Memaknai Ulang Resolusi Jihad

Memaknai Ulang Resolusi Jihad

TEPAT pada tanggal 22 Oktober 1945, Hadratusy Syaikh Mbah Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa tentang jihad, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Fatwa ini pula yang sesungguhnya menjadi amunisi spiritual dan ruhul jihad Bung Tomo dan arek-arek Surobojo dalam melawan penjajah pada 10 November 1945, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Fatwa ini sebetulnya berisi empat hal. Pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. Kedua, Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong. Ketiga, musuh Republik Indonesia, yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu Inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia. Keempat, umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali. Kelima, kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilo meter. Sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang berjuang. Pengakuan Menjadi Hari Santri Meski sudah 70 tahun, gema fatwa jihad ini masih terdengar nyaring. Tidak saja oleh warga Nahdliyyin, tetapi juga oleh warga bangsa, bahkan warga dunia, khususnya negara yang terlibat dalam perang kemerdekaan 1945. Syukurlah, bangsa ini masih belum pikun. Ingatan sejarahnya masih bugar. Oleh karenanya, tanggal 22 Oktober telah ditetapkan Presiden Jokowi sebagai Hari Santri melalui Keppres No. 22 Tahun 2015. Penetapan ini tidak saja sebagai pengakuan legal formal monumental atas eksistensi dan perjuangan para santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, melainkan juga diharapkan mampu mengubah penulisan sejarah (historiografi) bangsa Indonesia yang selama ini mengabaikan peran para santri, kyai, dan ulama Pesantren dalam melawan penjajah, memerdekakan Indonesia, dan turut serta merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Senyap dari Historiografi Nama “santri” dan “kyai Pesantren” jarang—untuk tidak mengatakan tidak pernah--disebut-sebut dalam penulisan sejarah nasional versi Pemerintah sebagai pejuang dan pihak yang gigih memerdekakan dan mengawal Indonesia. Dalam ornamen diorama pada Tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta pun tidak ditemukan visualisasi peran NU, kyai, dan santri dalam rentetan sejarah bangsa. Padahal catatan-catatan sejarah masyarakat akademis, peneliti, dan sejarah lisan (oral history) menunjukkan fakta perjuangan dan kegigihan kalangan pesantren dan NU dalam membebaskan Indonesia dari kungkungan para penjajah itu. Di antaranya adalah fatwa resolusi jihad Hadratusy Syaikh Mbah Hasyim Asy’ari ini. Kata “jihad” dalam resolusi ini sungguh menggetarkan hati dan menggerakkan jiwa bagi setiap orang yang membaca dan mendengarnya saat itu. “Jihad” di sini tidak saja sebagai panggilan agama, tetapi juga seruan berjuang yang tepat untuk merebut hak-hak milik kita yang dijajah kembali oleh Belanda, Inggris, dan sekutu. Penggunaan istilahnya tepat, sasarannya benar, sehingga hasil yang diperoleh pun gemilang: jihad diartikan sebagai al-qital fi sabilillah (berperang di jalan Allah). Bagaimana dengan kondisi kita di Indonesia hari ini, masih relevankah jihad diartikan sebagai al-qital fi sabilillah? Jawabannya tentu tidak relevan. Kondisi dan situasi telah berubah. Jihad harus dikembalikan kepada makna generiknya, yakni badzl al-juhd (mencurahkan usaha, kemampuan, dan tenaga). Dalam konteks hari ini, kita perlu memaknai jihad sebagai jihad sipil (al-jihad al-madani). Ibn al-Qayyim dalam Zad al-Ma’ad telah membagi jihad ke dalam 13 tingkatan. Di antaranya ada jihad hawa nafsu, jihad dakwah dan penjelasan, jihad ilmu, dan jihad sabar. Fi sabilillah juga perlu diartikan ulang sebagai jalan keadilan (al-‘adalah), jalan kemaslahatan (al-maslahah), jalan kasih sayang (ar-rahmah), jalan kebijaksanaan (al-hikmah), jalan kebaikan (al-ihsan), dan jalan persaudaraan (al-ukhuwwah). Inilah jalan lapang menuju Allah. Hanya dengan dengan jalan inilah Allah dapat kita jumpai. Dalam konteks ini, kita tampaknya perlu membuat fatwa resolusi jihad jilid dua, yakni setiap orang wajib ‘ain untuk melakukan jihad melawan korupsi, jihad melawan ketidakadilan, jihad melawan eksploitasi alam, jihad melawan kekerasan, jihad melawan diskriminasi, bukan jihad berperang (al-qital). Karena hal-hal inilah yang merintangi jalan kita menuju Allah. Benarlah firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (QS. Al-Hujurat [49]: 15). Setiap orang dituntut untuk berjihad di jalan Allah dengan jihad yang sejati, yang sebenar-benar jihad (haqqa jihadihi), bukan asal jihad. Setiap orang wajib menjadi mujahid (orang yang berjihad), tetapi tidak perlu menjadi muqatil (orang yang melakukan qital/perang). Wallahu A’lam. *Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Wakil Rais Syuriyah PCNU Kab. Cirebon, dan Pendiri Fahmina-institute Alamat email: [email protected]

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: