Tidak Sekadar Sidang Etika

Tidak Sekadar Sidang Etika

Seperti sebuah sinetron, kisah pencatutan nama presiden oleh salah seorang anggota dewan, berlanjut. Dengan barang bukti rekaman, episode demi episode kemudian tersaji dengan aneka latar dan kisah yang makin hari nampaknya makin menarik. Diawali dengan pelaporan, konferensi pers, hingga akhirnya persidangan yang mengadili ”etika” pun digelar. BERDASARKAN fakta persidangan, dalam rekaman tersebut didapati tiga suara yang semuanya laki-laki. Usut punya usut suara yang terdengar dari rekaman itu adalah suara milik Presiden Direktur PT Freeport Muhammad Riza Chalid, seorang pengusaha dan Ketua DPR RI Setya Novanto. Ketiganya bertemu dalam kesempatan yang disepakati untuk membicarakan perpanjangan kontrak PT Freeport. Dalam waktu kurang lebih dua jam, rekaman itu diperdengarkan kepada khalayak. Dalam rekaman itu, nyatanya tidak hanya soal Freeport, tetapi juga dibicarakan mengenai praktik kotor pemilu, polemik di lingkaran kekuasaan, hingga ujaran memberikan saham kepada presiden dan wakil presiden. Obrolan macam inilah yang kemudian membuat rekaman itu dijadikan dasar pelaporan bahwa ada pelanggaran etika dari seorang anggota dewan yang terhormat, yang tentu harus diberikan sanksi. Secara etika dewan, menurut beberapa pakar, ada beberapa pasal yang dilanggar oleh Anggota Dewan tersebut, yaitu Bapak Setya Novanto. Diantara pasal yang dilanggar adalah Pasal 2 Peraturan DPR 1/2015 tentang kode etik yang menyebutkan, anggota dalam setiap tindakannya harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang dan golongan. Selanjutnya, Pasal 3 UU yang sama, berbunyi: “Anggota harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR.” MELUASNYA PEMBAHASAN Lambat laun analisa pun diperluas dan dipertajam. Aspek-aspek yang dilibatkan semakin banyak. Kasus ini, karena dinilai amatlah luas, tidak hanya sekedar mempermalukan etika, tetapi juga mencemari tatanan hukum, politik, serta menyentuh pula output pendidikan. Berikut akibat tak terlihat dari apa-apa saja yang dipertonkan dalam kasus ini. Dalam hal politik, kenyataan ini tentu menunjukan adanya gap pemahaman antara ”praktis” dan ”praxis”, antara yang harus dan yang etis. Politik yang bertujuan membumikan ideologi, dan kemudian dibahas, untuk kembali didiskusikan sebelum akhirnya dibumikan kembali, (praxis) jadi kehilangan maknanya. Upaya politik sebagai ladang pencerdasan bangsa pun nihil. Politik, setidaknya yang ditunjukan dalam bukti rekaman itu, saat ini lebih dekat pada praktek yang praktis dan cenderung pragmatis. Mereka yang tidak paham esensi politik kemudian merebut hegemoni dengan kekuatan kapital, bukan dengan kemewahan gagasan. Selain dari politik, seperti disebutkan di atas, ada keilmuan yang tersakiti oleh tontonan kasus ini, keilmuan itu adalah ilmu hukum. Mengapa? Karena pada proses pengadilan etika itu, konteks beracara pengadilan etika hampir sama dengan tata cara persidangan hukum pada umumnya. Ada pelapor, ada terduga, dan ada pula majelis. Ini amat penting bagi keilmuan hukum karena tentu kita tahu, kredibilas hukum ditentukan daripada kualitas beracara. Dari segi hukum dapatlah ditemukan bahwa untuk menjadi yang mulia tidaklah bisa sekonyong-konyong hanya berdasar pada mandat rakyat, tetapi harus melalui proses yang ditempa jatuh-bangun dalam fakultas kehidupan (mengikuti bahasa Tan Malaka). Hukum tidak selesai dengan sertifikat bukti kemampuan merapal UU. Merujuk pada Agustinus, bahwa dalam iustitia (yang berarti hukum dari kata ius) pijakan ius menyangkup pula keadilan yang juga berarti hak. Ketidakmampuan membedakan perlakuan terhadap pelapor dan terduga, seperti yang kita lihat di persidangan tersebut, adalah hal yang memalukan dalam acara persidangan hukum, yang tentunya memalukan keilmuan hukum juga. Sisi yang lain, ditutupnya persidangan menunjukan bukti bahwa asas hukum tidak lagi diperhatikan. Hukum mengenal adigium equality before the law atau semua orang di mata hukum sama. Apabila dua pelapor dan saksi kemarin diberlakukan sidang terbuka, artinya, atas nama keadilan, semua persidangan dalam kasus tersebut harusnya dibiarkan terbuka. Selanjutnya pendidikan, para pendidik mesti sadar, dan (bila perlu) mengoreksi kembali rumusan pendidikannya. Bagaimanapun, baik Presiden direktur PT Freeport, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), MRC dan lainnya yang terlibat disitu adalah hasil dari sebuah sistem pendidikan. Kritik sistem pendidikan dimasukan karena manusia modern, besar-kecilnya, bisa dipastikan adalah cetakan dari sistem pendidikan. Dan, pendidikan yang tidak berurat nadi pada konteks di mana pendidikan itu hendak diajarkan (asumsi Paulo Freire), dalam hal ini nilai-nilai keIndonesian, hanya akan melahirkan bos-bos baru yang bertampang pribumi namun berlaku kolonial. Kegagalan pendidikan, setidaknya dalam problem ini, adalah gagal membendung penjamuran politik yang condong pada Oligarki Kapitalistik, yang tentu sudah disepakati sebagai kolonial gaya baru. Bagaimana pun ini suatu kemajuan. Jikalau tidak pernah ada kasus ini, mungkin selamanya kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di atas. Baiknya, lebih penting dari itu, proses seperti ini perlu kita kembangkan, di luar dari apa yang dibahas di atas. Membumingnya kasus yang dikenal publik dengan kasus #papamintasaham ini bisa menjadi awal bagi kita untuk melakukan pengawasan serupa terhadap wakil-wakil kecil yang berada di daerah, yang kita tahu secara kabar angin juga sering bertindak serupa, yang justeru lebih banyak dan tak terpublikasi. (*) *Penulis adalah Peneliti di Satjipto Rahardjo Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: