Pembelian Pesawat Kepresidenan Disomasi

Pembelian Pesawat Kepresidenan Disomasi

Jika Tak Dibatalkan, Akan Digugat JAKARTA - Pembelian pesawat kepresidenan yang menelan anggaran Rp910 miliar menuai gugatan. Sejumlah LSM mendesak pemerintah agar membatalkan pembelian pesawat kepresidenan. Jika tidak, gabungan LSM itu akan melayangkan gugatan warga negara (citizen law suit) ke pengadilan negeri setempat. “Jika dalam tujuh hari somasi ini tidak ditindaklanjuti, kami akan melayangkan gugatan warga negara,” ujar Uchok Sky Khadafy, koordinator Investigasi dan Advokasi Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), di Jakarta kemarin (19/2). Menurut Uchok, pembelian pesawat kepresidenan dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) telah melanggar ketentuan konstitusi. Sesuai dengan pasal 23 ayat 1 UUD 1945 disebutkan, APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk kemakmuran rakyat. Belanja pemerintah yang disetujui DPR untuk membeli pesawat jenis Boeing 737-800 business jet 2 itu dituangkan dalam APBN yang sifatnya multiyears atau dilakukan di lebih dari satu tahun anggaran berjalan. Pada tahun anggaran 2011 sebesar Rp92 miliar, tahun 2012 sebesar Rp339 miliar untuk pesawat, ditambah dengan lelang pengadaan interior dan keamanan senilai USD 31 juta. Namun, diketahui sumber pemasukan APBN untuk pembelian pesawat kepresidenan itu berasal dari utang luar negeri. Anggaran pembelian pesawat kepresidenan tersebut tercantum dalam pos belanja lain-lain bagian lancar utang luar negeri dan pos utang jangka panjang luar negeri APBN. “Hal ini jelas-jelas membebani APBN itu sendiri,” ujar Uchok. Pemerintah beralasan bahwa dengan membeli pesawat kepresidenan, negara bisa menghemat anggaran USD 33 juta selama lima tahun. Logika penghematan itu dinilai menyesatkan publik dan sekaligus “mengelabui” DPR. Sebetulnya sewa pesawat kepresidenan sangat bergantung kepada frekuensi perjalanan yang dilakukan. “Selama presiden melakukan pengetatan perjalanan ke luar negeri, tentunya biaya sewa ini akan jauh lebih murah,” ujar Uchok. Jika dibandingkan dengan era presiden sebelumnya, belanja perjalanan luar negeri Presiden SBY relatif lebih mahal. Berdasar anggaran yang dikeluarkan Sekretariat Negara, disebutkan dalam perincian anggaran sewa pesawat selama 2005-2009 mencapai USD 81 juta atau sekitar Rp729 miliar. Di era Presiden KH Abdurrahman Wahid, biaya perjalanan dengan sewa pesawat menghabiskan anggaran Rp48 miliar (1999-2001). Di era Presiden Megawati (2001-2004), perjalanan dengan sewa pesawat menghabiskan anggaran sekitar Rp48,645 miliar. Uchok menambahkan, jika ingin menghemat, seharusnya yang dibandingkan bukan dengan membeli atau menyewa. Perbandingan semacam itu menyesatkan logika publik. “Seharusnya yang dibandingkan adalah merek yang berbeda dengan tipe pesawat yang sama dan ini baru logika sambung,” sindirnya. Aktivis Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan menyatakan, pemerintah juga harus menanggung biaya perawatan meskipun pesawat tersebut tidak dipergunakan. Selain itu, pembelian pesawat yang berasal dari utang akan menjadi beban rakyat Indonesia yang harus membayar pokok utang dan bunga utang. Sementara dengan sewa pesawat, rakyat Indonesia tidak dibebani utang maupun biaya perawatan pesawat. “Penggunaan APBN (untuk pembelian pesawat, Red) ini tidak bisa dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Gunawan. Koalisi tersebut terdiri atas beberapa LSM seperti IHCS, FITRA, Asosiasi Pendamping Perempuan dan Usaha Kecil (ASPPUK), dan Koalisi Antiutang (KAU). Somasi ditujukan kepada presiden RI, pimpinan DPR, Badan Anggaran DPR, menteri sekretaris negara RI, dan menteri keuangan. Ketua Banggar DPR Melchias Markus Mekkeng saat dikonfirmasi menyatakan, banggar selama ini tidak secara langsung membahas kesepakatan pengadaan pesawat kepresidenan. Dalam pengertian, banggar tidak pernah terlibat pembahasan teknis pembelian pesawat kepresidenan secara perinci. “Komisi yang lebih tahu,” ujar Mekeng. Sementara dari pihak Istana Negara belum memberikan tanggapan atas pengajuan somasi tersebut. Saat dikonfirmasi via telepon, tidak ada tanggapan dari Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha. Namun, Julian sebelumnya menegaskan bahwa pembelian pesawat kepresidenan bukan merupakan pemborosan. Bilamana pesawat itu dioperasikan, jangka waktu penggunaannya tidak hanya lima tahun. Penggunaannya diperkirakan bisa mencapai 35 tahun. (bay/c4)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: