Kesepakatan Tutupi Kelemahan

Kesepakatan Tutupi Kelemahan

Dewan dan Pemkot Tidak Mampu Cari Solusi Payung Hukum Retribusi KEJAKSAN - Usulan dewan membuat kesepakatan pengganti perda dikritisi praktisi dan pengamat hukum. Agus Prayoga SH misalnya, kepada Radar, mengaku pembuatan kesepakatan adalah bentuk ketidakprofesionalan anggota dewan dan pemerintah kota. Untuk menangani masalah terkait retribusi. Dia mengatakan, pemerintah memang memiliki hak untuk melakukan penyimpangan yang dibenarkan. Seperti membuat keputusan wali kota atau perwali, meski yang diamanatkannya perda. Namun, yang harus diingat, hal tersebut baru bisa dilakukan hanya dalam kondisi darurat. “Yang menjadi masalah, apakah ini sudah darurat atau belum? Lalu harus dicari tahu juga kalau mau melakukan hal ini, siapa yang menyebabkan. Sehingga akhirnya melakukan penyimpangan,” jelasnya, Jumat (10/2). Bisa jadi, kata dia, rencana pembuatan keputusan wali kota itu hanya salah satu bentuk menutup ketidakmampuan dewan (DPRD) dan eksekutif mencari solusi. “Satu lagi, apakah membuat keputusan wali kota itu hanya satu-satunya jalan keluar? Saya kira masih banyak solusi lain yang bisa ditempuh,” tukasnya. Langkah yang bisa dipertimbangkan, kata dia, adalah melibatkan akademisi yang ada. Selain itu, bila memang sudah sulit ditangani, tidak ada salahnya bila pemerintah mendiskusikannya dengan mendagri. “Kalau begini terus, nanti yang ada excuse terus dan diulang-ulang lagi,” katanya. Agus juga merasa heran, kenapa bisa terjadi kekosongan hukum untuk retribusi di kota Cirebon. Karena, di daerah lain, masalah ini tidak ada. “Ada apa, kok harus sampai menempuh kesepatakan? Dan kenapa harus terlambat. Harusnya, baik DPRD ataupun pemkot, proaktif dalam masalah ini. Karena menangani perda adalah rutinitas eksekutif dan dewan,” tandasnya. Jangan sampai, lanjut dia, masalah seperti ini menjadi pertunjukan bagi masyarakat. Bahwa kedua belah pihak tidak profesional dalam menangani masalah payung hukum. Apalagi, saat ini publik lebih kritis dalam menanggapi sesuatu. “Ini peringatan. Kalau tidak segera diatasi, lama-lama publik bisa marah,” kecamnya. Sementara, pengamat hukum Unswagati, Harmono SH MH mengatakan, kesepakatan dan keputusan wali kota bisa saja dilakukan. “Sebenarnya tentang retribusi sudah diatur oleh undang-undang. Maka keputusan yang dibuat nanti lebih mengikat ke dalam dan mungkin bisa diwujudkan dalam bentuk perwali,” jelasnya. Namun, kata dia, agar lebih aman, baik eksekutif atau dewan harus berkonsultasi dengan pihak mendagri. “Harus dikonsultasikan ke mendagri dulu agar lebih aman. Jangan sampai polemik retribusi ini berkepanjangan,” tukasnya. (kmg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: