Kerja Satgas Vaksin Palsu Tak Ada Kemajuan

Kerja Satgas Vaksin Palsu Tak Ada Kemajuan

JAKARTA - Sudah satu bulan lamanya satgas vaksin palsu dibentuk. Namun, hingga kini kinerjanya dinilai belum maksimal. Bahkan, bisa dibilang tak ada kemajuan. Penilaian itu disampaikan Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta. Dia menuturkan, satgas hingga kini belum efektif. Bahkan terkesan lamban dalam penanganan. Padahal, para orang tua masih risau terkait vaksin palsu tersebut. ”Belum ada tindak lanjut lagi. Padahal sudah satu bulan lebih berjalan. Atau bisa jadi, yang duduk di satgas tahu sejak awal soal vaksin palsu ini,” tuturnya. Tudingan ini bukan tanpa alasan. Sebab, dia pernah melaporkan adanya indikasi pemalsuan vaksin BCG milik Kemenkes pada pertengahan 2015 lalu pada BPOM. Sayang, laporannya tidak ditindaklanjuti. Di waktu yang sama, dia melaporkan adanya kekosongan cairan infus dasar di beberapa rumah sakit (RS). Kekosongan itu terjadi hampir dua tahun. Kondisi itu tentu menimbulkan kekhawatiran adanya tindakan pemanfaatan untuk hal-hal yang melanggar aturan. ”Tapi sayangnya enggak ada tindakan,” keluhnya. Karena itu, agar masalah vaksin palsu itu dapat segera selesai, dia meminta agar satgas dievaluasi. Kalau perlu, satgas juga melibatkan LSM seperti kontras, YLBH, dan lainnya. Dengan begitu, kinerja bisa lebih terawasi. Hal itu turut diamini perwakilan Aliansi Keluaga Korban Vaksin Palsu RS Harapan Bunda, Kramat Jati, Jakarta, August Siregar. Dia meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mengganti anggota satgas. ”Kami juga sudah lapor banyak LSM. Hal ini sulit diberantas jika hulu permasalahan tidak berbenah,” ujarnya. Dia pun mengeluhkan respons pihak RS yang masih buruk. Menurut dia, hingga kini belum ada iktikad baik dari RS. Pihak RS belum memberikan keterangan detail soal peredaran vaksin palsu di tempatnya. Selain itu, RS juga enggan membiayai medical check up untuk anak-anak korban vaksin palsu. ”Resume medis pun tidak dikeluarkan padahal itu bisa diminta oleh walinya,” timpalnya. Staf divisi advokasi ekonomi dan sosial kontras Rivanlee turut mempertanyakan ketidakterbukaan pihak RS atas kasus ini. Padahal, informasi tersebut penting bagi para orang tua korban. Selain itu, ada fakta menarik yang ditemukan oleh tim kontras di RS Harapan Bunda. Dari  pantauan dan penyelidikan yang dilakukan, ternyata RS tidak memiliki standar baku dalam mekanisme pebayaran atas layanan dan pemberian vaksin. Hal itu terlihat dari bukti pembayaran di kasir dan dalam ruang pemeriksaan. Bukan hanya itu, beberapa orang tua pun tidak diberi bukti atas pembayaran vaksin yang dibeli. ”Ada kelalaian soal ini. Menurut aturannya, pihak RS bisa dikenakan sanksi. Mulai sanksi administratif hingga pencabutan izin,” ujarnya. Melihat kondisi itu, pihaknya pun mendesak pemerintah untuk bisa bertindak tegas. (mia/oki)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: