Tragedi Kereta, Argentina Berkabung Dua Hari

Tragedi Kereta, Argentina Berkabung Dua Hari

\"\"KA Tabrak Pagar Peron, 49 Tewas, Ratusan Luka BUENOS AIRES - Kecelakaan kereta api (KA) maut terjadi di Stasiun Once, Kota Buenos Aires, Argentina, Rabu pagi waktu setempat (22/2) atau Rabu malam WIB. Akibatnya, sedikitnya 49 orang tewas, termasuk seorang bocah. Sekitar 600 lainnya terluka dan 461 di antaranya menjalani perawatan di rumah sakit. Itu merupakan kecelakaan KA terburuk dan membawa korban jiwa terbanyak di Argentina dalam empat dekade terakhir atau lebih dari 40 tahun lalu. Pada 1 Februari 1970, sebuah KA yang melaju kencang menghantam kereta lain di pinggiran Buenos Aires dan menewaskan 200 orang. Mendengar soal kecelakaan tersebut, Presiden Argentina Cristina Fernandez langsung membatalkan seluruh agenda hariannya. Sebagai bentuk simpati pada keluarga korban, Fernandez pun mencanangkan dua hari berkabung nasional, serta membatalkan pawai yang sedianya berlangsung hari ini (24/2). Selain itu, pemimpin 59 tahun tersebut langsung memerintahkan investigasi secara mendalam. Ketika kecelakaan terjadi pada jam sibuk sekitar pukul 08.33 waktu setempat, kereta dengan delapan gerbong itu mengangkut sekitar 1.200 penumpang. Tanpa diketahui apa yang terjadi, kereta tiba-tiba menabrak pagar pembatas peron. Bagian depan kereta pun ringsek akibat tertumbuk delapan gerbong di belakangnya. Menurut beberapa saksi mata, gerbong kereta yang menabrak peron terlihat seperti akordion (alat musik, Red). Kecelakaan itu mengakibatkan dua gerbong pertama rusak parah. Seluruh kaca jendelanya hancur dan banyak penumpang tergencet di dalamnya. Menteri Perhubungan Argentina J.P. Schiavi mengatakan bahwa hampir seluruh korban tewas berasal dari dua gerbong pertama. “Gerbong pertama hancur berantakan dan gerbong kedua nyungsep ke dalam gerbong ketiga sampai sejauh enam meter,” katanya dalam jumpa pers kemarin (23/2). Pemerintah Argentina pun menyoroti sistem operasi KA yang mengalami reformasi bertahap selama beberapa tahun terakhir dan menyedot dana besar. Tetapi, Schiavi menilai kecelakaan yang terjadi saat jam sibuk pagi hari itu sebagai insiden biasa. “Ini (hanya) kecelakaan biasa, sama dengan yang terjadi di negara-negara lain,” ujarnya. Hingga kemarin, penyebab kecelakaan masih belum diketahui. Masinis kereta yang luput dari maut pun masih menjalani perawatan intensif. Setelah kondisinya membaik, pria 28 tahun yang baru bertugas beberapa jam sebelum kecelakaan akan diinterogasi. “Kelelahan dan usia (muda atau belum berpengalaman) merupakan dua faktor utama yang akan kami selidiki dari sang masinis,” tutur Schiavi. Beberapa penumpang yang selamat mengisahkan bahwa kereta yang mereka tumpangi tampaknya punya masalah pada rem. Sebab, masinis sempat beberapa kali melewatkan tanda berhenti. Bahkan, kereta kesulitan berhenti di tiga stasiun sebelum mencapai Once. “Masinis melewatkan tanda berhenti di (stasiun) Caballito dan terpaksa mundur,” kata penumpang bernama Concepcion Ortiz kepada koran Clarin. Pernyataan sama dipaparkan Jorge Medina, penumpang lainnya. “Sepertinya ada yang salah dengan rem kereta saat melewati (stasiun) Haedo dan (stasiun) Ramos Mejia,” ujarnya. Juan, penumpang yang patah pada pergelangan kaki patah akibat kecelakaan itu, membenarkan kesaksian Ortiz dan Medina. Menurut dia, masinis seperti tak pernah menginjak rem sepanjang perjalanan. Namun, Ruben Sobrero dari serikat kerja, membantah kesaksian penumpang. Dia memastikan bahwa rem maupun semua sistem kereta berada dalam kondisi normal. “Kereta ini baru meninggalkan bengkel kemarin (Senin lalu, Red). Remnya berfungsi dengan sangat baik. Setahu kami, kereta telah berhenti di beberapa stasiun sebelumnya,” ungkapnya dalam wawancara dengan Radio La Red. Schiavi pun memberikan pernyataan yang sama dengan Sobrero. Berdasar data di lapangan, kereta memang sempat memperlambat laju sekitar 40 meter sebelum mencapai titik kecelakaan. “Kereta mengurangi kecepatan dari sekitar 50 kilometer per jam menjadi 20 kilometer per jam. Tetapi, kita tidak tahu apa yang terjadi setelah itu,” ungkapnya. Trains of Buenos Aires (TBA), perusahaan operator kereta nahas itu, mengakui bahwa mereka cukup kewalahan melakukan perawatan. Sebab, sebagian besar kereta yang mereka operasikan adalah hibah dari negara-negara maju. Salah satunya adalah kereta Toshiba Classic buatan Jepang pada 1960-an. TBA juga kesulitan biaya karena terlalu murahnya harga tiket kereta di Argentina. “Kecelakaan maut seperti itu biasanya justru terjadi saat kereta melaju dengan kecepatan rendah. Karena itu, ada baiknya kita tinjau umur dan kelayakan kereta,” kata Naj Meshkati, dosen ilmu teknik pada University of Southern California. Colin Fulk, pakar kereta api, mengusulkan agar kereta tua mengosongkan dua gerbong terdepan. Dengan demikian, jumlah korban bisa diminimalkan saat terjadi kecelakaan. (AFP/AP/hep/dwi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: