Menjaga Niat di Bulan Ramadan

Menjaga Niat di Bulan Ramadan

Oleh: Mochamad Rona Anggie DIA datang lagi. Kaum muslimin sedunia menanti. Kehadirannya disambut suka-cita. Kepergiannya ditangisi orang-orang yang taat. Beruntung mereka yang bisa menjumpainya tahun ini. Athor bin Sugio, murid kelas tiga MTT Dhiya’us Sunnah – setingkat SD – bertanya; “Paman, apa ciri bulan Ramadan datang?” Sebuah tanya semacam tebak-tebakan. “Apa, ya…” kata saya, bingung. Dia pun memberi jawaban. “Banyak iklan sirup M (menyebut merek sebuah sirup).” Saya tersenyum. Hati tergelitik. Memang benar. Sejak dulu – ketika saya sekolahpun – sirup ini identik dengan kedatangan Ramadan. Bahkan sebulan sebelum tiba hari-hari puasa. Lelehan sirup merah dituang dalam gelas berembun, mewarnai layar kaca. Masih nyaman melihatnya sebelum Ramadan. Namun jadi agak menyebalkan ketika tayang iklannya di tengah hari yang terik waktu menahan dahaga. Terbayang saat berbuka ingin menikmati. Terpikir untuk segera membeli di toko terdekat. Termakan kita oleh jitu iklan tersebut! Mentari hari pertama Ramadan adalah pertanda lomba dimulai. Peluit kompetisi. Ayo! Siapa paling giat membaca Alquran. Siapa paling semangat menambah hafalan Alquran. Siapa paling banyak sedekah. Siapa paling rajin memberi makan orang berbuka. Siapa yang tak mau ketinggalan berjamaah lima waktu di masjid. Dan, siapa yang bisa tamat salat tarawihnya. Semangat! Samudera kebaikan terbentang. Hujan pahala mengguyur. Ampunan dan kasih sayang Allah memenuhi ufuk. Melingkupi jagad. Ramadan adalah anugerah. Hadiah untuk semua makhluk. Bagi kaum muslimin dan bukan muslim. Tanya saja pemilik toko di Jalan Pasuketan dan Pekiringan. Atau pengusaha pusat-pusat perbelanjaan di Jl Karanggetas. Semua antusias menyambut Ramadan. Sebab omzet pasti naik. Pemasukan bertambah. Keuntungan berlipat. Berkahnya dirasakan semua golongan. Shaum atau puasa punya makna menahan diri. Tapi kenyataan berbicara lain. Bulan ini daya beli masyarakat (muslim) meroket. Terlebih mendekati Lebaran, roketnya sampai langit ketujuh. Roket-roket itu dijaring jadi aneka peluang bisnis oleh para pengusaha. Kalau semua bulan dalam setahun Ramadan, senang pemodal. Cepat balik modal. Cepat punya mobil atau rumah baru. Tapi kasihan muslimin. Kehilangan arti puasa. Hal seperti ini jangan sampai terjadi. Kita diwajibkan berpuasa oleh Allah. Bukti keimanan dan ketaatan atas perintah dalam Alquran (QS. Al Baqarah: 183). Penting bagi kaum muslimin menjalankan ibadah puasa dengan niat ini. Niat menjalankan kewajiban agama. Bukan karena ingin badan sehat. Ingin merasakan lapar dan dahaga yang sehari-hari dialami fuqoro (orang-orang miskin). Memang imbas positif dan tujuan puasa ke arah sana. Akan kita dapati demikian ujungnya. Namun menjaga niat di awal amalan adalah hal paling penting. Kita mesti saling mengingatkan. Ganjaran yang akan didapat adalah sesuai niat. Sebagaimana hadits yang disampaikan salah seorang ahlul jannah, sahabat Umar bin Khattab, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam; “Setiap amalan itu tergantung niat. Dan balasan dari amalan adalah apa yang kita niatkan.” Dan niat, dalam pengamalannya harus sesuai ajaran nabi. Akan tertolak ketika kita berniat baik dalam suatu ibadah atau amalan, namun tidak ada contoh dari Rasulullah. Berpuasa karena menjalankan perintah Allah, besar harapan kita dimasukkan ke dalam golongan orang bertakwa. Semoga lewat puasa Allah menyehatkan tubuh ini. Menghindarkan berbagai penyakit. Menumbuhkan empati diri pada kesulitan orang lain. Seperti dibahas Ustad Muhammad As Sewed. Mengupas bab Shaum, syarh kitab Bulughul Marom oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah. Di antara faedah puasa, orang kaya akan ingat orang miskin. Hatinya akan melembut. Memikirkan saudaranya yang menahan lapar dan haus setiap saat. Tumbuh rasa kasih sayang. Beruntung kita, ”hanya” puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Bagaimana kalau haus dan lapar itu menghinggapi hari-hari kita dalam sepekan, sebulan atau tahun ke tahun? Tak terbayangkan rasanya. Sehingga kedatangan Ramadan jangan sekadar disambut sebagai ritual tahunan belaka. Seremonial Islami-islamian. Lebih baik Islami beneran. Program televisi mendadak Islami. Artis berhias Islami. Politikus ujug-ujug Islami. Partai berhelm Islami. Sampai mal berdandan Islami. Tentu hal positif ketika Keislamian ini menular di bulan lainnya. Menjadi Islami karena kesadaran. Bukan tuntutan peran. Ikut-ikutan. Atau cari keuntungan. Ramadan bukan komoditas cari populer. Atau dagangan musiman. Masyarakat dibuat lupa pada esensi menahan diri. Bukankah nabi telah mengingatkan, sungguh merugi orang yang bertemu Ramadan, namun tak mampu menghapuskan dosa-dosanya. Kalau begitu pilih mana? Mau untung dunia, rugi akhirat. Atau keduanya beruntung? Bulan ini seumpama jembatan perbaikan diri. Allah beri kesempatan meningkatkan ibadah. Malas ke masjid, menjadi rajin. Mudah marah, jadi lebih sabar dan penyayang. Jarang berbagi, jadi baik hati senantiasa ingin memberi. Walau semangkuk kolak, seplastik kurma, atau segelas teh manis. Tidak pernah qiyamul lail (salat malam), jadi semangat tak mau absen salat tarawih. Tiap individu menyadari kesempatan ini tidak datang dua kali. Belum tentu bisa bertemu Ramadan tahun depan. Karena umur, hanya Tuhan yang tahu. Sebelum ajal datang, manfaatkan pertemuan dengan bulan tercinta ini. Peluk mesra tiap amal ibadah yang ada di dalamnya. Jangan kehilangan momen terbaik. Ramadan. Pintu surga dibuka. Pintu neraka ditutup. Setan-setan dibelenggu. Ini saat tepat untuk bertaubat. Membenahi diri. Berupaya menjadi hamba yang takwa. Menyiapkan bekal untuk kehidupan akhirat nan abadi. Mari kita jaga kesungguhan dan keikhlasan ibadah di bulan ini. Mulai dari diri, keluarga, dan lingkungan terdekat. Karena itu, ketika setan sesungguhnya dibelenggu, kita jangan jadi setan pengganti. Atau setan cadangan. Untuk Hj Masruroh sekeluarga, selamat berpuasa.  (*) *Mantan Wartawan. Pemerhati sosial dan keagamaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: