Papa-Mama Main Proyek?

Papa-Mama Main Proyek?

Oleh: Syamsudin Kadir* SETELAH sebelumnya disuguhi aksi “saling kunci” antar Eksekutif (Walikota) dan Legislatif (DPRD) Kota Cirebon soal pembatalan pengesahan APBD 2016 Kota Cirebon dan beberapa Perda (yang akhirnya disahkan), kini kita mendapat suguhan baru: isu beberapa oknum anggota DPRD Kota Cirebon yang terlibat bermain proyek. Menggantung Pekerjaan Masih tersimpan jelas dalam ingatan kita bahwa hingga kini DPRD Kota Cirebon—dalam hal ini Panitia Pemilihan (Panlih)—masih menggantung satu pekerjaan penting dan mendesak yaitu pemilihan Wakil Walikota Cirebon. Naifnya, para elite politik terus menerus membela diri sesuai dengan nalar dan kepentingannya masing-masing melalui berbagai media massa. Satu sisi, kekuatan partai pengusung terbelah dalam dua kubu yaitu kubu Partai Demokrat dan Kubu Golkar-PPP. Kedua kubu yang pada Pilwalkot lalu sama-sama mengusung pasangan Ano-Azis itu “keukeuh” dengan sikap dan pilihan politiknya masing-masing. Baik dalam menginterpretasikan peraturan perundang-undangan maupun dalam menentukan nama calon Wakil Walikota yang diusulkan ke Panlih. Di sisi yang lain, Panlih pun “keukeuh” dengan posisi dan dalihnya. Padahal kita pun sepertinya sudah lelah dan kecewa. Bagaimana tidak, kita  selalu disuguhi bahkan dipaksa untuk mengikuti satu sirkus yang sejatinya meresahkan dan tidak memiliki efek positif bagi kemajuan dan pembangunan Kota Cirebon. Padahal agendanya sederhana: penentuan Wakil Walikota baru. Jalan keluarnya juga mestinya sederhana, karena tak membutuhkan nalar politik yang rumit. Sebab peraturan perundang-undangannya sangat terbuka dan jelas dalam menggariskan bagaimana proses pemilihan dilakukan. Kabupaten/Kota lain yang mengalami hal serupa pun mampu menuntaskan pekerjaannya tanpa pola ribut dan nalar ribet sana sini. Kalau sesuatu yang mudah, lalu mengapa mempersulit diri? Adegan “balas dendam” atau “balas jasa” mestinya tidak merintangi hak publik dalam soal kepentingan juga pelayanannya. Bermain Proyek? Tak cukup soal pemilihan Wakil Walikota yang terkatung-katung, kini kita pun mendapat suguhan isu hangat sebagaimana yang dilansir berbagai media massa: Ketua DPRD dan beberapa oknum anggota Kota Cirebon terlibat kasus lima peroyek yang dibiayai APBD Perubahan Jawa Barat tahun 2015. Dalam konteks itu saya perlu mendedahkan beberapa hal. Pertama, bermain proyek dengan anggaran begitu besar, dalam skala juga levelnya selalu melibatkan berbagai kepentingan tertentu, baik yang bersifat kelembagaan, kelompok maupun individu. Para pemain tentu tak segan-segan menggunakan jabatan dan pengaruhnya untuk mengintervensi agar hasrat kepentingannya tersalurkan. Kasus Indosat, BLBI, Bank Century, Hambalang, Lapindo, Bansos Sumatra Utara dan yang kini masih hangat kasus Freeport menjadi contoh paling akurat. Pada konteks dan level kabupaten/kota, dalam banyak kasus pola semacam itu selalu menjadi pintu “gratis” para pemain, yang kelak (sebagiannya) dapat diungkap oleh penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) dan terungkap secara terang benderang dalam proses peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, Pengadilan Tipikor), sebagaimana dilansir oleh berbagai media massa. Kedua, permainan proyek dengan anggaran yang cukup besar (dari APBN, APBD) biasanya mengemuka ke publik di saat “para pemain” tidak menemukan “titik temu” yang seimbang dan menguntungkan. Jadi, keberanian untuk membuka kasus ke ruang publik bukan berarti merdeka atau tidak terkait dengan kasus yang disuguhkan. Dalam banyak kasus, mereka yang kerap bercuap nyaring dalam melempar tuduhan justru kerap terkait bahkan menjadi pemain utama. Contohnya kasus Hambalang yang melibatkan Nazarudin, Bendahara Umum Partai Demokrat ketika itu. Nyanyian Nazar ternyata membuka seluruh ta’bir korupsi yang melibatkan banyak pihak, termasuk dirinya sendiri. Jalan Keluar Karena proses penentuan Wakil Walikota dan isu permainan proyek sudah menjadi perbincangan publik, maka saya perlu menyuguhkan beberapa catatan kaki sebagai jalan keluar, pertama, DPRD perlu menyadari fungsi pokoknya yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Dengan demikian DPRD, baik secara kelembagaan maupun perseorangan tidak perlu mengurusi masalah teknis pembangunan yang sejatinya merupakan tugas/fungsi lembaga eksekutif, dalam hal ini Walikota dan jajarannya hingga tingkat RT/RW. Apalah lagi DPRD bermain proyek, tentu ini bukan saja masalah etika tapi juga merintangi tugas, fungsi dan wewenang kelembagaan, dan dalam skala tertentu bisa masuk dalam kategori pelanggaran terhadap hukum. Selebihnya, DPRD didesak untuk segera melalui seluruh proses pemilihan Wakil Walikota, sehingga publik-rakyat Kota Cirebon tak terabaikan haknya, terutama dalam mendapatkan pelayanan publik yang seharusnya lebih masif dan lebih maju. Jika tidak, maka saldo kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif (DPRD Kota)—sebagaimana yang terjadi atas Eksekutif (Walikota) beberapa waktu terakhir—akan terus menurun. Bukan kah kepercayaan publik adalah ruh pelayanan publik? Kedua, penegak hukum dari berbagai lembaga dan skala-levelnya perlu memberi perhatian serius terhadap isu permainan proyek di Kota Cirebon yang begitu hangat akhir-akhir ini. Kita-publik berhak mendapatkan kejelasan posisi dan duduk persoalan isu tersebut dari sisi penegakan hukum, terutama ketika para pihak yang diduga terkait sama-sama membela diri bahkan saling mengancam seperti yang dilansir oleh berbagai media massa beberapa waktu terakhir. Ketiga, seluruh elemen publik terutama kalangan media massa, perguruan tinggi, LSM, gerakan mahasiswa dan sebagainya perlu melakukan pengawasan yang masif dan sangat ketat terhadap penggunaan anggaran daerah (APBN, APBD), terutama yang terkait proyek pembangunan infrastruktur, pelayanan publik dan serupanya yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan juga tupoksi kelembagaan, terutama di Kota Cirebon. Syahdan, “menuduh” dan “tertuduh” belum tentu menjadi “tersangka” dan “salah” di mata hukum. Karena itu, penegak hukum tidak boleh “kena angin”, dan elemen publik tidak serta merta “menghukumi” tapi juga tak boleh lengah. Sungguh, membiarkan pejabat publik bermain proyek yang  bertentangan dengan “tupoksi-nya” sama saja dengan membunuh masa depan pembangunan dan kesejahteraan kita-publik. Selebihnya, marilah menghibur diri dengan nyanyian ini: Papa-mama main proyek? Hebat euy. [*   * Penulis merupakan Direktur Eksekutif Mitra Pemuda, Narasumber acara Selamat Pagi Cirebon di RCTV dan Penulis Essay juga Artikel untuk berbagai Surat Kabar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: