Warga Pesisir setelah Batubara Ditutup; Pohon Tak Lagi Tertutup Debu, Udara Lebih Segar

Warga Pesisir setelah Batubara Ditutup; Pohon Tak Lagi Tertutup Debu, Udara Lebih Segar

Suasana di RT 5 RW 1 Pesisir Selatan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon siang itu terlihat ramai. Sejumlah ibu-ibu duduk santai, anak-anak bermain dengan riang. Tetapi, di tengah situasi itu mereka terbayang-bayang dengan mencuatnya rencana dibukanya kembali bongkar muat batubara. Laporan: MIKE DWI SETIAWATI, Kejaksan TAK ada lagi keresahan debu batu bara yang setiap hari melanda wilayah itu sejak aktivitas bongkar muat batu bara ditutup sementara. Debu-debu yang menempel di lantai rumah, jendela, hingga sofa pun sudah tak terlihat. Kondisi ini jauh berbeda dibanding saat wartawan koran ini berkunjung beberapa bulan silam.  \"Sekarang sudah tenang, nyaman, gak ada debu batu bara lagi,\" ujar salah satu warga RT 5 RW 1 Pesisir Selatan, Ahmad Miska (45). Sejak aktivitas bongkar muat batubara ditutup sementara, diakui Miska, kondisi lingkungan di sekitar rumahnya lebih nyaman. Kondisi tersebut berlawanan saat aktivitas bongkar muat batu bara masih dibuka. Udara yang panas dan debu hitam menemani keseharian warga. Terlebih, saat musim angin kumbang, debu batu bara berterbangan di mana-mana. \"Sampe gelap, ketutup debu batu bara. Pohon juga daun-daunnya jadi hitam,\" ceritanya. Tak hanya saat musim angin saja, saat musim hujan pun debu batu bara yang hanyut bersama air hujan mencemari lingkungan. \"Airnya kan jadi hitam, kotor,\" tambah Miska. Merasa sudah nyaman dengan kondisi sekarang tanpa debu, Miska mengaku sedikit kecewa dengan kabar akan dibukanya kembali aktivitas bongkar muat batu bara di Pelabuhan Cirebon. Ia mendengar kabar tersebut dari beragam berita di media hingga obrolan warga sekitar pelabuhan. Miska adalah salah satu warga yang sejak awal menolak adanya bongkar muat batu bara. Dia menyadari, bongkar muat batu bara banyak menimbulkan efek negatif dibandingkan efek positifnya. Langkah yang dilakukan Pelindo, KSOP hingga para pengusaha untuk meminimalisasi debu batu bara pun dinilai Miska tak bakal berhasil. Bahkan, dia meminta para pejabat termasuk PT Pelindo II dan pengusaha untuk tinggal dibalik tembok pelabuhan. Dia berani bertaruh, jaring yang saat ini terpasang di sekeliling pelabuhan tak mampu menahan debu  batubara. \"Nanti saja liat kalau memang jadi dibuka lagi. Secanggih apapun teknologi yang dipakai pengusaha, ya debunya pasti tetap terbang keluar. Apalagi cuma jaring yang kayak gitu,” tandasnya. Tak hanya persoalan debu, Miska menilai selama 13 tahun warga sekitar aktivitas bongkar muat batu bara tidak mendapatkan kesejahteraan yang sepadan dengan efek polusi udara yang dirasakan. Miska berharap pemerintah dan pihak terkait tidak salah langkah dalam mengambil keputusan terkait aktivitas bongkar muat batu bara. \"Kalau ditanya , saya yakin semua warga di sini apalagi yang lokasinya sangat dekat dengan bongkar muat pasti menolak kalau ada aktivitas lagi. Kecuali yang punya kepentingan pasti setuju kalau dibuka lagi,\" tuturnya. Bukan hanya Miska, Sunarti (43) warga RT 5 RW 1 Pesisir Selatan tidak setuju aktivitas bongkar muat batu bara  dibuka kembali. Sunarti mengaku sudah merasakan betul dampak dari polusi udara akibat debu batu bara. \"Anak saya kena flek, sakit paru-paru. Pas diperiksa di puskesmas katanya karena terlalu sering menghirup udara yang kotor,\" ungkapnya. Bila bongkar muat batubara dibuka kembali, Sunaryo khawatir kesehatan anak-anak dan warga pesisir akan bertambah buruk. Tidak hanya warga sekitar pelabuhan saja yang terkena dampak dari debu batubara, para pekerja yang terlibat bongkar muat juga akan terpapar debu. \"Kami hanya ingin hidup sehat, menghirup udara segar, tanpa debu batubara,\" harapnya. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: