Proyek dan Korupsi Elit Politik

Proyek dan Korupsi Elit Politik

KEBIJAKAN pemerintah adalah suatu keputusan yang dibuat secara sistematik oleh pemerintah, untuk maksud dan tujuan khusus yang menyangkut kepentingan umum. Namun, memang, tak dapat dipungkiri, bila hal tersebut rentan atau berpotensi pula menjadi celah untuk pasukan “bala kurawa” mengeruk APBD, dengan cara bekerja sama dengan pihak pemerintah agar proyek pembangunan dimonopoli salah satu perusahaan. Dan, tentu saja, hakekatnya itu sangat bertentangan dengan Perpres 4/2015, yang mengatur tata cara lelang proyek. Bahkan, dapat dikatakan, dalam desain itu sebenarnya mengandung makna penting, yakni dimana salah satu aturan di dalamnya bertujuan untuk mengantisipasi berbagai bentuk setoran. PAPA MINTA PROYEK Hari-hari ini muncul istilah “Papa Minta Proyek”. Oknum anggota DPRD Kota Cirebon diduga mengondisikan proyek senilai Rp1 miliar yang bersumber dari APBD Perubahan 2015 Provinsi Jawa Barat. Proyek tersebut terdiri dari lima paket yang masing-masing bernilai Rp200 juta. Semuanya merupakan proyek pembangunan fisik berupa perbaikan saluran hingga pengaspalan jalan. Bila ini benar, sangat memprihatinkan. Inilah indikasi yang menegaskan ihwal masalah yang seolah-seolah tiada hentinya mendera. Kita sudah jamak mengetahui, fenomena elit politik minta proyek sesungguhnya memang sudah menjadi rahasia atau fenomena selama ini. Inilah sindrom yang menjangkiti pemerintah pusat dan daerah. Bahkan, selama ini juga telah muncul istilah “para pemburu rente” dan “elit politik makelar proyek”, yang mana pergerakan atau aksinya jauh lebih dahsyat. Tapi apapun namanya, yang pasti, kita sudah melihat dan merasakan dampak buruk dari perilaku mereka semua, yakni berimbas pada tidak adanya kejelasan terkait waktu, anggaran, dan dimensi pembangunan. Maka, pembangunan jadi dikerjakan secara asal-asalan. APBD dan penyerapannya tanpa memiliki kualitas serta rawan masuk kantong pribadi semata. Ini jelas tidak bisa didiamkan. Permainan yang terjadi diantara para aktor elit bukanlah karena memperjuangkan kepentingan publik. Akan tetapi, publik (masyarakat, LSM, media massa) dikondisikan sedemikan rupa untuk tidak terlibat, sehingga akses dalam mempengaruhi keputusan para elit aktor kebijakan pemerintahan di-setting agar tidak terjadi. Selama kondisi seperti inilah, korupsi di DPRD masih akan tetap tumbuh subur. Tegas bahwa permainan anggaran RAPBD dengan “fee transaksi” yang dilakukan oleh para aktor elit politik daerah menjadi pintu utama maraknya tindakan korupsi yang terjadi rumah para wakil rakyat daerah (Fajar Sidik, 2014) . SEGERA CEPAT BERSIKAP Padahal sejatinya banyak warga berharap setiap pembangunan dilakukan secara terpadu dan profesional berbasis Perpres 4/2015 dan tidak ada peminta, makelar proyek, serta pemburu rente di dalamnya. Sekiranya warga sangat menyambut baik dan senang dengan adanya pembangunan dan upaya-upaya penegakan kesejahteraan. Pemerintah daerah dan DPRD seharusnya sadar akan polemik “papa minta proyek”. Pemerintah daerah dan DPRD harus cepat mengambil sikap dalam permasalahan ini agar tidak menimbulkan ekses negatif yang paling parah, seperti runtuhnya citra para elit serta terganggunya keharmonisan antara pemerintah, DPRD dan warga. Kepala daerah tentu bukanlah manusia super. Ia tidak harus pandai dalam segala hal, tidak mesti muncul pada tiap aktivitas pembangunan, juga tidak harus mengawasi segala kegiatan aparatnya. Namun tak dapat ditawar, ia harus memiliki komitmen kuat untuk menjamin seluruh proses manajemen pembangunan daerah dikendalikan dan dilaksanakannya secara utuh, baik dan sesuai dengan rencana yang dibuatnya. Untuk sampai ke target itu, manajemen pembangunan daerah harus dikelola dengan manajemen mondial, yang menggabungkan aspek kepemimpinan struktural dan kepemimpinan partisipatif. Dengan demikian segala aktivitas pembangunan akan terbingkai dalam partisipasi publik yang sinergis dengan dinamika politik kedaerahan (Gunawan Setiyaji, 2014). Akhirnya, membangun Indonesia memang mesti dari daerah. Dan untuk itu pastinya amat sangat dibutuhkan political will yang mulia nan sempurna dalam rangka mendorong dan melaksanakan pembangunan daerah. (*) *) Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Cirebon dan Aktivis Forum Diskusi Mahasiswa Untag Cirebon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: