Go-Jek Ingin Ada Penilaian Kinerja yang Jelas

Go-Jek Ingin Ada Penilaian Kinerja yang Jelas

JAKARTA – Ratusan mitra Go-Jek kemarin turun ke jalan. Mereka menuntut adanya kejelasan soal penilaian performa, yang kini dirasa mencekik penerimaan bonus mereka. Tohar Gunawan, salah seorang mitra driver Go-jek menjelaskan, aturan performa yang diterapkan manajemen Go-Jek tak bisa dipertanggungjawabkan. Tidak ada kejelasan soal penilaian namun sering kali performa dinyatakan loyo. “Tau-tau menurun saja,” ujarnya di Jakarta, kemarin. Penilaian performa sangat berdampak pada penerimaan driver terutama dari sisi bonus. Bonus tidak bisa dicairkan bila angka performa mereka dibawah 50 persen. “Padahal, ini menjadi salah satu yang bikin kita rajin narik,” ujarnya. Sejujurnya, kata dia, penilaian performa ini tak jadi masalah asal ada aturan jelas. Dan yang lebih penting, para driver turut dilibatkan dalam membuat kebijakan dan sistem tersebut. Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dengan aturan yang dibuat. “Kan kita mitra. Masa tidak pernah dilibatkan bila ada aturan baru. Itu yang kita protes,” tegasnya. Dia melanjutkan, bila ini tak bisa dipenuhi maka setidaknya PT Go-jek bisa meningkatkan kembali tarif mereka. Sehingga, tarif tak lagi berada di angka Rp2.500/km. “Ya yang rasional lah. Tarif bisa dinaikkan,” ujarnya. tuntutan soal kejelasan penilaian performa ini bukan satu-satunya yang diminta. Mereka juga menuntut agar manajemen membuat paying hukum yang independen terhadap keluhan driver. Selain itu, mereka meminta agar manajemen menstabilkan sistem menjadi lebih baik. “Sebetulnya ini kan sering error. Jadi, kadang bukan dari kita yang tidak menerima orederan. Sistem error yang membuat kita tidak bisa terima,” ungkapnya. Pengamat Pekerja Indonesia sekaligus Aktivis Serikat Pekerja Indonesia, Timbul Siregar angkat bicara. Dia menyebutkan driver Go-Jek rentan dalam hubungan kerjanya. Karena pihak perusahaan masih memposisikan driver Go-Jek sebagai mitra yang posisinya lemah. Dia tidak setuju dengan kebijakan performasi yang justru tidak fair. Menurut dia, sudah seharusnya perusahaan fair terhadap mitra. “Pemerintah harus turun tangan. Ini bukan masalah kecil loh,” paparnya. Selain itu, pemerintah juga harus mengatur peraturan hubungan antara mitra dengan perusahaan. Mulai dari bagaimana dana jaminan hari tua (JHT), pensiun, hingga kesehatan. “Saya rasa, itu belum diatur kan,” terangnya. Sementara itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) enggan menanggapi demo para mitra Go-Jek ini. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub Hemi Pamuraharjo menuturkan, pihaknya tidak akan ikut campur dalam permasalahan tersebut. “Kita tidak akan nanggapi karena Go-Jek tidak diatur,” ujarnya. Memang, pengoperasian Go-Jek sendiri hingga kini tidak memiliki payung hukum. Bahkan secara jelas dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, disebutkan bawah kendaraan roda dua bukan merupakan kendaraan bermotor umum. Sehingga, tidak bisa digunakan sebagai angkutan umum. Kemenhub sendiri sempat melarang pergerakan Go-Jek ini karena dinilai beresiko tinggi pada kecelakaan. Meski akhirnya, tak berselang lama dicabut karena desakan dari Presiden Joko Widodo. Kemenhub akhirnya memeberikan ruang, dengan dalih adanya kesenjangan lebar antara kebutuhan transportasi publik dan kemampuan menyediakan angkutan publik yang layak dan memadai menjadi salah satu pendukungnya. “Kesenjangan itulah kesenjangan itulah yang selama ini diisi oleh ojek, dan beberapa waktu terakhir oleh layanan transportasi berbasis aplikasi seperti Gojek dan lainnya,” tutur Mantan Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan kala itu. (bil/mia)      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: