Kota Tilang; Guyonan dan Harapan

Kota Tilang; Guyonan dan Harapan

Oleh: IING CASDIRIN DI zaman sosial media (sosmed) seperti sekarang, tiap-tiap orang adalah wartawan, pewarta, jurnalis. Melalui akun sosmed pribadinya  (facebook, twitter, instagram, path, dll), setiap orang bisa melaporkan apa saja kejadian yang dilihat atau bahkan dialaminya, kapan saja waktunya, dan dari lokasi mana saja. Juga dengan bahasa yang sesukanya. Sosmed adalah akun pribadi, sekaligus juga media publik. Apa yang dirasakan dan ditulis di akun milik pribadinya,  bisa juga dibaca dan dirasakan oleh khalayak ramai. Pengalaman apa yang ditulisnya, bisa jadi ada pengalaman serupa  yang pernah dialami para pembacanya. Ini yang kemudian melahirkan persepsi yang sama tentang pengalaman yang sama. Dan sebutan Cirebon sebagai Kota Tilang adalah lahir dari persepsi yang sama atas sekumpulan kejadian sama yang pernah dialami para jurnalis sosmed tadi. Saling bertukar pengalaman dan informasi tentang tilang menilang di kota ini yang kemudian dipublish. Hasilnya cukup mencengangkan, muncul sebutan yang booming:  Kota Tilang. Ada yang pro, ada yang kontra, sudah hal biasa. Tidak bisa dihitung secara pasti berapa orang yang setuju, berapa orang yang tidak. Tetapi, tidak bisa dipungkiri kalau dampak sebutan “Kota Tilang” ini begitu dahsyat. Menjadi perhatian publik luar kota dan dalam kota Cirebon, dan akhirnya bisa menjadi warning bagi aparat kepolisian. Ada juga orang Cirebon yang merasa tersinggung dengan sebutan “Kota Tilang” lalu tergopoh-gopoh membuat bantahan “Cirebon Kota Udang, Bukan Kota Tilang”, “Salahkan Oknumnya, Jangan Bawa-Bawa Cirebon”, dan bantahan sejenisnya. Kenapa disebut tergopoh-gopoh, karena yang dilakukannya hanya sebuah reaksi, merepotkan diri, bukan benar-benar berasal dari hati nurani. Menyatakan Cirebon “Bukan Kota Tilang” bukan berarti  menjadi bukti  cintanya ke Cirebon begitu tinggi. Karena, kalau memang benar cinta,  sebaiknya salurkanlah energi cintamu dengan aksi, ebih nyata dan berguna. Seperti tidak  membuang sampah dari kendaraan di jalan.  Atau berdiri di dekat pintu perlintasan kereta untuk mengatur kendaraan agar berada di jalur yang benar. Banyak cara mencintai kota Cirebon. Mulai dari merawat kebersihan selokan di depan rumah secara rutin hingga  memberikan keramahan kepada pengunjung dari luar kota yang menghabiskan waktu akhir pekannya di Cirebon. Memberikan masukan atau kritikan kepada walikota, legislatif dan kapolres juga salah satu cara  kita mencintai Cirebon. Kota Tilang ini termasuk salah satu kritikan, untuk kepolisian Cirebon dalam hal melakukan razia kendaraan. Razia kendaraan yang dibarengi  dengan tuduhan mencari-cari kesalahan pengendara dari luar kota atau berplat nomor luar  Cirebon. Hingga kini belum bisa dibenarkan tuduhan itu. Tetapi Kapolres Cirebon Kota,  AKBP Eko Sulistyo sudah berbesar hati, mengucapkan terimakasih dan menganggap ini adalah kritik yang membangun bagi jajarannya untuk terus memperbaiki diri. Sikap yang ditunjukkan kapolresta ini adalah cermin pemimpin yang baik, senang menerima kritikan untuk mengoreksi diri. Tidak  langsung sensi. Sikapnya ini bagai sengatan  untuk orang-orang yang coba melawan bully dengan mengatakan Cirebon Bukan Kota Tilang. Mungkin bagi kapolres, sebuah kritik walau bernada negatif, lebih berguna daripada antusiasme hampa dari orang bodoh. Sebutan Cirebon sebagai Kota Tilang bukanlah aib bagi masyarakatnya. Apalagi dianggap akan mengganggu investor dari Tiongkok  untuk menanamkan investasi di Cirebon. Karena memang tidak ada investor  yang datangnya naik motor. Sebutan Kota Tilang adalah kritikan yang efektif, dibungkus guyonan, yang dalam waktu singkat menjadi perhatian. Di balik itu tentu ada harapan, memetik pelajaran dari kesalahan, agar kepolisian menjadi lebih baik kedepan. Perubahan untuk menjadi lebih baik itu sudah mulai dilakukan sekarang, dengan kebijakan Polres dan Polresta Cirebon yang sudah buka nomor untuk SMS pengaduan... (*)  @IingCasdirin  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: