Suap Rp1,9 M untuk Hentikan Kasus di Kejati DKI

Suap Rp1,9 M untuk Hentikan Kasus di Kejati DKI

JAKARTA – Identitas sejumlah nama yang dibekuk dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Kamis (31/3), akhirnya terungkap. Ada tiga orang yang ditangkap atas dugaan suap dalam pengurusan kasus korupsi di Kejati DKI Jakarta. Selain itu, seorang anggota DPRD DKI juga ditangkap dalam kasus yang berbeda. Hasil OTT itu kemarin (1/4) langsung ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah SWA selaku direktur keuangan PT Brantas Abipraya (Persero), DPA yang juga senior manajer PT Brantas Abipraya, serta MRD yang berperan sebagai perantara suap. Sudiwantoko cs ditangkap saat hendak menyogok seorang jaksa di Kejati DKI. KPK belum merilis siapa jaksa yang hendak disuap tersebut. Yang pasti, para penyuap menyerahkan uang dengan harapan Kejati DKI dapat menghentikan penyelidikan korupsi penggunaan dana iklan atau pemasaran PT Brantas. Versi kejaksaan, potensi kerugian negara kasus tersebut senilai Rp10 miliar. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, SWA cs terpantau merancang penyuapan ke pejabat Kejati DKI sejak Rabu (30/3). “Pada Rabu itu, MRD dan DPA membuat janjian bertemu untuk penyerahan uang keesokan harinya,” ujar Agus dalam jumpa pers di Gedung KPK kemarin (1/4). Nah pada Kamis (31/3) pagi, MRD dan DPA bertemu di toilet Hotel Best Western Premier di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Di sana, DPA menyerahkan uang USD 148.835 atau sekitar Rp1,9 miliar (1 USD = Rp13.184) kepada MRD. Uang suap itu terbagi dalam pecahan USD 100 (1.487 lembar), USD 50 (1 lembar), USD 20 (tiga lembar), serta beberapa recehan USD. “Uang tersebut diberikan untuk menghentikan penyelidikan kasus PT Brantas Abipraya di Kejati DKI,” tegas Agus. Setelah menangkap dan memeriksa tiga orang itu, di hari yang sama penyidik KPK langsung memeriksa Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Sudung Situmorang beserta Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Tomo Sitepu. “Keduanya kami periksa hingga Jumat pagi sekitar pukul 05.00,” jelas Agus. Sayangnya, KPK terkesan merahasiakan pemeriksaan itu. Sebab tak ada awak media yang tahu kedatangan Sudung dan Tomo ke KPK. Sejak awal penanganan kasus tangkap tangan ini memang terkesan ada deal-deal antara KPK dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Misalnya, beberapa jam setelah OTT, Jaksa Agung Muda Intelejen (Jamintel) Adi Togarisman dan Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan (Sesjamwas) Jasman Panjaitan mendatangi Gedung KPK. Mereka bertemu pimpinan KPK dengan alasan koordinasi. Setelah pertemuan tersebut, Adi maupun Jasman menyebut bahwa OTT tersebut merupakan gabungan KPK dan Kejagung. Anehnya, meski telah menetapkan dua penyuap dan seorang perantara sebagai tersangka, KPK seolah membiarkan pihak yang disuap. Padahal, dalam beberapa OTT sebelumnya, penyuap dan pihak yang disuap ditangkap bersamaan. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, pemeriksaan terhadap Sudung dan Tomo diperlukan karena keduanya dianggap tahu dugaan korupsi PT Brantas. Namun apakah uang suap dari perusahaan tersebut diperuntukan ke Sudung atau Tomo, Laode mengaku itu masih didalami. “Memang mengarah ke sana, tapi itu masih kami teliti,” terangnya. Pihak kejaksaan sendiri menutup rapat perkara yang PT Brantas yang tengah mereka tangani. Adi mengatakan, pihaknya tidak berwenang menjelaskan substansi perkara yang tengah ditangani KPK. “Yang jelas tidak berkaitan dengan kasus gardu induk,” terangnya. Sedang Laode mengakui, KPK perlu koordinasi lebih lanjut dengan kejaksaan untuk mengatahui detail kasus korupsi PT Brantas. Sementara itu, anggota Komisi Kejaksaan (Komjak) Ferdinan Andi Lolo mengatakan, pimpinan kejaksaan seharusnya lebih tegas membersihkan praktik buruk di lembaganya. Termasuk juga memberikan sanksi pada mereka yang terlibat perkara suap di KPK. (gun/agm)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: