Dulu USD 10 Seperti Recehan, Sekarang Seperti Berlian

Dulu USD 10 Seperti Recehan, Sekarang Seperti Berlian

Cerita Miro Baldo Bento yang Jadi Penjual Solar Mendengar namanya, orang sudah tahu kalau dia adalah pemain yang pernah menjadi penyerang ganas di persepak bolaan Indonesia. Sekarang, dia kembali ke kampung halamannya di Dili, Timor Leste. Dia tetap di sepak bola, bedanya dia juga berjualan solar. ** ’’PASTILAH saya tahu siapa orang ini, dia itu Miro Baldo Bento, pemain sepak bola dari Timor Leste yang populer di negaramu (Indonesia),’’ ucap seorang pembeli di sebuah depo penjualan solar di Tibar, Dili, sambil menunjuk ke arah pria yang mengisikan liter demi liter solar ke dalam jeriken. Ya, pria itu memang Bento, Miro Baldo Bento de Araujo lengkapnya. Sekilas tidak ada yang berbeda dengan wajahnya saat masih aktif sebagai pemain sepak bola di beberapa klub top Indonesia, sebut saja Persija Jakarta dan PSM Makassar. Ataupun saat membela Merah Putih di Piala Tiger 1998. Bedanya, bukan bola yang ada di pelukannya. Melainkan nozzle yang mengalirkan solar ke jeriken atau ke tangki mobil pelanggannya. ’’Saya bekerja seperti ini sudah sejak pertengahan 2012, ya bantu-bantu kakak saya (Jeka Bento) mengurusi bisnis keluarga,’’ ujarnya kepada Jawa Pos (Grup Radar Cirebon), saat ditemui di Dili, sepekan lalu. Walaupun statusnya sebagai adik dari si pemilik depo solar yang posisinya di pinggiran jalan raya Tibar itu, Bento juga melayani pembeli. Biasanya pelanggan-pelanggan yang datang adalah para pemilik perahu yang bersandar di Pelabuhan Tibar, atau truk-truk besar yang mengangkut komoditas dari dan ke pelabuhan. Dalam perbincangannya, Bento yang lahir pada 4 Juni 40 tahun silam itu mengaku sudah merasakan bagaimana susahnya mencari uang. Untuk mengharapkan USD 10 (Rp 132 ribuan) per hari dari membantu menjualkan solar, Bento harus menempuh perjalanan selama 30 menit dari kediamannya di Taibesse. Dengan hanya bekerja selama lima hari sepekan (minus Sabtu dan Minggu), pemasukan Bento logikanya tidak lebih dari USD 200-an (Rp 2,6 juta) per bulannya. ’’Jumlahnya tidak akan sebanyak seperti saat masih di sepak bola, tapi setidaknya setiap harinya ada yang bisa dibawa ke rumah,’’ tuturnya. Itulah yang menurut Bento perbedaan pekerjaannya sekarang dengan saat masih aktif di sepak bola sebagai pemain. Gaji memang besar, tetapi tidak bisa setiap hari didapatkan. Palingan menunggu bonus-bonus menang saja kalau pas bertanding. Down Payment atau DP kontrak 25 persen pun disebutnya sudah cepat ludes. Apa yang dialami Bento sekarang ini berkebalikan dengan saat masa kejayaannya dahulu sebagai pemain sepak bola. Bento masih ingat betapa glamour-nya kehidupannya, terutama saat dia masih bermain untuk Laskar Joko Tingkir, julukan Persela. Bagi Bento saat itu, uang USD 10 tidak ubahnya seperti uang receh. ’’Dulu, setiap kali latihan libur, saya langsung pergi ke Surabaya. Dalam satu hari, setiap orang bisa menghabiskan minimal Rp 5 jutaan, hanya untuk jalan-jalan atau sekedar nongkrong di Surabaya. Andai saja uang sebesar itu bisa saya dapatkan per harinya, ya yang jelas diberikan ke istri,’’ ungkapnya. Begitu glamournya kehidupan itu, sampai-sampai dia sempat merasa tidak betah pas awal pindah dari Indonesia ke Timor Leste. Selain uang di dalam kantongnya yang tak lagi melimpah, di Dili juga tidak ada kehidupan malam seperti yang dia dapatkan ketika masih di Jakarta, atau di Surabaya dan Semarang. ’’Maunya saya balik ke Indonesia saja saat itu,’’ sebutnya. Kadang dia senyum-senyum sendiri mengingat memorinya saat masih di Indonesia dulu. Apalagi kalau di tempat kerja. Dulu masih sempat mengurus diri badan pun lebih berbau parfum. Coba sekarang, badannya malah sering belepotan minyak atau bau parfumnya berganti menjadi aroma solar. Namun, dia tidak merasa menyesal. Karena di balik itu semua dia sekarang sudah mampu membiayai kehidupan keluarganya. Bento tinggal di Taibesse bersama istrinya Marissa Estefania dan ketiga buah hatinya Santo Baldo Bento (9 tahun), Cristiano Bento (5,5 tahun) dan Viana Araujo (3,5 tahun). Andai tidak kembali ke Timor Leste dan memilih berada di Indonesia, tidak ada garansi dia bisa setenang sekarang. Cukup sudah pengalaman gaji yang tertunggak selama tiga bulan saat dirinya masih bermain untuk tim Laskar Mahesa Jenar -julukan PSIS- pada musim 2010 silam. ’’Lebih baik saya di sini, di Timor Leste,’’ tegasnya. (ren)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: