Tidak Adakah Sisi Baik Setnov?  

Tidak Adakah Sisi Baik Setnov?  

Oleh: Iing Casdirin TANGGAL 31 Oktober 2015 saya pernah menulis status di akun facebook pribadi, bunyinya: Mengakhiri perpecahan di Golkar, Setya Novanto memang pas untuk jadi ketua Golkar rekonsiliasi. Punya jabatan dan juga uang.  Saat itu belum muncul kasus \"Papa Minta Saham\" yang menghebohkan itu. Posisinya sebagai ketua DPR memang sangat memungkinkan bagi Setya Novanto (Setnov) untuk meraih kursi nomor satu di Partai Golkar. Tetapi drama punya jalan ceritanya sendiri, kasus PT Freeport tiba-tiba muncul, membesar dan menyeret nama Setnov sebagai sosok yang dituding  mencatut nama Presiden Jokowi untuk meminta saham Freeport. Kasus \"Papa Minta Saham\" pun bergulir dan publik mulai mem-bully-nya habis-habisan. Karena desakan publik juga Setnov akhirnya mundur, bukan dari wakil rakyat, tetapi hanya \"pindah\" ruangan, dari ruang ketua DPR ke ruang ketua Fraksi Golkar. Kasusnya dianggap selesai. Suara bisingnya sudah reda. Tidak ada pemecatan seperti yang dilakukan PKS terhadap Fahri Hamzah, meski publik tidak tahu pasti sebetulnya salah apa sih Ustad FH sampai akhirnya dipecat. Padahal, sebelum kasus \"Papa Minta Saham\", Setnov  juga mendapat sorotan saat bersama Fadli Zon bertemu dengan kandidat calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di Amerika. Tahun-tahun sebelum itu, namanya juga kerap muncul dalam kasus-kasus berbau suap korupsi. Pada 1999, namanya tersangkut kasus pengalihan hak piutang (cessie) PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang diduga merugikan negara Rp 904,64 miliar. Kasus ini meletup setelah Bank Bali mentransfer dana Rp500 miliar lebih kepada PT Era Giat Prima milik Setnov. Bergulir lama di kejaksaan, kasus tersebut dihentikan dengan keluarnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada Juni 2003. Pada 2006, Setnov ditengarai berada di belakang kasus dugaan penyelundupan limbah beracun (B3) PT Asia Pacific Eco Lestari (APEL) di Pulau Galang, Batam. Soal ini, Setya membantah. “Saya sudah mundur dari komisaris PT APEL,” ujar Setnov mengelak. Pada 2012, nama Setnov kembali muncul karena ia diduga berperan mengatur aliran dana ke anggota Komisi Olahraga DPR untuk memuluskan pencairan anggaran PON di APBN. Ia membantah semua tuduhan yang menyatakan ia terlibat kasus ini. “Tahu-tahu nama saya disebut di koran. Saya lalu dipanggil KPK untuk menjadi saksi dalam pengadilan kasus itu di Riau,” ujar Setnov, kembali mengelak. Setahun kemudian, namanya terseret pula dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, menuding Setnov membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR dan meminta fee 10 persen kepada Paulus Tannos, pemilik PT Sandipala Arthaputra—anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia yang memenangi tender proyek e-KTP. Lagi-lagi Setnov membantah. “Saya enggak ikut-ikutan,” katanya. Yang paling kontroversial adalah saat ia menjadi ketua DPR. November 2015 lalu, Setnov dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Setnov diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo untuk memuluskan renegosiasi kontrak PT Freeport. Meski kembali membantah, Setnov memilih mundur sebagai ketua DPR sebelum keputusan MKD keluar. \"Saya pertama kali begini, lho. Saya kena apa, selalu ada masalah,\" komentar Setnov, seolah tanpa beban. Publik, dan juga saya sudah tidak lagi tertarik membahas Setnov, apalagi sebagai sosok yang berpeluang menjadi ketua sebuah partai besar. Kasus “Papa Minta Saham” seolah-olah menamatkan riwayat Setnov. Dan, Selasa dinihari 17 Mei 2016 hasil Munaslub Partai Golkar di Bali 17 Mei 2016 berkata lain dan cukup mengejutkan. Bukan karena status saya di Facebook pada 6 bulan lalu itu menjadi nyata, tetapi karena anggota DPR kelahiran Bandung tapi di DPR mewakili  NTT itu ternyata sosok yang tahan bantingan. Tokoh kontroversial yang sempat berpeluang dipecat oleh partainya, alih-alih malah menjadi ketua partainya.  Sosok yang bisa lolos dari lubang jarum, dan kemudian melenggang mulus menjadi ketua umum. Golkar adalah partai besar. Di dalamnya bertaburan gubernur, bupati, walikota, dan tokoh-tokoh penting lain yang berpikiran luas. Kader Golkar juga sudah menciptakan partai-partai baru, yang partai baru itu sudah pula menciptakan tokoh-tokoh baru. Bisa dibayangkan menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, sama seperti menguasai setengah wilayah nusantara, dimana kader-kadernya memimipin sejumlah daerah. Tidak adakah sisi baik Setnov? Usai Setnov terpilih sebagai ketua umum Golkar, pendapat-pendapat miring tentangnya bertaburan di dunia maya. Terutama rasa pesimisme, bahwa partai tidak akan menjadi besar kalau dipimpin oleh orang seperti Setnov. Penulis Cirebon yang cukup produktif dan reaktif, Syamsudin Kadir, dalam kolom wacana koran Radar Cirebon edisi Rabu 18 Mei 2015 (Menelisik Aksi Politik Pragmatis Golkar), bahkan belum-belum sudah berpendapat memilih Setnov sama dengan mengundang banyak persoalan.  Selain Setnov dianggap sosok bermasalah dalam etika dan hukum, juga menduga terpilihnya Setnov karena ada politik pragmatis. Tidak ada yang salah dalam pendapat itu. Meskipun bagi saya, membahas “etika politik” dan “demokrasi pragmatis” adalah sebuah klise; sesuatu yang sering dibahas, kata yang selalu diulang, namun tidak pernah bisa menemukan sesuatu yang ideal. Ekspresi kekecewaan yang ditunjukan dengan berulang-ulang, sehingga lama-lama jadi menyebalkan. Kalau bukan klise, masih adakah konsepsi etika politik seperti yang dikatakan filsuf muslim abad pertengahan, al-Ghazali; sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan aparatur negara yang mempunyai moral yang baik dengan ditopang oleh agama sebagai dasar negara? Seorang pemimpin yang ideal menurut al-Ghazali adalah seorang yang mengerti tentang budi luhur atau moral agama dan kebijaksanaan yang harus diterapkan dalam menjalankan sistem pemerintahan. Tentu seseorang yang dimaksud bukan Setnov! Siapa?, juga belum ditemukan di Indonesia. Lepas dari etika dan pragmatis, saya melihat Setnov adalah sosok yang ulet, tekun, dan tangguh di panggung  politik. Tentu di sana ada keahlian melobi yang mumpuni, yang tidak bisa dimiliki oleh setiap politisi. Berkali-kali tersenggol kasus, Setnov masih berjalan, meski saat kasus demi kasus itu menghampirinya --sebelum kasus “Papa Minta Saham”--, Setnov sebetulnya belum memegang kekuasaan. Kasus demi kasus yang diungkap tadi, bukan tanpa sengaja saya sebutkan. Itu sebagai pembuktian, bahwa Setnov memang politisi yang cukup mumpuni, jago lobi, licin, dan gigih dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Kasus-kasus besar yang menerpanya seolah makin menguatkan pijakannya untuk bisa memimpin di jalur politik. Karakter gigih dalam diri Setnov itu pula yang mungkin salah satu kiat terpenting atas keberhasilannya menduduki kursi ketua umum Golkar. Seperti kata Napoleon Hill dalam bukunya,  “think and grow rich”, orang-orang mencapai keberhasilan memiliki kiat khusus yang umum ditemukan pada kisah tentang orang-orang yang berhasil, yakni, sikap gigih. Mereka ini adalah orang-orang yang pantang menyerah walaupun berkali-kali mengalami kegagalan. Kalau mau berpikir positif, bukan tidak mungkin Setnov akan membawa Golkar dalam perjalanan yang penuh kegigihan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Meskipun harus dengan segala cara dan mengabaikan etika. (*) *) Penulis, pengasuh www.radarcirebon.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: