Untung Euro Tiga Kali Lipat Skanda Century

Untung Euro Tiga Kali Lipat Skanda Century

Oleh: Kurniadi Pramono \"foto-kur5\"PRANCIS, melalui studi komprehensif yang faktual dan ilmiah, memajang target akan meraup keuntungan sekitar 1,25 miliar Euro dari penyelenggaraan Euro 2016 di 9 kota 10 stadion. Jika kurs dilevelkan Rp15 ribu per 1 Euro, maka keluar angka keberuntungan Rp18,75 triliun. Nyaris tiga kali lipat lebih banyak daripada angka skandal raksasa Bank Century di Indonesia, yang tidak terselesaikan kendati hampir satu dekade lamanya. Sedangkan Prancis akan meraup keuntungan itu cuma dalam hitungan puluhan hari saja. Fantastis! Namun, ada pendapat dari Simon Kuper dan Stefan Szymanski, dua jurnalis sepak bola popular di dunia, dalam bukunya Soccernomics, mereka justru membuka kesangsian akan keuntungan-keuntungan yang selama ini diklaim oleh tuan rumah. Status tuan rumah, baik sukses staupun tidak dalam target penyelenggaraannya, tidak selalu berbanding lurus dengan manfaat kesejahteraan bagi rakyat. Brasil contohnya, selain berduka nasional saat timnya kalah 1-7 dari Jerman di semifinal Piala Dunia 2014, ternyata rakyat Brasil tak menerima benefit berarti. Angka pengangguran dan kriminalitas bahkan naik, padahal satu tahun sebelum penyelenggaraan, pemerintah Brasil mengemukakan bahwa pembangunan infrastruktur membuka banyak lapangan pekerjaan secara signifikan. Itulah yang dimaksud Kuper dan Szymanski sebagai keuntungan semu saja. Seharusnya tujuan utama menjadi tuan rumah, bukan hanya keuntungan sesaat seperti halnya keramaian di funzone semata. Tidak lebih eksplisit. Justru tingkat keberhasilan sebagai tuan rumah diukur dari indeks kebahagiaan warga dari negara tuan rumah. Masih dari halaman Soccernomics, Inggris saat menyelenggarakan Euro 1996, “hanya” mengantongi keuntungan U$ 155 juta. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan U$ 20 miliar sepanjang 1996 dari level belanja keseluruhan di Inggris dalam tahun tersebut. Tapi dampaknya terasa hingga saat ini, di mana menurut penelitian, indeks kebahagian rakyat Inggris terus terdongkrak sejak 1996, dan salah satu parameternya adalah kebahagiaan dan kepuasan terhadap sepak bola. Namun lucunya, orang-orang di Inggris tak mau membuka pemukiman di sekitar stasion dengan alasan keamanan dan kenyamanan. Sekarang, 20 tahun kemudian sejak Euro 1996 di mana Paul Gascoigne dkk cuma sampai di semifinal dan tagline “Football Come Home” sekadar slogan kosong tanpa makna, Inggris menepuk dada dengan arogan bahwa liga profesionalnya meraup keuntungan Rp79 triliun, empat kali lipat lebih banyak daripada gembar-gembor keuntungan yang dikumandangankan Prancis di Euro 2016 ini. Prancis sendiri bukan tanpa dasar dengan target Rp18,75 triliun-nya. Lebih dari separuhnya berasal dari belanja penonton dan turis di dalam dan di luar stadion. Sisanya adalah pengeluaran dari penyelenggara sendiri, dalam hal ini UEFA yang menyediakan transportasi dan akomodasi bagi 24 tim peserta. Manisnya “janji” keuntungan itu yang mungkin saja membuat pemerintah Prancis secara politis juga ngotot mendukung Euro 2016. Padahal tak sedikit rakyatnya yang mengecam dan menyindir bahwa Prancis bukanlah negara kaya, di mana buruh dan pekerja informal di sana kerap berdemo menuntut perbaikan tingkat upah yang berkejaran dengan laju inflasi berdampak kenaikan harga. Pemerintah Prancis bergeming. Bahkan Presiden Francois Hollande terang-terangan menyebut Euro 2016 menjadi semacam target antara semata. Target sesungguhnya adalah pada titik 8 tahun ke depan, Olimpiade 2024. Target utama itu membuat berang banyak pengamat ekomoni dari pihak oposisi. Mereka tak segan menyebut Prancis tak tahu diri, dimana saat ini krisis ekonomi melanda sebagaian besar Eropa, Prancis justru seperti menggali lubang perangkap, blackhole seperti yang menjerembapkan Yunani hingga bangkrut setelah berpesta sebagai tuan rumah di Olimpiade 2004 lalu. Di beberapa situs pariwisata resmi dan blog tak resmi di Eropa, banyak yang memberi peringkatan kepada wisatawan umum dan pelancong Euro 2016 yang masuk ke Prancis. Mereka rata-rata memperingatkan bahwa ribuan pickpocket, copet profesional, bisa mengambil bukan cuma dompet dan gadget, tapi juga ikat pinggang branded yang dikenakan wisatawan. Tapi dengan atau tanpa Euro 2016 pun, Prancis khususnya Kota Paris, selain sebagai kota seni mode dan niaga, dalam bayang-bayangan abu-abu, dikenal pula sebagai salah satu kota copet terhebat di dunia. Bahkan dalam salah satu sesi liputan sains hiburan National Geographic, dikatakan bahwa copet di kota Paris bagaikan seniman yang bisa menghasilkan karya dalam hitungan detik saja. Jadi rasanya sikap bergeming tuan rumah penyelenggara Euro 2016, Prancis bisa dimaklumi. Juga tidak ada hubungan langsung antara untung atau rugi sebagai rumah. Prancis bukan negara kemarin sore. Mereka pernah menjadi penguasa lebih separuh belahan dunia. Dan bukankah sepak bola adalah industri yang harus terus berjalan untuk memastikan seluruh roda gigi sektornya bekerja sempurna. Pemerintah Tiongkok pun sama. Tahun 2008 dihantam badai kritik saat Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengamat ekonomi, bersama rakyat menengah Tiongkok, menjuluki proyek Olimpiade Beijing 2008 sebagai politik mercusuar tanpa arti. “Uang dihamburkan ke langit seperti membuang garam ke tengah samudera,” demikian sempalan puisi jalanan mengkritisi sikap pemerintah Tiongkok yang ngotot pada pendiriannya bahwa menjadi tuan rumah Olimpiade adalah kesempatan meletakkan dasar kemajuan pembangunan di mata internasional. Kembali ke Euro 2016, apapun yang terjadi, kick-off perdana segera terjadi. Di negeri penggila sepak bola macam Indonesia, tak lain dan tak bukan, nikmati saja. Cuma tinggal amati dan pelajari, siapa tahu bermanfaat sebagai bekal tuan rumah Asian Games 2018 dan pencalonan (kembali) tuan rumah Piala Dunia kelak? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: