Skandal Freeport dan Pembenahan Iklim Investasi
Freeport bikin repot. Bahkan sedari dulu kita merasakan itu. Perdebatan tentang Freeport kerap mengemuka dalam ruang publik, politik, pemerintahan dan akademik. Tema atau titik fokus perdebatannya tentunya menyangkut untung-rugi eksistensi investasi Freeport. Oleh: Verry Wahyudi MENURUT kita, kurang adil kalau berkah atau keuntungan investasi itu lebih banyak diraup Freeport, dan minim untuk kita. Serta kita senantiasa menuntut sejatinya investasi itu menghasilkan keuntungan yang setara, untuk Freeport dan kita. Terlebih karena Freeport berada di negeri kita sendiri, maka memang sudah sepatutnya kita wajib dihargai sepenuhnya bila ada di negeri kita sendiri. Ibaratnya kita adalah tuan rumah. Bahkan, yang kian keras, kita acap menganggap Freeport sebagai pengeruk kekayaan di negeri kita sendiri dan mengingkari Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi; 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; 3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; 4). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Namun perdebatan, penilaian, anggapan, atau ungkapan kritik kita dengan memakai bahasa atau perspektif di atas lebih merupakan bentuk luapan dari ekspresi kekecewaan kita. Maka, itu kurang obyektif. Idealnya memang kita mesti menggunakan kajian dan penelitian yang komprehensif guna menyimpulkan tentang Freeport, atau mempergunakan analisis-ekonomi yang mumpuni. Bukan cuma mengamati belaka lantas kita bicara atau membuat kesimpulan mengenai Freeport. Serta, kiranya patut pula kita jujur melihat dan mencatat ihwal segi kontribusi positif Freeport bagi negeri kita. Freeport Indonesia berelasi atau perusahaan pertambangan yang sebagian besar sahamnya dipegang Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, yang bermarkas di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. Perusahaan ini merupakan produsen emas terakbar di dunia (93 persen produksi emasnya dihasilkan dari ladang Papua, serta 1 persen dari pertambangan di Amerika Utara dan 6 persen dari Amerika Selatan). Freeport Indonesia melakukan penggalian di di Ertsberg dan Grasberg, di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. BENAHI INVESTASI Komitmen pemerintah baru melalui politik anggaran tak diragukan lagi. Sementara, dari sisi kerangka regulasi juga mulai terlihat dari berbagai paket kebijakan yang sudah mencapai paket VI. Dalam paket kebijakan tersebut, pada dasarnya pemerintah memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku swasta. Meletupnya kasus ”papa minta saham” bisa menjadi momentum pembenahan iklim investasi di Indonesia. Jika itu dilakukan, pasti akan menjadi sinyal positif bagi pelaku usaha besar, baik asing maupun domestik (A Prasetyantoko, 2015). AKSES SUMBER DAYA Sekalipun demokrasi memiliki mekanisme pengawasan terhadap perilaku elit, ia sering kali gagal menjalankan peran pengawasan sebagaimana dikehendaki. Hal ini karena para elite biasanya memiliki akses terhadap sumber daya (ekonomi-politik) dan informasi yang mereka gunakan untuk melindungi kepentingan diri mereka sendiri. Publik tentu tidak akan marah terhadap perilaku elit yang dengan seenaknya melakukan penyalahgunaan wewenang jika mereka tidak tahu. Tetapi, publik bakal menumpahkan kekesalan mereka melalui mekanisme politik-demokrasi yang ada ketika mereka mengetahui ulah “tak senonoh” elite politik (Masdar Hilmy, 2015). Akhirnya, penting kita mengingat kembali tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bahwa pada awal 2016 nanti kita mulai memasuki era MEA. Susah dipungkiri, buruknya kondisi politik dan ekonomi kita hari-hari ini bakal berdampak negatif terhadap kiprah kita di MEA. Amat ironis, tatkalah elit ASEAN lainnya sedang membangun ketenangan dan good governance dalam rangka menghadapi MEA, kita malah sibuk ribut, bertengkar dan korupsi. Kita khawatir perangai jelek tersebut membuat elit Negara dan melupakan kerja-kerja konsolidasi menuju MEA. (*) *) Penulis adalah analis politik dan ekonomi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: