Pungutan Pedagang Berdalih untuk Infaq Masjid

Pungutan Pedagang Berdalih untuk Infaq Masjid

KEJAKSAN – Temuan di lapangan terkait iuran pedagang kaki lima (PKL) di Alun-alun Kejaksan, ternyata ada beberapa versi berbeda. Pedagang menyebut mereka dipungut Rp50 ribu per bulan. Lain lagi dengan asosiasi. Mereka menyebut pungutan dilakukan per hari dan peruntukannya pun jelas serta dapat dipertanggungjawabkan. “Jumlahnya bervariasi. Mulai dari Rp2 ribu sampai Rp5 ribu. Iuran itu digunakan untuk beragam kebutuhan. Mulai dari biaya sampah, listrik hingga infaq ke Masjid At-Taqwa,” ujar Ketua Asosiasi PKL Kota Cirebon, Asep Rambo, kepada Radar, Selasa (10/5). Asep mengungkapkan, ada sekitar 30 pedagang di Alun-alun Kejaksan. Setiap hari, mereka membayarkan iuran untuk kebutuhan sendiri. Adanya iuran itu atas kesadaran bersama. Pedagang membuat semacam koperasi dan paguyuban pedagang alun-alun. Uang yang terkumpul kemudian dialokasikan untuk membayar berbagai keperluan. Soal infaq, Asep merasa perlu mengklarifikasi, karena dewan kemakmuran masjid (DKM) tidak meminta. Infaq yang dibayarkan pedagang semata-mata kesadaran atas pemanfaatan air dari masjid. Dari pantuan Radar terutama di akhir pekan, uang yang berputar di alun-alun untuk urusan biaya keamanan, kebersihan dan parkir ditengarai jumlahnya lebih besar. Setiap akhir pekan atau ada keramaian, bermunculan pedagang pasar malam. Belum lagi pungutan jasa parkir. Kemunculan pedagang ini seolah terorganisir. Pernah sampai diketemukan pemasangan tenda yang nyaris mengelilingi setengah luas alun-alun. Tenda itu, juga disewakan kepada para pengisi tenant. Terkait temuan ini, Asep membantah. Dia tidak mengetahui siapa yang memungut uang kepada pedagang pasar malam. Baik untuk izin maupun pembayaran iurannya. “Kalau pasar malam tidak ada izin, berarti ilegal. Itu tidak ada kaitannya dengan kita,” tukasnya lantang. Soal kehadiran PKL, kata Asep, sebatas memenuhi kebutuhan jamaah dan masyarakat untuk makan minum. Kemudian, PKL tidak mau disalahkan atas lahan parkir yang terbatas karena sebagian ruangnya digunakan berjualan. PKL beralasan, tenda yang mereka bangun berada di tepi dan berhimpitan dengan pagar pembatas halaman masjid dan alun-alun. Tenda PKL juga tidak mengganggu lalu lintas di jogging track. Sebagai buktinya, Asep memberikan gambaran bahwa jalan di jogging track masih bisa dilintasi dua kendaraan berpapasan sekaligus. “Nggak ada kaitannya sama parkir. Kita nggak mengganggu lahan parkir,” tegas dia. Soal pungutan parkir selain dari DKM At Taqwa, Asep mengakui, ada oknum yang bermain. Terutama saat parkir ramai di akhir pekan dan ada pernikahan atau acara yang mengundang keramaian Gedung Islamic Centre. Dia pernah memantau langsung dan memergoki oknum pemungut jasa parkir di alun-alun. Masalahnya, warga yang dipungut tidak tahu kepada siapa uang itu dibayarkan. Pengguna jasa parkir merasa uang itu dibayarkan kepada DKM. Terkait rencana tendanisasi dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, mewakili PKL alun-alun Kejaksan, Asep sangat mendukung. Namun, tendanisasi itu tidak untuk menggusur PKL berjualan, melainkan hanya menata saja. Dia menilai, tendanisasi agar tidak disalahartikan dengan relokasi. Sebab, bila yang dilakukan relokasi, jelas pedagang akan menolak. “Kita sudah nyaman dengan kondisi saat ini dalam mencari nafkah. Mohon agar kami dilindungi,” tegas dia. PUNGUTAN RP50 RIBU Temuan wartawan koran ini dari hasil wawancara dengan para PKL, ternyata berbeda dengan klaim asosiasi. Salah seorang PKl, Supri (34) mengaku membayar iuran sekitar Rp50 ribu setiap bulan. Hal yang sama disampaikan Yani (35), pedagang lainnya. Namun, dia tidak tahu pemanfaatan dari dana yang dibayarkan kepada forum. Dia hanya menjelaskan, PKL sudah tergabung dalam forum pedagang kaki lima. Setiap bulan, iuran itu dibayarkan sesuai dengan yang sudah disepakati. Soal adanya rencana penataan, Yani meminta tak direlokasi. Ia ingin pemerintah mewadahi seluruh PKL tanpa terkecuali dan dibatas-batasi. Ia tak ingin relokasi justru gagal dan membuat para PKL terlantar. \"Kami tidak ingin relokasi, apalagi relokasinya gagal. Kebutuhan keluarga dan penghidupan kami tidak bisa menunggu,\" katanya. Menurut dia, Pemerintah Kota Cirebon masih bisa menata estetika Alun-alun Kejaksan tanpa harus memindahkan lapak berdagang. \"Kalau ditata dengan baik gak apa-apa. Jangan sampai ada penggusuran atau relokasi,\" ujarnya. Dia mengakui, penataan lapak pedagang memang diperlukan agar terlihat baik, rapi dan tertata. Dengan pedagang yang tampilannya estetik, tentu dapat menambah baik wajah alun-alun. Cara ini bagi para PKL adalah jalan tengah dari persoalan yang ada. Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Dimyati SH MH meminta Pemkot Cirebon tegas dalam menata alun-alun. Sebab, alun-alun merupakan wajah kota. Bisa dibuktikan, setiap wisatawan atau masyarakat luar Kota Cirebon yang berkunjung, pasti ingin ke Alun-alun Kejaksan. Ketegasan ini perlu, apakah pemkot akan mengizinkan parkir dan PKL atau sama sekali membebaskan alun-alun dari aktivitas di luar ketentuan perda. “Kalau pak walikota ingin ada solusi jalan tengah dan semua terakomodir. Kalau maunya begitu, ubah saja perda alun-alun. Selesai persoalan,” usulnya. (ysf/mik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: