Memaknai Haji dan Kurban
Oleh Hajam* PADA hari ini sebagian umat Islam dari seluruh dunia, sedang berkumpul di Tanah Suci Makkah guna menunaikan salah satu pilar Islam yang ke lima yaitu ibadah haji. Ibadah haji dan kurban merupakan ibadah yang diabadikan Allah SWT dan sebagai bentuk napak tilas dari sebuah potret perjalanan spiritual dari perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim as. Nabi Ibrahim as telah memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan dan peradaban manusia dan telah memberikan contoh ideal kepada kita, betapa makna dan arti hidup ini dengan segala perjuangan dan pengorbanannya terbesar untuk menata masyarakat dan Negara agar dinamis dan progresif terhadap perubahan. Perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim as patut kita jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Allah swt menyatakan dalam Q.S.al Mumtahanah ayat 4 : ”Sesungguhnya pada diri Nabi Ibrahim terkandung contoh dan pedoman ideal yang patut kalian ambil”. Pemaknaan dan pengamalan dari sebuah ritual khususnya ibadah haji dan ibadah kurban yang dirayakan secara rutin tiap tahun yang merupakan ibadah monumental dalam hidup dan kehidupan umat manusia hendaknya senantiasa digali agar memberi konstribusi besar dan signifikan pada fungsi pembangunan sosial dan spiritual serta pada peningkatan fungsi rahmatan lil alamain. Terkadang sebagian umat Islam dalam melaksanakan ibadah ini masih sebatas mengikuti pola fiqih an sich atau masih mengedepankan sisi-sisi formal, tanpa mengkaji lebih jauh makna kedalaman dari dua ibadah itu akibatnya setelah ibadah haji dan ibadah kurban dilaksanakan tidak berpengaruh positif bagi sikap dan prilaku keseharian. Nilai ideal seluruh ibadah dalam Islam mempunyai korelasi dan konstribusi langsung terhadap perubahan sikap dan prilaku umat, mengapa? Karena Islam menghendaki umatnya agar menjadi orang-orang yang bertakwa. Itulah sebabnya, mengapa Allah berpesan kepada yang akan berhaji agar berbekal taqwa (Q.S. Al-Baqoroh / 2 : 197 ). Untuk itu perlu telaah kembali makna kedalaman ibadah haji dan ibadah kurban serta menggali kembali rahasia kesuksesan Nabi Ibrahim as untuk diterapkan dalam berbagai konteks dan aspek kehidupan. Paling tidak ada dua pelajaran yang bisa kita petik dari ibadah haji dan kurban, dua pelajaran ini sekaligus menjadi faktor kesuksesan Nabi Ibrahin as. Pertama, pelajaran untuk bertauhid hanya kepada Allah, artinya memiliki tingkat spiritual yang kuat sebagaimana pada Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, keduanya reformis dalam hal penguatan spiritual, moral dan prilaku manusia dengan membuka ketajaman wawasan bertauhid agar manusia berkeyakinan kepada keesaan Allah SWT. Sikap tersebut sangat diperlukan di tengah arus perubahan yang penuh dengan hiruk pikuk dengan berbagai kemelut dalam segala sendi kehidupan, baik itu kemelut politik, ekonomi, krisis global, kemelut hukum, sperti terjadinya ketidakadilan dan kemelut moral seperti semaraknya dekadensi moral, kemelut geografis terjadinya pemanasan global. Kemelut tersebut mengakibatkan krisis spiritual bermula dari krisis iman dan dehumanisasi, hal ini pernah diakui oleh para ilmuan dunia seperti Prof Dr Bunyamin E Mays, Rektor Universitas Georgia AS ketika dalam suatu konferensi universitas terkenal di Amerika Serikat, dia mengatakan kepada seluruh rektor : ”Kita telah memiliki orang-orang terdidik dan cerdas yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah, kita juga memiliki lulusan-lulusan perguruan-perguruan tinggi yang lebih banyak dan ditempatkan di mana-mana, kita juga telah banyak menghasilkan teknologi yang canggih, namun kita gagal membangun nilai-nilai keimanan dan gagal membangun nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Sekarang yang kita butuhkan adalah sesuatu yang mendatangkan keimanan agar kita mendapatkan pencerahan dan kedamaian di bumi ini”. (Jalaludin Rahmat, 2001) Kedua, makna pelajaran yang dipetik dari semangat Idul Adha atau Idul Kurban adalah memiliki etos perjuangan dan sedianya untuk berkorban untuk kepentingan perubahan masyarakat (transformasi sosial). Momentum Idul Adha atau Kurban sebagai saat untuk membahagikan masyarakat dan dijadikan momentum untuk mengubah kondisi obyektif masyarakat dari kemelaratan menuju kebahagiaan. Idul Kurban hakikatnya untuk menggagas kesadaran kita (agniya, pejabat, politikus, pengusaha dll) tentang pentingnya mengubah penderitaan menuju kebahagiaan. Setiap bangsa atau umat akan maju dan mampu keluar dari krisis jika mengubah kondisi objektif masyarakat yang sarat kemelaratan dan penderitaan menuju masyarakat yang mempunyai harapan untuk bertahan hidup dan bangkit dari keterpurukan. Harus diakui untuk menciptakan itu semua, bukan hal mudah upaya yang bertujuan untuk mengubah wajah kemiskinan tidak semudah membalikkan tangan, dibuatkan spirit kuat dan strategis sehingga aneka upaya perubahan dapat mencapai sasaran dan target. Oleh karena itu pendekatan digunakan dengan perspektif partisipasi action, bukan hanya dengan perspektif statistik yang terkadang bersifat manipulatif. Para pemimpin di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan lain-lain sejatinya bercermin kepada Nabi Ibrahim as harus mau membuka mata dan nurani untuk melihat penderitaan rakyat, sembari melakukan hal-hal yang berarti bagi perubahan. Mau berkoban waktu tenaga, pikiran, ilmu, materi dan lain-lain untuk menegakan nilai-nilai moral dan spiritual sebagai tanggung jawab dan sekaligus sebagai visi misi agar masyarakat dan negara mengalami kemajuan yang berarti dalam segala sektor kehidupan. (*) *) Penulis adalah pengajar Fakultas UAD IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: