebani kewajiban sekaligus sebagai sanksi bahwa bila terlambat melaporkan 1 (satu) tahun, maka ada syarat berat yakni harus dengan penetapan pengadilan negeri. Lebih lanjut didalilkannya, akibat adanya kewajiban dan sanksi tersebut, maka pengurusan akta kelahiran telah menimbulkan biaya besar, apalagi bagi masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan, yaitu antara lain: biaya transportasi beberapa kali ke pengadilan, mengurus leges ke kantor pos, menghadirkan 2 saksi, mengurus surat kenal lahir ke kepala desa, dan lain-lain. Hal tersebut telah merugikan dan melanggar hak konstitusional warga negara khususnya para pemohon akta kelahiran. Hal yang sama tentunya akan dialami oleh warga Kota Cirebon yang terlambat melaporkan kematian anggota keluarganya kepada instansi yang terkait karena proses birokrasi yang harus dilalui berbelit-belit yaitu meminta surat pengantar kepada RT dan RW, Kelurahan, Kecamatan, Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Pengadilan Negeri, Kantor Pos, Bank, dan harus membawa dua orang saksi. Pemohon juga harus mengeluarkan biaya resmi pendaftaran permohonan di pengadilan (jika sekali panggil pemohon hadir di persidangan dikenakan biaya sejumlah ± Rp176.000) ditambah biaya lain yang cukup memberatkan pemohon. Tentu kita tahu bahwa tidak semua masyarakat Kota Cirebon mempunyai penghasilan yang mumpuni, bagaimana jika yang terlambat adalah warga Kota Cirebon yang minim penghasilannya (bukan maksud merendahkan) tentu akan merasakan hal yang sama dengan Mutholib. Atas dasar fakta itu penulis mengangkat tema ini sepanjang tentang pengaturan kematian yang terlambat. Bahwa yang dimaksud dengan peristiwa penting dalam UU Administrasi Kependudukan adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Artinya peristiwa kelahiran maupun kematian adalah sebuah peristiwa yang sama pentingnya sehingga perlu dokumen untuk pembuktian dua kejadian tersebut. Jika kelahiran dan kematian sama pentingnya maka tentunya harus mendapat perlakuan dan aturan yang sama juga. Lahirnya sebuah aturan hukum secara filosofis adalah menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan sebuah aturan yang di bentuk materinya sedapat mungkin mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, dan perlindungan terhadap warganya serta dapat dilaksanakan. Pasal 28D ayat (1) UUD: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dan Pasal 28D ayat (4): “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. Masyarakat menengah ke bawah akan merasa disusahkan oleh berlakunya Perda Kota Cirebon No 4 tahun 2015, karena hubungan sebab akibat birokrasi yang berbelit. Pasal 44 UU No 23 tahun 2006 diubah dengan Pasal 44 dalam UU No 24 tahun 2013, ayat (1) Setiap kematian wajib dilaporkan oleh ketua rukun tetangga atau nama lainnya di domisili penduduk kepada instansi pelaksana setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian. Ayat (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian. Ayat (3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan keterangan kematian dari pihak yang berwenang. Ayat (4) Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. Ayat (5) Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas identitasnya, instansi pelaksana melakukan pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari kepolisian. Dari ketentuan Pasal 44 UU No 24 tahun 2013 tersebut, tidak ada lagi kewajiban bagi penduduk untuk mendapatkan akta kematian yang terlambat dilaporkan harus melalui birokrasi penetapan pengadilan, begitu juga dengan UU No 23 tahun 2006, namun hal tersebut berbeda dengan Perda Kota Cirebon No 4 tahun 2015, pada Pasal 58 Ayat (1): Setiap kematian penduduk kota wajib dilaporkan oleh Ketua Rukun Tetangga/Ketua Rukun Warga/ahli warisnya atau yang diberi kuasa oleh ahli warisnya kepada SKPD paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian, dengan melampirkan surat keterangan kematian dan menerbitkan kutipan akta kematian. Ayat (3b): Pencatatan kematian penduduk kota yang pelaporannya lebih dari 1 (satu) tahun sejak tanggal kematian dan tidak bisa menunjukkan surat keterangan kematian yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang pada saat terjadinya kematian, dapat dilaksanakan oleh SKPD setelah mendapat penetapan Pengadilan Negeri. Di dalam penjelasan perda diterangkan cukup jelas. Ayat (3b) dari perda ini yang akan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat menengah kebawah, untuk itu penulis berpendapat agar Pemerintah Daerah Kota Cirebon meninjau ulang ayat tersebut agar apa yang menjadi konsideran Perda Kota Cirebon dalam poin menimbang “bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan administrasi kependudukan yang professional, berstandar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak diskriminatif untuk mencapai standar pelayanan minimal, terwujud” dan masyarakat merasakan Pemerintahan Daerah Kota Cirebon dengan sungguh-sungguh telah melaksanakan apa yang dicita-citakan oleh pembentukan Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 bertujuan, antara lain, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendapat tersebut didasarkan logika hukum dari putusan MK No 18/PUU-XI/2013 tertanggal 30 April 2013 yang menginginkan apa yang menjadi hak-hak warga Negara tidak kontraprestasi dengan panjangnya birokrasi yang harus dijalani warga Kota Cirebon dalam mendapatkan apa yang menjadi haknya karena sebagaimana dalam Pasal 44 ayat (1) UU No 24 tahun 2013 yang menyatakan laporan tentang kematian bukan kewajiban ahli warisnya lagi tetapi kewajiban ketua RT dan nama lainnya yang dilaporkan secara berjenjang sebagaimana diterangkan dalam penjelasan UU tersebut dan agar Perda Kota Cirebon tersebut tidak mengalami uji materi sebagaimana UU No 23 tahun 2006. Agar warga Kota Cirebon dapat tertib melaporkan setiap aktivitas kependudukan yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya sehingga tercipta ketertiban adiministrasi penduduk Kota Cirebon dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi perda tersebut ke setiap kelurahan dengan melibatkan pejabat pemerintahan dari tertinggi sampai terendah sehingga apa yang menjadi pertimbangan lahirnya sebuah aturan akan terwujud, jika sosialisasi sudah optimal maka efek jera bagi masyarakat yang masih melalaikan kewajiban dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dalam pasal 89 perda tersebut. Pendapatan kas daerah bisa bertambah dan masyarakat tidak disulitkan. (*) *) Penulis adalah hakim di Pengadilan Negeri Cirebon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: