Krisis Relasi Guru dengan Murid

Krisis Relasi Guru dengan Murid

Oleh: Wahyudi* PERISTIWA berdarah yang dilakukan murid SMK kepada gurunya baru-baru ini, kembali terjadi di Tangerang Banten. Sungguh kenyataan pendidikan yang mengundang banyak tanya, sebuah peristiwa memilukan, memalukan dan memprihatinkan. Dalam berbagai surat kabar disebutkan; dua guru perempuan, yakni Trihartati dan Muryana menjadi korban bacok oleh muridnya sendiri ketika keduanya sedang tidur di kamar rumahnya, hingga keduanya kritis di rumah sakit. Pelaku berinisial FA adalah seorang murid yang duduk di kelas I SMK ini nekat mencoba membunuh kedua gurunya lantaran dendam. Sebab FA kesal terhadap kedua guru tersebut yang berulang kali memarahinya di depan teman-temannya karena sering telat masuk sekolah dan dinilai malas belajar. Saking kesal dan nekat bercampur dendam, FA masuk ke rumah kedua guru tersebut melalui pintu atas secara diam-diam. Dengan berbekal golok dapur FA mendobrak pintu kamar tidur Triharti dan Muryana, keduanya ada dalam kamar, tanpa basa-basi FA dengan membawa golok langsung melampiaskan kekesalannya kepada gurunya. Alur kejadiannya kira-kira begitu. Kejadian ini sungguh contoh nyata sebuah potret krisis relasi guru dengan muridnya dalam dunia pendidikan. Dalam keterangan media disebutkan bahwa FA sebenarnya dikenal sebagai siswa yang baik oleh teman-temannya. Dia tidak bandel atau nakal. Seperti siswa lainnya, FA juga bersikap normal. Tidak ada sikap aneh selama di sekolah. Wali kelasnya juga mengenal FA sebagai siswa yang baik-baik saja. Tetapi FA belakangan menjadi pendiam ketika belum lama ayahnya meninggal. *** Isu seputar pendidikan amatlah penting dikumandangkan dalam jagat perjuangan aspirasi politik. Kita patut mengkritisi kejadian ini. Tak perlu kita tutup-tutupi. Sekarang ini telah terjadi krisis relasi antara guru dengan muridnya, atau sebaliknya; murid dengan guru. Relasi antar guru dengan murid adalah lapisan proses pendidikan yang bersifat vital, kritis dan mendasar. Saking vitalnya lapisan ini diperlukan perhatian yang besar. Kualitas relasi guru dengan muridnya menjadi penentu keberhasilan proses dan output pendidikan, baik secara mikro maupun makro. Di sisi lain, tidak sedikit guru yang miskin kecakapan soal teknis dan metodologis dalam membina relasi dengan muridnya. Belakangan praktik hubungan antara guru dan siswa terasa semakin kontraktual. Guru hanya menyampaikan materi ajaran karena tuntutan target pekerjaan, sedangkan investasi emosionalnya menipis. Proses relasi pun tidak berbasis nilai humanitas dan emosionalitas. Tetapi berbasis mekanisme (target) birokrasi yang amat kaku dan kering. Kondisi semacam ini bisa kita bayangkan, tanpa kita sadari menjadi sistem yang menciptakan stagnasi, dan kematian nilai humanitas serta emosionalitas antara guru dan siswanya dalam proses kegiatan belajar mengajar. Relasi yang hanya kontraktual tersebut membuat guru gamang dan kehilangan nilai humanismenya. Akibatnya, guru bisa “kejam” menghukum siswa jika melakukan kesalahan tanpa memperhitungkan tujuan dan manfaatnya. Hukuman fisik atau bersikap garang terhadap siswa pun sering kali menjadi solusi ketika berhadapan dengan siswa yang dianggap bermasalah. Di sinilah titik berangkat beberapa kasus ekstrim yang berujung menjadi pristiwa kekerasan. Termasuk kasus FA dan kedua gurunya ini. *** Dalam sistem ini tidak ada lagi guru yang bersimpati dengan siswanya. Pertemuan kelas hanyalah sebatas seremonial monoton dan tak bernilai apa-apa bagi siswanya, melainkan hanya mengejar tuntutan target nilai dan kurikulum. Proses pendidikan yang kering, tanpa hikmah, falsafah dan nilai sejati dari makna pendidikan yang sesungguhnya. Jika kondisi demikian dibiarkan, kemungkinan pendidikan semacam ini tidak akan mampu membimbing manusia menjadi manusia yang mengerti makna hakikat hidup dan kehidupannya. Yang ada hanya menghasilkan manusia-manusia kerdil dan kering. Dalam konteks ini, keberadaan guru sebagai orang yang memegang peran besar di sekolah harus tetap dipandang sebagai profesi yang luar biasa pentingnya, sehingga guru haruslah sosok manusia yang memiliki moral teladan, integritas karakter, intelektualitas, kebijaksanaan dan memenuhi syarat kemampuan pedagogik. Mengingat bahwa kasus kekerasan di sekolah adalah persoalan lini relasi antar guru dengan siswa. Hal ini berkait erat dengan kualitas kecakapan teknis dan metodologis yang dimiliki seorang guru dalam menyampaikan transformasi pengetahuannya. Perhatian terhadap guru harus tetap mendapat porsi perjuangan politik yang besar, kita harus kritis melihat kurikulum pendidikan guru, pengkualifikasian guru dan proses lainnya. Tidak bijak rasanya jika kurikulum siswa saja yang harus disoroti, tetapi mengabaikan kurikulum pendidikan guru. Ingat bahwa guru adalah manusia biasa yang memerlukan proses pendidikan juga secara terus-menerus. Guru boleh saja tegas, tetapi tegas bukan berarti galak, bengis dan garang terhadap siswa. Apalagi tegas dengan cara penghukuman fisik. Kita sebagai guru harus tampil lebih bijaksana, humanis dan dewasa dalam menghadapi karakter siswa. Tidak harus galak, tetapi bagaimana mengarahkan siswa dengan cara berargumen secara sehat dan mampu membawa siswa memahami situasi yang ia hadapi. Jika sikap galak dan hukuman fisik kita budayakan, maka justru akan membuat anak-anak keliru berpikir bahwa sikap bengis, garang dan galak menjadi solusi menghadapi masalah. (*)   *) Penulis adalah Pengurus Yayasan Wakaf Manba’ul ‘Ulum, Pendiri dan Mantan Direktur I PT. WF Indo, Pemerhati Kesejahteraan Sosial, Ekonomi dan Pendidikan. Twitter @sahabatWahyudi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: