Dagelan ala Senayan

Dagelan ala Senayan

Oleh: Dudi Farid Wazdi*  Ya, memang dagelan! Memakai masker saat sidang di gedung yang bersih dan nyaman, seolah simpati pada yang mabuk asap di Sumatera dan Kalimantan.Sementara hasilnya, justru menyandera RAPBN 2016 dan Pansus asap itu sendiri? BAHKAN sebelumnya, politisi di Senayan ini melakukan upaya “dagelan yang berbahaya”, yakni penggalangan dukungan untuk merevisi Undang-Undang Nomor (UU) 30 Tahun 2002 tentang KPK. Mereka ngotot dan ambisius kendati publik jelas-jelas menentangnya. Langkah yang tidak populis tersebut, bak memaksakan kehendak dengan target mengebiri lembaga anti rasuah. Setidaknya terdapat tujuh pasal yang membuat publik berpikir bahwa KPK bakal dikebiri. Di antaranya, KPK fokus di pencegahan korupsi (pasal 4), KPK hanya akan berumur 12 tahun (pasal 5), KPK tidak menangani korupsi yang angka kerugiannya di bawah Rp50 miliar (pasal 13 huruf c), penyadapan harus seizin Ketua Pengadilan Negeri (pasal 14 ayat 1 huruf a), KPK bisa mengeluarkan SP3 (pasal 42), Pembentukan Dewan Kehormatan KPK (pasal 39 ayat 3) dan KPK tak lagi memiliki kewenangan penuntutan (pasal 53 ayat 1). Dari tujuh pasal tersebut, ada dua pasal yang menggelikan. Persoalannya, implementasinya bakal menimbulkan kerancuan yang celakanya pasti sudah diperhitungkan para wakil rakyat. Dua pasal itu adalah pasal 13 huruf c yang mengatakan KPK tidak menangani korupsi yang angka kerugiannya di bawah Rp50 miliar dan pasal 14 ayat 1 huruf a yang menyebut penyadapan harus seizin Ketua Pengadilan Negeri. Untuk kewenangan KPK yang dibatasi hanya melakukan penanganan kasus korupsi dengan kerugian di atas Rp50 miliar, nampaknya hal ini sengaja diselipkan agar para wakil rakyat tak tersentuh oleh tangan–tangan penyidik KPK. Sebab, proyek yang biasa dimainkan oleh mereka angkanya hanya di kisaran puluhan miliar. Dengan begitu, secara otomatis permainan oknum-oknum politisi tidak mampu diendus KPK. Bukan rahasia lagi, mainan proyek yang dijalankan oknum-oknum wakil rakyat, biasanya direalisasikan di daerah. Dengan terselipnya pasal 13 huruf c tersebut, berarti rencana korupsi berjamaah di daerah bakal berjalan mulus karena KPK tak mampu lagi menjamahnya. Penyadapan yang Manjur Berkenaan dengan wewenang penyadapan yang diatur di pasal 14 ayat 1 huruf a, semakin memperjelas bahwa para politisi memiliki tingkat ketakutan yang tinggi atas upaya penyadapan yang kerap dilakukan KPK. Sebab, berulang kali keberhasilan KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) selalu diawali dengan penyadapan. Misalnya, salah satunya menyasar anggota DPR RI dari Partai Nasdem, Dewi Yasin Limpo dan dari Fraksi PDI Perjuangan bernama Adriansyah. Celakanya lagi, anggota Komisi IV itu diciduk saat mengikuti Kongres PDI Perjuangan di Sanur, Bali. Penangkapan Adriyansyah, jelas sangat mempermalukan nama besar partai yang tengah menggelar hajatan penting tersebut. Berangkat dari hal tersebut, kiranya sangat wajar bila sekarang PDI Perjuangan menjadi pihak yang paling ngotot untuk melakukan revisi UU KPK. ‘Gumam’nya, kalau tak diantisipasi mulai saat ini, lantas bagaimana kalau kader-kader yang lain ikut dijadikan sasaran KPK ? Contoh kemanjuran lainnya, misalnya: Al Amin Nasution yang terbelit kasus suap oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan Azirwan, kasus pengadaan kapal patrol di Kementerian Perhubungan yang menyeret Bulyan Royan, politisi Demokrat Angelina Sondakh, Nazaruddin, hingga Abdul Hadi Djamal yang tersandung perkara suap pembahasan dana stimulus di Indonesia Timur. Belum lagi tersangka lain di luar politisi, banyak sekali terjerat oleh penyadapan. Misalnya, kasus yang menimpa lawyer gaek OC Kaligis yang telah malang melintang di dunia peradilan. Nah, bila wewenang penyadapan diamputasi, maka pergerakan KPK bakal lumpuh. Yang jadi pertanyaan, bagaimana mekanisme pengajuan izin penyadapan ke Ketua Pengadilan Negeri? Lantas siapa yang menjamin Pengadilan Negeri bersih dan tidak akan membocorkan penyadapan? Dalam pengajuan, sepertinya mekanismenya bakal sama dengan prosedur yang diajukan aparat penegak hukum lainnya. Yakni, setelah ada indikasi terjadinya kejahatan, maka izin diajukan. Hanya, yang saya anggap hal ini merupakan dagelan, bagaimana bila yang bakal disadap adalah Ketua Pengadilan Negeri itu sendiri? Ya, mereka memang doyan-nya membuat dagelan seperti halnya yang dipertontonkan saat sidang penetapan RAPBN dan Pansus asap kemarin. Tak ada asap tak ada debu memakai masker. Ampun dech! (*) *) Penulis adalah alumnus FISIP UI, Penais Kemenag Kab. Indramayu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: